29 December 2009
24 December 2009
Kartu Ucapan yang Tidak Sempat Terkirim
Masih dari kardus bekas tempat dispenser yang aku ceritakan kemarin-kemarin, aku juga menemukan plastik bening berisi amplop warna-warni beagam ukuran. Di dalam keenam amplop tersebut berisi kartu ucapan selamat Hari Natal. Ya, aku ingat, kartu-kartu itu semestinya aku berikan di perayaan Natal tiga tahun lalu, kepada Ka Vic, Ka Sandy, Mamar, Pamela, Nasha, dan Jenny.
Aku sudah lupa kenapa kartu-kartu itu tidak pernah terkirim. Teman-temanku itu kini sudah berpencar jauh dariku. Mungkin, karena saat ini versi digitalnya sudah tersedia dan aku bisa mengirimnya kapan saja. Atau mungkin karena ada yang bilang niat memberi ucapan itu jauh lebih bermakna dari bentuk visualnya. Kartu itu kembali kusimpan di tempat aku menemukannya.
Semoga mengucapkan selamat di blog ini tidak mengurangi kebahagianku untuk teman-teman yang sedang merayakan Natal.
Selamat Hari Natal, damai di bumi, damai di hati...
Father and Daughter*
Just relax, take it easy
You're still young, that's your fault
There's so much you have to know
Find a girl, settle down
If you want you can marry
Look at me, I am old, but I'm happy
I was once like you are now
and I know that it's not easy
To be calm when you've found something going on
But take your time, think a lot
Think of everything you've got
For you will still be here tomorrow, but your dreams may not
How can I try to explain, when I do he turns away again
It's always been the same, same old story
From the moment I could talk I was ordered to listen
Now there's a way and I know that I have to go away
I know I have to go
I was once like you are now
and I know that it's not easy
To be calm when you've found something going on
But take your time, think a lot
Think of everything you've got
For you will still be here tomorrow, but your dreams may not
All the times that I cried
keeping all the things I knew inside
It's hard, but it's harder to ignore it
If they were right, I'd agree
but it's them THEY know not me
Now there's a way and I know that I have to go away
I know I have to go
stay stay stay, why must you go and
make this decision alone...
Sampai hari ini aku tidak pernah tahu apa impiannya ketika ia berada di usiaku. Bapakku seperti terbuat dari besi, sedikit sekali kata-kata dari mulutnya. Namun kata ibu, sekali ia pernah menangis menceritakan ia tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMA.
Kini, ia hanya ingin aku segera mendapat kerja...
*)Dari lagu Father and Son, Cat Steven
21 December 2009
Adrenalin Rush
14 December 2009
Panggil Aku Donald Duck
Pertama kali membaca kisah-kisah tokoh transnasional produksi Walt Disney saat itu, aku langsung mengidentikkan diriku dengan karakter Donald Bebek. Pemalas, seniman tidak karuan, suka berleha-leha, bersantai-santai, susah bangun pagi, dan gampang marah. Membaca kisahnya lagi di tiga malam belakangan ini, mendorongku mengidentikkan ulang karakter-karakter itu, dan hasilnya memang masih sama, hehehehe... Maaf ya kalau ada yang mengeluh dengan sifat-sifatku..
Bed
Meski pegasnya sudah ke mana-mana, aku masih setia menggunakannya. Meski saat ingin berbaring harus mencari posisi yang paling nyaman agar tidak tergores pegas yang sudah berkarat, aku masih nyaman tidur hingga pukul 11 siang. Meski harus hati-hati dengan berat badan karena rosban penyangganya mulai lapuk di makan rayap, aku tetap selalu merindukannya ketika aku jauh.
aku ingin sekali meninggalkannya... Di tempat tidurku itu, waktu melambat bersama laju nafas. Hanya di tempat tidur, aku bisa berdoa. Ada yang bilang, bed is a place where magical things happen. Di sana aku bisa membawa pikiranku ke tiap penjuru, dan mengalami hal magikal lainnya.
aku ingin melupakannya...hidupku menjadi terlalu nyaman hingga aku sering mengeluh. Aku ingin bisa tidak terlelap padanya terus-menerus, sementara di luar sana, hidup dengan kuasanya makin menggerus...
Just let me go...
13 December 2009
Moody...???
