27 December 2013

Love of My Life

When I grow older, 
I will be there at your side to remind you
How I still love you
I still love you...

Queen


"Itu tangan siapa?" heran engkau tidak bisa mengenali tanganmu sendiri

"Siapa lagi?" jawabku diiringi tawa kecil

"Itu di mana?" tanyamu masih penasaran

"Di tempat pertama kali kita ketemu," seandainya aku berani memberi jawaban ini.

"Oh, forget it!" aku menarik layar handphone ku dari hadapannya. Matanya lalu tertuju ke layar tivi yang menayangkan pertandingan klub bola kesayangannya.

Banyak hal bisa terjadi, bahkan satu detik ke depan, apalagi dalam rentang waktu setahun. I remember how my heart was cracked as he took some piece of salad off my plate. Then, he stayed in my heart ever since. A place where no one can't see him. And it took less than a year to finally let him know. He started it. I knew that day would come but I never thought it would be that fast... and that hurt.... 

Sebelum Tahun Baru Tiba

Iqko...

Tahun baru sisa hitungan jari, walau kita berdua paham, hitungan hari, bulan, dan tahun hanya penanda masa semata. Di sini, di sekitaran mejaku, orang-orang sudah mulai membicarakan rencana-rencana menghabiskan malam, menghitung mundur hingga jarum jam yang selama ini arah putarannya selalu sama mengantarkan kita semua ke sebuah awal yang baru. Dari ruang sebelah, sesekali terdengar suara terompet jualan seorang teman, bisnis periodik yang lumayan untuk kumpul modal merayakan tahun baru mungkin.

Aku belum memikirkan rencana apapun. Bayangan tahun baru dua tahun lalu rasanya belum ada yang mengalahkan: berada di titik tertinggi kota Makassar, yang kebetulan adalah top roof kantor, di mana sejauh mata memandang adalah semburat kembang api tiada henti hingga pagi. Aku belum merencanakan apapun, dengan siapapun. Mungkin rutinitas sudah mengambil alih semua ini kepalaku. Seminggu terakhir, aku selalu hanya ingin pulang, lalu tergeletak di depan tv, terlelap sebelum sempat mengganti seragam kantor dan tidak lagi merapalkan doa yang selama ini kuyakini akan menjagaku hingga pagi.

Mungkin karena itu tadi malam aku mengalami mimpi buruk. Buruk sekali hingga aku terbangun dengan jantung berdegup kencang dan dingin yang menusuk memaksaku mengenakan sweater yang kupinjam dari Were. Untuk pertama kalinya lagi aku dihinggapi ketakutan dengan ruang sekelilingku, seperti ada yang mengawasi dan siap menerkam. Aku meringkuk kedinginan, menunggu rasa kantuk, lelap, berganti mimpi, dan untuk beberapa jam 'lari' dari pikiran-pikiran, pergulatan, konflik dengan diri sendiri.

Tadi malam aku menelpon Nida, tidak lama setelah aku menelponmu tentang rencana kita sekolah lagi. Engkau pasti setuju, ngobrol dengan Nida, rasa optimis itu akan tumbuh lagi, seolah kita bisa melewati apapun. Sometimes I wonder, apa yang dirasakan oleh seseorang yang baru saja aku ajak berbicara. Kalo denganmu? Aku merasa yakin aku tidak sendiri, bahwa kisah-kisah yang tidak konvensional itu ada, bahwa ada ruang bagi hal-hal yang selama ini orang pilih untuk hindari. I can't imagine my life without you...

Jadi sudah ada resolusi? :D  Memulai awal yang baru mungkin hal yang fitrawi, seperti kata Coldplay "oh take me back to the start," mungkin karena awal yang baru memberi kita kesempatan untuk menarik napas. Mungkin letupan kembang api sejenak bisa memunculkan harapan, bahwa kita masih punya harapan, kita merayakan hari esok yang akan datang, walau kata Coelho, kita harus merayakan tiap detik yang datang dalam kehidupan kita.

Resolusiku?

Kemarin, ketika dalam market visit bersama atasan baru, aku sempat membuatnya tertawa saat ia mendengar jawabanku tentang resolusi tahun depan:

"Hapal lagunya Carla Bruni yang susahnya minta ampun, itu resolusi dari awal tahun 2012 yang belum kejadian sampai sekarang."

Ia tertawa, mungkin karena tidak menduga jawaban itu yang kuberi. Tidak biasa mungkin, Hahaha. Terlalu sederhana atau justru sangat absurd? I dont know. Tapi, aku masih akan terus menyusun dialog-dialog imajiner, mengucapkan kata 'rindu' atau 'sayang' sebatas dalam hati kepada punggung yang selama ini berlalu lalang di hadapanku, memproyeksikan imaji dirinya di tempat-tempat atau adegan-adegan ideal di kepalaku. Well, I hope you dont mind having a friend like me :D:D

But best thing maybe, membahagiakan orang, entah yang terkasih atau yang baru mengiriskan lingkaran dalam keseharian. Aku pernah berkata pada Were, pada malam Natal yang kami lewatkan di salah satu resto fast food 24 jam:

Kehampaan, akan terus terasa hampa hingga orang yang menciptakannya sendiri yang datang memenuhinya. Ruang hampa yang akan terus terbawa ke mana-mana kaki melangkah. Namun setidaknya melihat senyum bahagia di wajah orang-orang yang kita kasihi, lubang hitam itu bisa sedikit tertutupi, walau setelah itu akan menarik lagi semua energi memikirkannya :D what an evil circle...

Makassar, on an Xmas Eve

Hanya ini yang dapat kubagi denganmu, jelang akhir Desember yang dihiasi hujan, jalan-jalan yang menyala setelah hujan, dan omelan-omelan karena mulai banjir di mana-mana (aku yakin kamu tidak :D). I never think of tomorrow, tapi harapan akan hari esok adalah hal yang membuatku bertahan hingga hari ini, di saat aku punya banyak pilihan untuk menyerah.


Carry on,




Emma (Watson)
*Sedang mendengarkan Wonderwall nya Oasis berkali-kali berharap tahun depan sudah bisa menginjakkan kaki di kampung empunya lagu* *amiiiiinnn*

30 September 2013

Saat si Adek Sakit

Waking up with sunshine on my face...

Jumat, Eby, Imel -sekretaris baru di kantor-, dan aku sedang makan bakso di pinggiran gedung BNI saat pesan teksnya masuk ke hapeku. Ia bertanya aku sedang di mana, ia memintaku untuk ke kamarnya, ia demam sejak paginya dan belum turun. Aku menghabiskan makananku segera, Eby memintaku untuk tidak menunggunya selesai.

Laptop dan chargernya kutinggal di meja karena kupikir akan kembali lagi setelah membawa adikku ke dokter. Tiba di kosan, adikku masih ogah dibawa ke dokter, katanya sudah minum paracetamol seperti yang kusarankan sebelum aku meninggalkan kantor. Jadi aku menunggu sampai obatnya bekerja.

Hingga jam 4 sore, demamnya belum turun juga. Aku memutuskan memanggil taksi, bermaksud membawanya ke dokter Hendrik, dokter langganan Echy. Kami menunggu agak lama sampai dokternya siap memeriksa. Di ruang periksa, dokternya tersenyum saat aku bilang adik inilah yang selalu mengantarku check up selama ini. Wheel was turning haha, sekarang giliranku yang harus mengantar.

Hasil diagnosa: infeksi usus. Mungkin dia kelelahan atau salah makan atau tidak teratur makan. Sudah hampir sebulan ia kembali menjalani rutinitas sebagai anak kuliahan. Dokter memintanya untuk makan bubur saja beberapa hari ini. Sambil menunggu obat dari apoteker, aku menghubungi sekuriti agar mengamankan laptop dan barang-barangku yang ketinggalan. Untuk kesekian kalinya aku melewatkan sunset Jumat dari kantor. Saat menunggu taksi pulang, langit sudah gelap.

Sebenarnya, aku tidak berniat menelpon mama dan bapak, tidak ingin membuat mereka khawatir. Selama masih rawat di rumah, semua akan baik-baik saja. Tapi adikku memaksa. Mamaku malah berencana ke Makassar keesokan harinya. Setelah menenangkan dan meyakinkan kalau si adik sudah bisa sembuh setelah minum obat, akhirnya ia menunda keinginannya itu.

Tanpa persiapan apa-apa, aku menginap di kamar adikku, dengan pakaian kantor yang belum kuganti. Kamarku dekat tapi semua bajuku ada di rumah Eby di Alauddin, tempatku berdiam selama kurang lebih enam bulan terakhir ini.