Sampai siang ini, deadline masih memburuku, tapi dasar aku ini katanya adalah pribadi seniman, pemalas dan sangat penunggu momen tertentu ketika mood mulai berayun lagi. Aku juga sering ketakutan dengan respon orang-orang tentang tabiatku ini. Sejauh ini, mereka masih dalam takaran santai, meski ada beberapa juga yang menegur keras. Mmm,,, kadang aku membutuhkannya, tapi kenapa masih sering mengeluh ya tiap kali kena teguran??? Aneh...
12 December 2009
Perfect Symmetry of New Moon
10 December 2009
Merawat waktu
Hufh..kurang lebih seperti itu jika ia bisa berbicara. Namun ternyata ia sudah berbicara dengan cara lain, melalui pertanda dan jejak langkah-langkahnya sejak pertama kali ia diciptakan. Waktu seperti prajurit yang berlari yang langkahnya dapat dihitung, namun ada saat ia seperti perempuan yang tidak bisa ditebak.
"Sebenarnya kau bisa mengikat satu bagian dariku, the past, meski tidak akan sama rasanya dengan apa yang tengah kau jalani hari ini. Tapi hari ini juga akan berlalu terbuang, menjadi masa lalu yang akan kau harap untuk kembali jika kau tidak memperlakukanku dengan sakral, jika kau tidak merawatku dengan hati-hati" kata sang waktu lagi...lalu berlalu lagi...
You did it, guys!!!
Selamat ya teman-teman, aku pasti berbahagia dengan apa yang kalian raih. Lebih bahagia lagi kiranya aku dan teman-teman lain yang belum bekerja bisa kecipratan rejeki juga tiap bulan, hehehe (ini dibilang bahagianya tidak tulus, hehehe). Apapun bentuknya, bekerja itu menyehatkan lho, teman-teman, dan yang pasti Tuhan memberkati orang-orang yang bekerja (asal halal jeung-jeung)..Semangat!!!
4 December 2009
Relieve
30 November 2009
November Reign
Kemarin kita masih berbicara tentang asa yang tidak pernah padam dan kerinduan akan kehidupan yang tidak berbatas. Hari ini, aku adalah pecundang dan engkau masih seorang petarung. Hidup sepertinya takluk di kakimu dan waktu mengiringi gerak semestamu.
Seperti yang engkau tahu, aku tidak berani bermimpi, dengan demikian alam raya tidak pernah melirikku, dan Tuhan tidak punya apa-apa untuk Ia peluk*. Aku masih bermimpi tentang telur-telur harapan yang akan menetas menjadi bahagia, entah kapan..
Happy Spring!!!
*) 'bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu' (Arai Sang Pemimpi)
28 November 2009
Mencoba Kue Keberuntungan
Random fortunes, do you believe?
Seperti itulah kira-kira jika saya ingin menganggap semua bentuk kebetulan. Pada akhirnya, kata 'kebetulan' ini diganti dengan kata 'kejutan' mengingat nilai 'tidak ada yang namanya kebetulan', hehehe... Termasuk ketika saya mengenal sebuah aplikasi bernama fortune cookies (kue keberuntungan) yang dapat dilihat di facebook. Syahdan, dengan mengklik aplikasi ini kita akan mendapatkan sebuah kalimat bijak, petuah, keberuntungan, atau apa yang akan kita alami hari ini.
Melihat fortune cookie, saya jadi teringat film-film Asia Timur di mana terdapat adegan-adegan ritus keagamaan, di mana salah seorang jamaah mengocok semacam gelas bambu berisi stik-stik bertuliskan keberuntungan atau kesialan yang akan dihadapi dalam waktu dekat. Layaknya arisan, stik yang jatuh dari wadah tadi akan menjadi 'milik' orang tersebut. Ada yang percaya, ada pula yang tertawa setelah membacanya.
Anyway, saya menyempatkan diri mencoba kue keberuntungan maya. Sudah ada beberapa wisdom di tiap kuenya, kadang saya tertawa, senyum-senyum, atau mengerutkan kening. "Take a trip with a friend.""Merge your spirit life and your work", "You will touch the hearts of many", "Money is the root of all evil", "You are vigorous in words and action", "You will step on the soil of many countries." Tapi dari kesemua itu saya paling senang dengan wisdom ini: "You can't stop the waves but you can learn to surf."