Terkadang menyenangkan juga bisa sedikit menjauh dari rutinitas kantor. Kata seorang teman, beberapa bulan kemarin, pikiranku terlalu penuh dengan pekerjaan. Ia menyarankan untuk mencari kegiatan lain. Buatku, mungkin harus mencari celah supaya bisa kabur sejenak. Dua hari berada di tempat adikku, di tengah-tengah suasana kosan yang juga pernah kujalani, aku menghirup udara yang berbeda, matahari yang berbeda, orang-orang yang berbeda. Mendengarkan lagu-lagu lama peninggalan kakakku yang masih tersimpan di komputer di kamar adikku. Menonton trilogi The Lord of The Ring versi extended, yang satu film bisa sampai 3,5 jam. Awalnya cuma mau nonton Fellowship of the Ring, tapi ternyata lanjut ke dua film berikutnya. Kami tertidur saat Gondor diserang pasukan Sauron.

That was the longest sleep ever since I worked.... 

I woke up as I felt sunshine on face through the window. Hal pertama yang kulakukan, meraba dahi adikku. Panasnya sudah reda. Prediksi dokter tepat, hari Minggu, suhu badannya akan normal kembali. Lega, mamaku tidak harus menyusul kami. Si adik masih harus makan bubur. Kali ini ia sudah bisa duduk menyalakan laptop, memutar lagu-lagu Linkin Park yang masih kuhapal sampai hari ini.

Pukul 10, temanku Ridho memenuhi janji untuk membantuku pindah....

19 September 2013

"My heart is a pen in your hand, it is all up to you to write me happy or sad. I see only what you reveal and live as you may. All my feelings have the color you desire to paint. From beginning to the end, no one but you. Please make my future better than the past..."
Seperti arti matahari untuk Clark Kent, demikian syair Rumi ini bagiku. Seperti air bagi pejalan yang kehausan, cahaya bagi yang terjerembab gelap.

To You, I surrender my soul my dear Lord...

18 September 2013

Dwi,

Aku membaca twit pagimu saat dalam perjalanan pete-pete ke kantor. Eby, teman tinggalku hampir setengah tahun terakhir ini, tadi pagi berangkat duluan karena aku telat bangun, sementara tetangga sebelah yang selalu berbaik hati memberi kami tumpangan ke kantor sudah siap-siap berangkat.

Katamu engkau sedang rindu...

Aku pernah menulis status facebook, long ago, kalau konsekuensi terberat dari cinta bukanlah cemburu, tapi rindu... atau bahasa lainnya kehilangan. Aku teringat sebuah perbincangan dengan Echy tentang arti harfiah "I miss you". Kalau tidak salah, hari itu dia kita todong menjelaskan karena dia baru saja tiba dari Arizona, jadi bahasa Inggris nya masih fresh :D

Dan aku sempat tertegun waktu dia berkata, 'miss' itu harfiahnya 'kehilangan'. Engkau juga pasti ingat kalau kita pernah sepakat frase ini terdengar lebih indah dan merdu sekaligus menyakitkan dari ungkapan cinta itu sendiri. Itulah mengapa aku 'benci' jika misalnya ada yang berkata rindu padaku, because I knew how painful it was to miss somebody. Seseorang tidak berbohong ketika ia mengucapkan rindu, I believe it.

Lalu aku membaca twitmu selanjutnya: "menunggu putus" dengan tautan instagram. Filenya tidak bisa dibrowse dari IP kantor :(( tapi jika aku tidak salah, engkau pernah posting di blog tentang sebuah gelang, yang jika putus, keinginanmu akan terkabul. Ya kalau tidak salah tebak, pasti tentang gelang itu kan hahha.

Dwi, harus aku sampaikan, salah satu hal menyenangkan tentangmu adalah keyakinanmu pada hal-hal yang disebut Alice di Closer "beyond comprehension", yang di luar pemahaman dan hanya bisa dijangkau dengan keyakinan itu. Suatu saat, aku berjanji, akan mengabadikanmu dalam karakter kisah fiksiku :))

Please dont get mad as I say "I miss you". Derajat 'kehilangan' dalam persahabatan kita ini tidak akan pernah melampaui 'kehilangan' yang lain. I miss our conversations, tentang cerita yang mungkin terjadi di masa depan, bagaimana kisah saling bertaut, and those other things beyond comprehension.

Sincerely,

Emma

13 August 2013

Sabda

"Janganlah sebuah kesalahan menghilangkan kasih sayang di antara kalian..."
Salam alaika ya Rasulullah..

Potongan sabda ini tertulis di halaman pertama catatan kuliah semester tiga. Masih saya simpan sebagai kenang-kenangan atas masa yang menandainya. Mungkin karena hampir serupa, ingatan tiba-tiba membawa saya kepada pesan ini....