Haruskah kita juga menerapkan teori probabilitas dan kelayakan untuk ini? Hahaha...saya nyaris tidak punya waktu untuk menghitung, meski dalam sehari rutinitas saya hanya tidur, makan, dan berangan-angan. Namun tidak ada salahnya yakin, apalagi terhadap persangkaan-persangkaan baik mengenai diri kita yang terdapat dalam fortune cookie itu, hehehe..
Bon Appetite!!!
Kenapa saya di-remove?
Saya pernah meng-add seorang public figure idola saya waktu usia sekolah menengah. Hingga terakhir kali saya melihat daftar teman, pada ikon fotonya masih ada tulisan ‘waiting for approval’, masih menunggu konfirmasi dari pihak bersangkutan. Kening saya berkerut menelusuri kemungkinan-kemungkinan permintaan saya belum diterima.
Saya malah jadi tertawa-tawa sendiri dengan pikiran-pikiran sinis ini: “wah, saya kan penggemar anda, kok tidak di-approve?
Apa saja kualifikasi yang harus saya miliki supaya saya bisa berteman dengan anda, tuan yang saya idolakan? Jawabannya sederhana saja, tuan idola ini tidak mengenal saya, modal ‘saya fans setia anda sejak SMP’ saja tidak cukup untuk membuat jarinya menekan ikon approve pada layar di hadapannya.
Akan halnya remove, saya pernah punya pengalaman aneh. Aneh dalam artian saya heran karena tiba-tiba di-remove oleh beberapa orang yang telah berstatus teman di Facebook. Kejadian ini bermula saat saya dengan sadar mengganti username dan foto profil saya. Tidak dalam waktu dua minggu, beberapa orang itu menghilang dari daftar teman saya.
Mungkin dengan ‘diri’ yang baru itu, saya menjelma menjadi sosok asing, tidak dikenal, berpotensi menjadi penguntit aktivitasnya di facebook, parasit info, the other yang tidak diharapkan kehadirannya di dunia Facebook, hingga akhirnya saya di-remove bahkan oleh teman yang telah mengenal saya dengan baik dalam keseharian.
Baik fasilitas approve maupun remove adalah dua kata yang sarat pertimbangan nilai dan kepentingan. Ikon budaya digital ini adalah wadah perwujudan keengganan seseorang berteman atau tetap menjadi teman orang-orang. Karena saya tidak tahu dia, dia asing, dia tidak boleh dapat informasi diri lewat profil facebook saya, saya hanya ingin bercengkrama dengan teman-teman saya, karena dia menjengkelkan, dia bukan bagian dari geng, dia bikin malu, dia membahayakan karir saya, bisa jadi alasan tersumbatnya kelangsungan hubungan.
Kita telah mengenal Facebook sebagai ruang terbuka dan menghubungkan orang-orang di seluruh dunia. Siapa yang tidak pernah mendengar jargon ini ”Give people the power to share and make the world more open and connected. Keterhubungan, siapa yang meragukan mesin deteksi Facebook? Keterbukaan, semua user bisa publikasi diri hingga terkenal lewat Facebook dan saya bisa jadi tukang gosip hanya dengan melihat dan mengamati profil atau info terbaru mereka lewat News Feed.
Namun, sadarkah Mark Zuckerberg (founder Facebook)bahwa keterbukaan yang diusungnya itu akan menjadi boomerang. Sebuah nilai jual yang menghancurkan pemahaman orang-orang mengenai konsep privat-publik dengan merubah norma-norma sosial yang dipahami sebelumnya.
Hal yang tak diperhatikan oleh jargon tersebut adalah bahwa setiap individu, kelompok atau masyarakat aneka warna memiliki cara pandang yang berbeda memaknai keterbukaan dan koneksi itu. Jauh dari keterbukaan versi pendiri Facebook. Jadi ketika jargon tersebut dihadirkan, pada saat itu juga Mark memaksakan suatu diskursus tunggal tentang keterbukaan.
Jika dunia yang lebih terbuka dan saling terhubung yang dimaksud oleh Mark adalah keterhubungan antar jaringan dan alat, maka ia sudah berhasil sejak pertama kali ia meluncurkan produk ini. Akan tetapi manusia bukanlah alat yang tidak berpikir dan tidak punya pilihan.