Untuk ketiga kalinya saya membeli buku Haidar Bagir "Islam, Risalah Cinta dan Kebahagiaan". Duanya saya hadiahkan untuk teman, sementara satunya lagi saya beli beberapa hari jelang Idul Fitri, saya niatkan untuk kakakku. Saya sendiri baru sebatas skimming read, baca lintas lalu dan saya rasa sudah cukup sebelum saya berikan. Namun saat sedang kepak barang untuk mudik, saya membuka-buka lagi dan akhirnya memutuskan tidak membawanya ke Bone. Saya lebih membutuhkannya setelah semua yang terjadi dua bulan terakhir. I need some strength...

Dan kata cinta selalu cukup, meski rindu selalu melemahkan dan terkadang melahirkan ego yang melawan cinta itu sendiri.

9 July 2013

Bertemu Budi Darma

Makassar, 25 November 2012

Untuk pertama kalinya saya komplain dengan cuaca hari ini yang tidak menentu. Mendung di timur, terang benderang di barat. Hujan rintik sebentar, lalu hujan besar, lalu turun level jadi gerimis. Masalahnya adalah saya membawa paper bag untuk salah seorang penulis favorit yang akan kutemui hari ini. Untung saja saya membawa payung jadi resiko basah-basahan bisa dikurangi.

Kabar mengenai kedatangan Budi Darma saya peroleh dua hari lalu dari junior saya: Riana, Meike, dan Nita. Ada semacam gathering penulis Indonesia, Budi Darma salah satu peserta yang turut hadir. Hati saya rasanya mengembang sampai ke sudut-sudut. Huaaaa… saya harus bertemu dengannya. Saya langsung mengontak Nita yang kini ternyata telah bekerja sebagai wartawan di salah satu media lokal dan bertugas meliput kegiatan ini. Kami berjanji bertemu di Hotel Aston, tempat di mana para penulis berkumpul sebelum menuju Fort Rotterdam. 

Budi Darma adalah penulis novel Olenka, satu-satunya novel bahasa Indonesia yang kubaca hingga berkali-kali. Seperti menengguk obat dan berharap manjur menghilangkan sakit, seperti itulah Olenka bagiku. Novel Olenka adalah salah satu pain killer ampuh. Menyadari bahwa ada sebagian diriku yang hidup dalam karakter Olenka, Fanton Drummond, dan Wayne Danton.

Lobi hotel ramai saat aku tiba. Rasanya sudah tidak konsen saat menitipkan payungku yang basah. Pandanganku menyapu isi lobi dan akhirnya menemukan Nita sudah bersamanya. Sosoknya tiada memperlihatkan kerentaan di usianya yang sudah menginjak 75 tahun. Ia berjalan sendiri, langkahnya mantap saat menenteng travel bag, tanpa tongkat. Sebagian rambutnya telah memutih.

Begitu mendapatkan kesempatan, saya lalu mengobrol dengannya sambil mengeluarkan novel Olenka milikku. Saya seperti melakukan verifikasi, mempertemukan apa yang saya baca langsung dengan pengarangnya. Wah saya sampai gemetar. Bertemu langsung dengan ‘pencipta’ Olenka. Yang saya baca kalau sedang sedih, yang kisahnya telah menemani dan membantu saya melewati masa-masa sulit selama ini. 

Ia lalu menceritakan bagaimana inspirasi menulis Olenka, seperti yang ia ceritakan di bagian akhir buku. Bahwa saat itu ramalan cuaca mengatakan akan ada badai salju, jadi Budi Darma dan beberapa temannya diminta untuk kembali ke apartemen. Saat lift akan menutup, seorang perempuan menahan lift. Mereka berbincang sejenak tentang tiga anak kecil yang juga ada di dalam lift. Kejadian itu ternyata menjadi pemantik bagi Budi Darma untuk menulis Olenka hingga rampung hanya dalam waktu tiga minggu.

“Sebenarnya ide dan material tulisan saya sudah ada, nah momen di lift itu adalah pemantik, keluar satu demi satu sampai jadi satu novel.”

Saya lalu memperlihatkan foto profilnya di sampul belakang, ia hanya merespon “Oh ini buku udah lama banget.”