Hubungan antara privat dan penilaian orang-orang ‘luar’ yang melihatnya tidak dapat dipisahkan. Seseorang akan risih dan tidak nyaman dengan penilaian-penilaian budaya dan sosial hingga mempertimbangkan kembali informasi yang akan ia masukkan ke dalam akunnya.
Mark dkk memang pada akhirnya sadar. Maka yang kita lihat selama dua tahun ini adalah modifikasi tiada henti dalam hal filterisasi informasi meski akan mengikis konsep keterbukaan ala facebook itu dengan sendirinya. Siapa saja yang bisa mengakses profil, status, foto-foto, pembicaraan-pembicaraan saya, siapa saja yang bisa melihat saya sedang online, jumlah notifikasi yang masuk, bisa disaring sedemikian rupa demi kenyamanan pengguna. Jika semua filter ini belum dirasa cukup, Facebook punya fasilitas ‘remove’, daripada repot-repot men-setting privasi akun saya, mending langsung remove saja, no big deal…
Dari usaha-usaha yang terus diperbarui ini, Facebook makin menunjukkan dirinya sebagai negosiator ulung. Pernah suatu kali saya mau men-deactive kan akun saya. Tiap kali saya ingin menekan ikon deactivate, Facebook ini seperti salesman, yang tidak berhenti mempersuasi saya agar tetap menggunakan facebook dengan iming-iming privasi yang lebih tertutup, bahkan ‘mengancam’saya akan kehilangan teman-teman saya. (memang di dunia ini hanya ada Facebook saja?)
Kembali ke kedua tindakan sosial tadi, saya juga menimbang-nimbang kemungkinan alasan seseorang me-remove atau tidak meng-approve saya. Tidak ada masalah dengan hal ini. Setiap orang berhak memilih orang yang ingin dijadikan teman.
Di lain pihak Facebook telah berhasil memangkas jarak dan waktu yang selama ini jadi pagar pembatas fisik, namun apakah ia berhasil loncat pagar budaya yang lebih sering jadi ‘pengungkung’ sebuah hubungan atau interaksi. Well, Ini adalah cerita lain.
Seperti kata Mcluhan, media adalah perpanjangan tubuh manusia, tapi apakah terjadi perpanjangan budaya, apakah terjadi peleburan budaya lewat media itu, apakah sekat-sekat yang terbangun dengan sendirinya di ruang-ruang sosial ikut luruh bersama leburnya batas-batas fisik dalam dunia keseharian, adalah pertanyaan yang jawabannya ada di diri masing-masing orang yang mengalami sendiri sensasi media baru ini.
Oleh karena itu pertanyaan “kenapa saya di-remove? saya kan hanya mau berteman, ini kan situs pertemanan”, tidak akan menemukan jawaban, sama halnya jawaban yang ada tidak akan cukup memuaskan sang penanya jika tidak paham dengan pemikiran manusia yang terus bergejolak.
Untung saja sampai hari ini, News Feed tidak mengabarkan info bahwa orang ini me-remove ini, orang ini cabut dari ini ini? Wah bakal kacau jadinya…bisa-bisa terjadi keretakan-keretakan sosial yang diamati lalu digosipkan bersama-sama. Ah, ada-ada saja…
Midas
Ah, monolog apa ini? Aku tersadar saat melihat api sedang asik menjilati sebuah periuk besar berisi air.
Sepertinya malaikat numpang sesaat itu salah orang. Lebih tepat kalimat itu untuk seorang wanita di hadapanku yang berpeluk peluh. Tiap kali ia berlalu, tubuhnya meninggalkan aroma asap dari kayu lembab yang terbakar. Matanya tidak pernah lelap dan kakinya menjangkau seperti sanggup menapaki jalan puluhan kilometer.
Aku curiga sebenarnya ia adalah raja midas. Apapun yang disentuhnya akan memberi hidup dan mengundang decak kagum. Aku heran ia selalu mengeluh dengan tenaganya yang makin aus, tapi yang kulihat adalah wanita yang sama sejak aku menyadari kehadiranku di dunia. Yang berbeda kini hanya rasa masakannya yang makin kurang asin.
Selebihnya, ia masih jadi perempuan yang selalu membuatku cemburu. Orang-orang memuji ketekunan dan keuletannya, sementara aku tidak mewarisi sifat ini darinya. Dia sang raja yang perfeksionis, waktu adalah musuh yang harus ditaklukkan...Tidak seperti aku yang dengan mudahnya berdamai, bahkan walau tanpa iming-iming dari sang waktu yang sombong...
Yang Sunyi, Yang Kembali
Aku tiba dini hari, dan mendapati kota kecil ini gelap karena mati lampu. Aku membatin, membayangkan kesulitan beberapa hari ke depan tanpa energi satu ini. Sunyi,,, sensasi yang kurasakan ketika aku turun dan mengetuk pintu rumahku yang tidak luput dari gelap. Ibuku menjawab dari dalam, samar-samar karena deru mesin panther sang supir yang menunggu upah.Pintu terbuka, aku lihat dari keremangan lampu mobil, rambut ibu terurai, tubuhnya hanya dibalut sarung kotak-kotak cokelat, mengulurkan tangan berisi uang dari balik pintu. Seperti kebiasaanku, aku bayar di tempat, uang di saku tidak cukup.
Mobil berlalu, lalu kesunyian kembali mengambil alih. Di rumah hanya tinggal ibu dan bapak yang terlelap lebih dahulu. Begitu aku masuk ke kamar kosong rumah bagian dalam, ibu langsung menutup sekat pembatas ruang depan dan dalam. Sedikit aneh, karena biasanya, ibu akan banyak bercerita sebelum ia melanjutkan tidur.
Aku juga menutup pintu kamar. Sambil rebahan, aku mengambil handphone serta earseat-nya yang masih terpasang. Gelap tidak cukup mampu membatasi pikiranku untuk jauh mengawang, dan lagu yang kuputar tidak sanggup memaku ingatanku. Dalam jantung, aku merasa ada keibaan sedang menusuk, dan rasa ngilunya bercampur dengan lelah perjalanan empat jam.
Aku benci pulang, aku lelah mengingat, dan aku sedih setiap kali ibu mengingat pengalaman-pengalaman yang kami lalui bersama. Sayangnya, bukan hanya ibu yang terus mengingat, Imma, salah seorang teman SMA, aku takut jika ia mulai mengaku kesepian tanpa aku dan teman lainnya.
Pada setiap pandangan yang kulayangkan, yang kulihat tidak hanya dinding rumah, foto, kulkas, lemari, botol minum. Aku melihat coretan pertamaku, pengasuhku, ulang tahun idolaku (???), Jepang, susu panas dan pipet...
Sunyi...sunyi..sunyi...kesunyian mereka hanya akan menemukan obatnya di hari raya, tahun baru, libur semester. Mereka tidak pernah mengeluh dengan pola-polaku.
Aku bergidik, apakah oleh waktu yang melambat, atau waktu yang bergelinding seperti bola salju. Lima tahun lalu, aku dan teman-teman seangkatan berpencar ke tanah lain. Kupikir selamanya. Saat itu, aku selalu rindu pulang, tak tahan rasanya jauh dari rumah. Kini, tiap kali ibu menelpon karena kesendiriannya, aku hanya bisa berjanji, tanpa pasti bisa pulang.
Aku kaget saat seorang teman bercerita tentang reuni dengan teman-teman kelasnya. Ternyata lima tahun sudah berlalu, cukup waktu bagi mereka yang pernah merantau untuk kembali. Ada pertanyaan bodoh yang terlintas, apa yang akan mereka lakukan di sini. Kota ini sepi, apakah hanya aku yang syok?
Apakah hanya aku yang mengamati kesepian bekerja di hati orang-orang yang kusayangi. Pernahkah ibu, bapak, Imma, kakakku memikirkan kesunyianku? Mungkin mereka tidak sesepi yang kubayangkan, justru aku yang patut dikasihani...
24 November 2009
Home
23 November 2009
Pineapple Juice Should've Made My Day
Telah banyak waktu dan momen ajaib pagi hari yang saya lewatkan begitu saja. Ya, momen sederhana mungkin, menunggu matahari terbit, melihat sisa-sisa embun di pagar kayu depan playgroup salsabila yang bersebelahan dengan kamarku, menggigil karena mandi kepagian, merasakan udara pagi yang segar dan menusuk-nusuk hidung sampai harus baik-naik mengontrol napas.
dan pagi ini, aku memanjakan diri menikmati semua itu.
lalu apa yang membuat hari ini terasa begitu panjang?