Budi Darma lalu menceritakan potongan-potongan koran yang ada dalam novel (itu adalah idenya untuk memasukkan beberapa guntingan koran sebagai ilustrasi). Dengan antusias, ia bercerita tentang street preacher, pendeta jalanan yang ‘berdakwah’ di jalan-jalan Bloomington, cafĂ© yang menjadi setting tempat bekerja Olenka, tentang balon udara yang melintas di Indianapolis, tentang film Breaking Away yang dibuat pada saat ia masih kuliah di Indiana University, dan tentang pemandangan di belakang apartemen tempat tinggalnya.

“Memang ada orang yang bisa meramalkan masa depan orang tapi tidak bisa meramalkan dirinya sendiri. Ada yang bisa mengamati orang dengan cermat tapi tidak bisa mengamati dirinya sendiri,” kata Budi Darma saat aku memperlihatkan ilustrasi belakang apartemen itu. Aku bisa merasakan bagaimana ia kemudian mengingat lagi Bloomington yang telah ditinggalkannya puluhan tahun lalu. Pasti menyenangkan bisa menceritakan lagi apa yang sudah berlalu.

Kekuatan dari Olenka adalah perenungan Fanton Drummond akan apa-apa yang telah ia lakukan. Seperti Budi Darma katakan di awal buku: Karya sastra yang baik adalah yang kaya berkelebatnya sekian banyak pikiran. Kita bisa membaca, Fanton tidak berdaya dengan perenungannya sendiri, keentahan yang tiada akhir, dan kepasrahan. Budi darma menyematkan kalimat Chairil Anwar, Hidup adalah menunda kekalahan. Tidak ada sosok hero di dalam kisah Olenka, yang ada hanya orang-orang malang.  

“Olenka adalah hasil pengamatan saya dengan kehidupan orang-orang di Bloomington, ada istri yang berselingkuh, anak dengan keterbelakangan mental, orang-orang individualis. Khusus untuk Fanton Drummond saya memasukkan beberapa karakteristik ke dalam tokoh itu.”

Pertemuan kami harus berakhir saat bus yang akan mengantar rombongan ke Fort Rotterdam sudah tiba. Rasanya masih ingin ngobrol lebih lama. Saya lalu meminta beliau menandatangani buku dan berfoto bersama. Tidak lupa saya menyerahkan paper bag yang sudah saya siapkan sejak kemarin untuknya :))

3 July 2013

1 July 2013


You may not know me... But ever since your brother 'introduced' you in one of our conversations, I feel so much close. Like I've known you for long. Maybe because, all of my life I've been wanting to have a younger sister. Maybe you are the answer, I'm keeping the faith...

Don't grow too fast, I wish to see your pure sweet smiles...
Love,


Emma
One of the best thing about rain is that everything seems moves in a slow motion. Bisa sejenak meredakan kepanikan saat menyadari ini hari Senin, apalagi harus bangun sejam lebih awal dari jam bangun normal. Kamar dingin tertutup rapat tapi aku masih bisa mendengar rintik-rintik hujan lalu memikirkan pakaian yang baru sempat kucuci tadi malam. Kubiarkan saja diguyur hujan, aku hanya menyelamatkan seragam yang mesti dipakai hari ini. Langit masih gerimis, tapi kuputuskan untuk menembusnya berjalan kaki.

Kantor masih sepi saat aku tiba tepat pukul 07.00, sejam sebelum rutinitas dimulai. Kepagian ini karena aku harus membawa kunci lemari penyimpanan kamera. Salah satu rekan kantor akan berangkat lagi ke Samarinda untuk event serupa yang baru saja kami jalani di Sorong minggu lalu. Setelah selesai, aku menghambur ke pantry begitu tiba-tiba ingat tayangan final Piala Konfederasi Brazil vs Spanyol yang kutinggal tadi pagi karena harus ke kantor. Karyawan lain berdatangan, silih berganti masuk pantry untuk cek skor terakhir. Sebagian besar berlalu lagi, angka 3-0 memang sangat mencolok.

Cuaca masih mendung di luar, dugaanku. Udara makin dingin, jas yang biasa kubiarkan tidak terkancing, kututup rapat-rapat. Aku bertahan sampai selebrasi kemenangan berakhir, menyaksikan orang-orang di dalam layar merayakan kemenangan Brazil yang berjarak 12 jam dari sini. Far away, so close, kata Bono. With the satellite television you can go anywhere. Eforia nun jauh yang menghadirkan senyum di sela-sela letih yang masih kurasa akibat kegiatan kantor beruntun pekan kemarin.