Pertama, deadline berita untuk majalah internal Bosowa makin dekat, sementara Idul Adha juga di depan mata. Mau tidak mau, hari ini aku harus menyelesaikan hutang wawancara dan berita untuk segera disetor ke Kak Ome (pimred kami).
Kedua, keinginan menyampaikan uneg-unegku pada Adrie Soebono perihal kans Muse mampir di Indonesia makin menggebu-gebu (wihhh...semangat 45 nih). So, setelah mencari-cari alamat mayanya, akhirnya aku menemukannya juga. Sekali lagi terima kasih kepada teknologi perpanjangan tubuh bernama internet. Pesanku sudah sampai di blognya, saking semangatnya, komentarku itu terposting dua kali!!! (nah, kali ini namanya tidak sabaran...). Harapanku, semoga saja ada respon dari laki-laki yang kerap disapa Om Adrie ini..
Ketiga, sebagai perempuan yang kadang sangat peduli dengan tanggal-tanggal khusus, aku menunggu kejutan apa yang akan mampir hari ini. Kejutan penanda bagi usia yang makin bertambah. betul kata seorang teman lagi, ada suatu fase di mana engkau merasa sendirian di lingkaranmu. Mungkin kata ini tepat untuk gambaran hari ini. Namun sebuah kesalahan besar jika itu kemudian menjadi tolak ukur kepedulian mereka yang selama ini setia mendukung langkahku. I'm not gonna be so damn sad...
Jadi, sebenarnya saat ini aku hanya butuh segelas jus nenas -yang dingin, pekat sekaligus asam- untuk hari panjang melelahkan ini. Jus nenas ini kuanggap tepat untuk menenangkan penat, obat deg-degan, dan penghibur sepi.
Bisa bangun pagi adalah prestasi dan perlukah hadiah untuk pencapaian ini? Hahaha... untuk menyenangkan diri sendiri, mengapa tidak? Dan semoga saja mempertahankan pencapaian kecil ini menjadi target keseharianku selanjutnya. Feliz Compleanos, Signora!!!
Chilling Out
18 November 2009
Citizen Erased
and to lie, cover up
what shouldn't be shared?
all the truth's unwinding
scraping away at my mind
please stop asking me to describe
for one moment
i wish you'd hold your stage
with no feelings at all
open minded
i'm sure i used to be so free
self-expressed, exhausting for all
to see and to be
what you want and what you need
the truth's unwinding
scraping away at my mind
please stop asking me to describe
wash me away
clean your body of me
erase all the memories
they will only bring us pain
and i've seen, all i'll ever need
14 November 2009
Ressurection
"Kenapa orang harus berbahagia?", tanyaku
"Apa yang membuatmu tidak bahagia?, tanyanya
"Aku takut dengan misteri yang disimpan oleh hari esok. Hatiku tidak tenang, seperti masa depan ingin membunuhku," akuku
"Bahagia selalu diperhadapkan dengan penderitaan, jika kita mengundang derita, pada saat itu juga jiwa akan selalu merasakan kegelisahan dan takut," jawabnya
"Apa yang harus aku lakukan agar semua deritaku berakhir, mengundang bahagia?" tanyaku lagi
"Manusia gelisah oleh ketidakpastian. Manusia butuh kepastian..."
"Dan apakah kepastian itu?" tanyaku
"Filsuf menamakannya eksistensi, agamawan menyebutnya Tuhan. Datangnya sebuah rencana sangat tidak pasti, tapi cinta Nya yang menyembuhkan kesedihan adalah sebuah kepastian... Ia mencintai dengan cara yang kadang tidak kita pahami..."
Tiap malam aku mati, tiap malam pula aku terbangun. Aku telah mati berkali-kali...
Every night I die, every night I awake...Ressurection...*
*petikan narasi dalam Fight Club
12 November 2009
Mampirlah, aku menunggu
Mudah-mudahan mereka mau mampir lagi, dan saya harap saya bisa datang kali ini...Saya tahu Matt bangga dan senang berkunjung ke Indonesia (maksudnya??? bukan berarti dia suka saya kan? hahahahah...). Walau ini terdengar sangat lucu, tapi saya senyum-senyum waktu dalam sebuah wawancara sebuah radio di US, ketika ia ditanya negara kunjungan favoritnya adalah Indonesia,,,Wow...sekali lagi saya bukan favoritnya, tapi Indonesia yang ia lihat di Gelora Bung Karno....
Sudilah kiranya mampir, tuan-tuan Muse, karena saya akan menunggu...Mudah-mudahan Adrie Soebono membaca kabar ini.
10 November 2009
Diskotek Berjalan
Sesak minta ampun. Seperti yang sering saya alami jika ke Makassar atau ke Bone, tempat duduk saya lebih sering di kursi paling belakang. Barang-barang di bagasi bertumpuk hingga posisi sandaran kursi hampir tegak lurus. Karena di belakang kami duduk berempat, saya tidak dapat bagian untuk bersandar. Ya Allah, kapan saya bisa menikmati perjalanan dengan santai. Apalagi, seorang ibu paruh baya di depanku tidak berhenti mengomel dengan situasi ini.
Sepanjang jalan, saya menahan posisi tubuh agar tidak ke mana-mana. Kalau seperti begini keadaannya, saya tidak bisa tidur sama sekali selama perjalanan. Penderitaan saya bertambah, ketika Pak Supir menyetel keras sound-sound menghentak sampai ke jantung ala ala tripping diskotek kampung. Hiks...hiks...sempurnalah perjalanan empat jamku.
Saya tidak tahan lagi, tapi apa bisa dikata, Si Supir jadinya ngantuk kalau tidak ada musik pengusik jantung. Keselamatan kami bagaimana pun berada di tangannya...Daripada dia menyuruh kami turun di lokasi antah berantah di tengah malam, lebih baik merecap pengalaman sekali-sekali ini, meski dengan suasana hati yang tidak enak. Sejak mobil meninggalkan kantor agen hingga ke halte perhentian saya, sound-sound itu terus berkumandang, mengejek-ejek saya yang berani mencoba pengalaman baru dalam lembaran sejarah saya bab bolak balik Makassar-Bone.
Sometimes I Want the Old One Back
Tapi bukankah kita punya teknologi? Sebuah teknologi mesin waktu bernama internet yang mampu menggali benda 'purba' tanpa harus berada di sana pada saat itu. Saya bisa saja mengumpulkan ratusan video dan foto-foto idola saya dari belasan tahun yang lalu. Tapi mengapa saya masih menyesal terlambat menyadari mereka hingga tidak deg-degan menanti mereka (bersama Blur dan Coldplay) di Glastonbury 2004? Mengapa saya masih merasa tidak cukup meski telah menyaksikan video festival konser itu berulang-ulang?
Sejauh apa pun sebuah internet membawa saya ke dimensi waktu lainnya, tetap saja ada bagian yang tidak penuh. Sayang sekali saya tidak bisa menyaksikan (lebih tepatnya 'berada di sana') Muse muda hingga sampai ke titik tertinggi di Juni itu. Yang saya saksikan secara sadar hanya rangkain fase kulminasi mereka yang konstan dan terjaga. Sehebat apapun tampilan live mereka saat ini dan di masa mendatang, Glastonbury tetap yang terbaik, yang lebih sederhana dan hanya bermodalkan tiga album (tapi ketiganya sangat klasik bagi saya).
'extravagant' aye?
9 November 2009
Saya dan Kerja
Sempat pula saya meniatkan diri memasukkan lamaran ke sebuah majalah computer-thing dan sebuah koran nasional, keduanya berbasis di ibukota. Berkas dan kualifikasinya sudah saya genapi, tinggal kirim via pos. Namun, entah mengapa malam berikutnya, semangat saya jadi surut. Mengapa? Padahal saya paham benar pekerjaan semacam ini adalah dunia saya.
Mungkin benar kata salah seorang teman, saya sering memberi jeda/ruang di antara kedua belahan otak saya. Sebuah keputusan mendadak kadang-kadang mengapung ke permukaan, dan itu di luar tebakan orang-orang, bahkan dari perencanaan saya yang matang. Apa yang menggerakkannya, adalah sebuah keentahan lain yang belum bisa saya jawab.
Kata Ka Harwan, segala bentuk pekerjaan itu baik, selama halal, dan dengan bekerja orang akan menjadi sehat. Kalimat ini menjadi air bagi semangat saya yang sering layu. Saya tidak membenci pekerjaan, saya hanya kadang cemburu dengan mereka yang telah bekerja sendiri, hidup dengan biaya sendiri, bahkan sanggup menghidupi orang lain. Maka celakalah orang yang mencemooh orang-orang yang bekerja.