Sepekan lagi bulan Ramadhan. Time does run!! Tahun ini, puasa lebih banyak akan kujalani di rumah Eby, hingga kontrakan rumah itu berakhir 1 Agustus nanti. Eby mengajakku pindah ke kosan barunya kelak. Namun kutolak karena kamar kos ku di kampus masih belum habis masanya. Belum mempertimbangkan untuk melanjutkan atau tidak. Hal-hal di luar kendali di luar perkiraan sering saja terjadi.

Aku belum menghubungi ibu dan bapak... Sabtu ini aku mendapat jatah off dari kantor. Semoga tidak ada kerjaan dadakan. Just wanna go home, feeling the afternoon sunshine behind my house while holding the fence, taking some deep breaths before starting over again...

28 June 2013

Alright

Entah bagaimana aku harus membalas kebaikannya hari ini. Di kantor ini, ia orang pertama yang mengatakan aku berbakat menulis. tulisanku di blog ini mengingatkannya pada Jane Austen. Penulis roman "Pride and Prejudice". Belum pernah kubaca, tapi aku berjanji, sebagai bentuk terima kasih, akan kucari buku itu, membacanya sambil menduga-duga di mana kira-kira kemiripan itu. Jika ia berkenan mendengarkanku sekali lagi.

Hari ini ia menjadi terapisku, ditinggalkannya jarum rajut dan benang yang seolah sudah jadi bagian dari tangannya selama ini, hanya untuk mendengarkan kalimatku yang terpatah-patah, tidak terstruktur, terbata-bata, melompat dari satu tema ke tema lainnya. Hingga jam makan tiba, pandangan dan posisi tubuhnya tidak sedikitpun menjauh dariku. Ia seperti sedang menyimak cerita/dongeng paling menarik di dunia hingga ia tidak bergeming.

Ruang kerjanya adalah tempat pelarianku, saat kepenatan mulai melanda, saat orang-orang di ruanganku intonasi suaranya makin meninggi seiring berlalunya jam demi jam. Aku suka mejanya, tidak kaku, benang rajut di mana-mana, sebuah jam unik seperti yang pernah kulihat dalam video klip Warning nya Green Day, buku-buku tertata rapi salah satunya terselip kumpulan drama Shakespeare dan kamus tebal dengan kertas yang menguning terbitan Oxford, serta sebuah radio digital yang selalu disetel ke frekuensi stasiun radio yang hanya memutarkan lagu dalam negeri. Terkadang, setiap berlabuh di sana, aku merasakan sebuah dimensi lain, merasakan rumah.

"Tumben tidak cari koran lagi", celetuknya membuyarkan lamunanku saat menatap kapal dan laut dari jendela dekat mejanya. Tadinya aku mau meminjam telpon, sudah seminggu line telpon di ruanganku tidak berfungsi. Ketika ia mulai bertanya apakah aku baik-baik saja, dan saat aku baru akan menjawab iya, aku  tahu dia tidak akan percaya. People just cant hide their eyes... And sometimes people just looking for that one simple question: are you alright?

21 June 2013

I'm so tired but I can't sleep
Standing on the edge of something much too deep
It's funny how we feel so much but we cannot say a word
Though we are screaming inside
Oh we can't be heard...



"I will remember you..."
Sarah McLachlan

14 June 2013

Lisan

Kalau tidak salah, aku pernah membaca kalimat di sebuah buku yang kubaca di akhir-akhir masa kuliahku. Di lembaran itu tertulis: "bahkan dengan kata-kata pun manusia sanggup bertahan hidup...". Aku termasuk orang yang percaya dengan kalimat ini. Sebuah kata dapat mengubah isi kepala bahkan seluruh hidup seseorang. Dan berbahagialah yang masih sanggup berlisan, yang dengannya ia dapat memasukkan kebahagian di hati orang yang mendengarnya, meneduhkan hatinya, meredam amarahnya. Kata-kata yang terucap hanya terdengar di dunia ini. Karena di sebuah tempat yang dituju semua manusia, kata akan tidak memiliki arti...

Lantai 19, hampir Isya, menunggu macet reda, sambil dengar Sixpence None The Richer

13 June 2013

Aku membaca pesan itu dua jam setelah engkau mengirimkannya. Engkau pasti kelelahan terjaga sampai dini hari. Entah, membaca isinya seperti membaca sebuah kalimat perpisahan, seperti sebuah pertanda yang menunggu terjadi. Semoga ini hanya kekhawatiranku yang kadang berlebihan. I hope I was wrong. Lord, save me and him from my weaknesses.