Hidup memang terlalu kuat untuk dikendalikan dalam bentuk rencana-rencana. Ada yang menaklukkan dan ada yang takluk oleh hidup. Kedua pilihan ini bukan untuk dipikirkan, tapi untuk dijalani.
The Wedding
"Buat koki tercantik di dunia: Time Flies, but Love is Another Story", begitulah kalimat yang kusematkan buat Kiky, sang pengantin. Dan begitu kado itu menemui tuannya, saya harus memastikan bahwa dia sendiri yang harus membukanya.
***
Entah ini pernikahan ke berapa yang saya hadiri tahun ini. Desy, Rani, Nita, Faika, Andi Bio, Kiki, belum lagi attending mewakili ibu kalau sedang sakit. Saya senang jika diundang dan lebih bersemangat lagi menghadirinya. Saya rela pulang balik Makassar-Bone, berdesak-desakan di mobil panther, demi melihat cahaya kebahagiaan di mata mereka. Mungkin buat beberapa orang apalah arti sebuah kunjungan, tapi menurut saya itulah bentuk pengejawantahan perhatian dan penghargaan bagi teman atau sahabat.
Tak terbayang kebahagiaan yang akan melanda saya jika teman-teman yang saya undang menyempatkan diri menghadiri pernikahan saya kelak (amin :). Bagi saya pernikahan tidak hanya menyatukan dua keluarga yang baru saling mengenal, namun juga wahana menyambung silaturahmi yang telah terputus selama bertahun-tahun (ini di luar kenikmatan sajian gratis makanan aneka rasa). Dan saya bahagia jika bertemu dengan orang-orang yang sadar ataupun tidak sadar telah bersama-sama saling merajut makna dan memberi arti...
Asa yang Berlari
Agak khawatir juga dengan posisi berjalannya yang belum seimbang benar. Kalau dia berjalan, kakinya tidak menghadap ke depan, tapi terbuka ke arah luar tubuhnya yang masih rapuh. Sesekali ia memegang sesuatu sebagai penyeimbang, entah mainan, tas kantor ibunya, atau sapu lidi.
So, Run Asa!!!! Run!!!
6 November 2009
Dua Puluh Satu Ilham
Oh, ternyata sudah tanggal 6, tidak ada yang berarti pertama kali aku melihat layar. Namun angka ini tiba-tiba membawa ingatan dari dua kamar sebelah, adik saya Ilham hari ini tepat berusia 21 tahun. Rencananya, saya mau menaruh kemalasan pada momen ini. Tidak perlu repot-repot bilang selamat.
Hufh...saya teringat tahun lalu di 22-ku. Ia membawakan kue berlilin dengan sebungkus kado. Ingatan yang menuntun jari-jari malas saya menekan tuts huruf yang akhirnya terangkai menjadi kalimat "HEPI BDAY", singkat, padat, dan malas....Malas juga rasanya, waktu ia mengirim pesan balasan "makasih, ih senangku"....
Asaku, cepat-cepatlah selesai kuliah, itu TV kalau malam tolong volumenya dikurangi, soalnya saya jadi insomniac mendengar tayangan-tayangan berita. Terakhir, jangan pernah mengeluh kalau dimintai tolong, ya!!!
5 November 2009
Eksperimentasi
Ide ancur ini berawal dari matahari yang tiba-tiba bersinar dengan cerahnya. Mumpung cahaya sedang bagus-bagusnya layak soft box, saya meminta ka harwan mengabadikan beberapa saat. Harap diingat tidak ada satupun pose di atas yang natural, semuanya terorientasi dengan sangat disengaja, mafhum wajah ini tidak mirip kamera a.k.a. tidak camera face. Tapi bolehlah, buat katalog produk distro darimanaaaa gitu?!! Hehehe, saya tidak keberatan jika anda tersenyum, ngakak, atau kening anda jadi berkerut.
Fotografer: Harwan Sang Alang
Penata Gaya: Harwan Sang Alang
Lighting: Victor Lingka
Lokasi: Pondok Rahmat
Jilbab: Paris MTC
Baju: Airwalk Cap Karung
Jeans: WR
Sepatu: Cafu
Tas: Export
Kamera: Sony Ericsson K530i 2 MP