In case you read this, I just missed you...
Dini hari tadi, aku terbangun oleh tangisan Ara. Hujan deras turun sejak tadi malam. Hujan yang membuatku terlelap lebih cepat dari malam-malam sebelumnya, meninggalkan Dwi dan Ka Yusran suaminya larut dalam cerita dan tawa silih berganti. Berada di dekat mereka, aku seperti berada di rumah, pembicaraan-pembicaraan yang selalu kurindukan dan telah lama hilang dalam keseharianku.

Ara menangis, meronta, sesekali menarik kerah baju atau mencoba mengangkat ujung bajuku. Tangisnya membuatku terjaga sesaat. Aku memeluknya dan ia mengucapkan No...! No...! berkali-kali. Usianya hampir dua tahun. Tadi malam, saat aku tiba di Sudiang, ia sudah terlelap di pelukan ibunya. Mungkin karena alasan itu, ia tidak mengenalku dan malah mengira aku ibunya. Ia minta nenen... Ara oh Ara... Ibu dan ayahnya akhirnya ikut terjaga, menarik tubuh Ara yang tidak mau lepas dariku. Jari-jarinya menempel erat seperti laba-laba, hewan favoritnya.

Ara sudah tenang didekap Dwi, aku melanjutkan mimpi yang terpotong. Hujan tidak membiarkanku terjaga lebih lama, Kondisi yang sangat beresiko sebenarnya, karena esoknya harus ke kantor lebih pagi. Kekhawatiranku benar, aku salah perhitungan. Dari Sudiang ke kantor butuh setengah jam tambahan dari durasi perjalanan Alauddin-kantor selama ini. Telat lagi tiba di kantor... Padahal baru kemarin sore, atasanku mengirimkan pesan meminta kami untuk lebih disiplin.

Dwi akan berangkat ke Baubau, katanya Kak Yusran sudah sangat rindu kampung halaman. Aku menyempatkan diri ke Sudiang. Sekedar bertemu, bercerita sejenak tentang rambutnya yang baru saja di-smoothing, menyambung kisah tentang Athens yang belum selesai-selesai sejak ia kembali menginjakkan kaki di sini. Namun sisa energiku tidak cukup menemaninya sampai larut. Aku tertidur dengan remote tivi di tanganku.
 

20 May 2013

Tentang 2 David

Aku masih ingat ekspresi wajah bermahkota rambut pirang itu melekat di dinding kamar kakakku. Sebuah poster dari majalah ANITA yang kubeli dari uang tabunganku waktu itu, tidak lama sebelum ujian kelulusan SD. Sometimes in 1998, jelang Piala Dunia. Poster itu awalnya diminta seorang teman, sebagai gantinya ia akan memberiku poster Ricky Martin di edisi Anita berikutnya haha (saat itu lagi booming-nya La Copa de La Vida). Tapi kakakku mencegah, karena doski yang mau pasang *tepokjidat. Secara teknis juga waktu itu aku belum punya kamar sendiri.

David Beckham… Pria dengan rambut pirang di poster itu. Saya menjadi saksi pertandingan panas berbumbu politis Inggris vs Argentina, di mana ia diganjar kartu merah karena ‘menendang’ Diego Simone. Subuh itu, rumah ramai. Di lantai bawah Bapak menonton via TVRI, sedangkan kakak-kakakku bersama teman-temannya menyaksikannya di lantai atas. Saya terbangun oleh keriuhan saat Michael Owen menciptakan gol penyama kedudukan 2-2. Saat meniti tangga ke atas, kepala kakakku muncul dan mengucapkan hal yang bikin hati remuk: “Beckham kartu merah!” 
 
A moment that defined year 1998

God, mataku yang masih mengantuk akhirnya membelalak. Ya, saya masih ingat wasit mengangkat kartu merah di tayangan ulang. Riuh kembali tercipta (yang saya yakin bukan hanya di rumah kami). Dan entah kenapa ada sedikit ngilu di hati waktu Beckham meninggalkan lapangan. Benar-benar pertandingan yang emosional buatku. 

 Beckham bukanlah pemain bola favoritku. Tapi dia salah satu alasanku mulai menyukai pertandingan sepak bola sejak saat itu. Kehebatan adalah definisi dirinya. Meski tidak terlalu mengikuti perkembangan karirnya, hati saya tetap merasakan kehilangan saat sebuah tayangan TV baru-baru ini mengabarkan rencana pensiun Becks. Dalam tayangan itu, Spice Boy ini meninggalkan lapangan sekali lagi seperti waktu melawan Argentina subuh itu, tapi kali ini dengan mata yang memerah.

merayakan gol Owen... yg juga pensiun tahun ini... hiks

Seorang David lain, David Trezeguet. Yang satu ini, saya secara resmi adalah fans berat. Senyum ‘kecele’nya saat berulang kali gagal menjebol gawang Senegal di pertandingan perdana Piala Dunia 2002 sungguh menawan hati. Perancis kalah duluan dan lagi-lagi ‘sakit hati’. Tahun-tahun berikut dalam hidupku bisa ditebak, beli tabloid olahraga yang ada dia, pesan majalah Bola Vaganza yang ada dia lewat kak Accang, karena di toko andalan “Naga Sari” tidak menjualnya.

the reason why I love Juve

Tapi mungkin, sepak bola menjadi ingatan yang hanya bertaut dengan masa SMAku. Poster-poster, guntingan koran dan majalah berhenti di situ. Entah sekarang sudah berada di mana koleksi itu, apalagi poster Beckham aku lupa sejak kapan diturunkan dari dinding. Mestinya waktu hijrah ke Makassar kubawa serta seperti catatan-catatan harianku. Setidaknya bisa jadi artefak…

Beckham dan Trezeguet adalah dua ikon yang ‘akrab’ denganku selama ini. Anggap saja PHB nya adalah media-media itu. Shared experience kami sifatnya searah. Aku kembali memaknai masa-masa di mana imaji-imaji mereka di dinding kamar sebelum lelap, atau saat salah satunya menjadi alasan bibir melengkung ke atas, menjadi tujuan, yang menuntun jemariku meraba-raba buku tebal “Belajar Bahasa Perancis di rak-rak perpus sekolah, dengan harapan suatu saat bisa ke Perancis dan bertemu :D Oh I miss those moments however…

Mendengar mereka akan pensiun, ada momen of silence tercipta. Kehilangan itu ada, saat melihat Beckham menitikkan air mata pada laga yang boleh dikatakan laga perpisahan. Atau saat membaca twit temanku tentang Trezeguet yang juga akan pensiun akhir musim ini. 

Goodbye Becks, Au Revoir Trez…

13 May 2013

Semacam Moodbuster

Dia teman satu kelasku waktu SMP. Paling mudah dikenali karena dia yang paling cantik, no argue. Namanya Engka, jika ada waktu luang, Engka akan ke rumahku menyelesaikan PR dari sekolah atau aku yang jalan-jalan ke rumahnya jika ingin membaca edisi terbaru majalah Aneka Yess atau membicarakan sinetron remaja malam sebelumnya. 

Malam itu, aku baru tiba di depan kosan Eby saat pesan instannya masuk ke hapeku. Kami terhubung lagi setelah terakhir kali bertemu empat tahun lalu. She is now a mother of three. Ia bertanya tentang foto profil yang baru saja kupasang, foto Ronald hasil jepretan setahun lalu di Akkarena. Ternyata keduanya berteman di Path, envy her... aku belum punya akun di Path. Huaaaa... Jadinya aku titip salam via Engka, selengkap-lengkapnya sesuai hasil pembicaraan malam itu hehe. Dengan senang hati ia melakukannya untukku.

Pagi harinya, Engka mengirimkan screenshot yang ia janjikan *terharu*.  Made my day undoubtly :p

It's been a year by the way. Gee, time flies...


Dwi,

Kabar rencana kepulanganmu datang bersamaan dengan telpon ibuku. Hari itu ia menelponku menanyakan kabar setelah sebuah 'insiden cuci otak' oleh kakakku. Naluri mungkin, kalau anak perempuan satu-satunya ini sedang tidak stabil. Apa yang kudengarkan kemudian membuat mimpi-mimpi dan harapanku bermekaran kembali. Kalau katamu seperti mercon yang siap meledak di udara, Itu yang kurasakan juga begitu mendengar rencana-rencanamu ke depan, setibanya engkau di kota perantauan kita ini. I breath easily again.

Tidak sabar menunggumu pulang, jika perlu aku akan mendirikan tenda di bagian kedatangan di bandara :D

Sometimes in April

Hello April,

Apa ini kebetulan atau bukan, aku masih ingat postingan tahun lalu di bulan April tepat pada hari Jumat juga. Setahun berlalu, aku sudah dipindahkan ke anak perusahaan lain sebagai staf marketing, 'jauh' dari bidangku atau lebih tepatnya passion seperti yang mereka sebutkan di buku-buku pengembangan diri. 

Aku menganggap ini sekolah, tempat latihan dan dibayar, kata salah seorang karyawan saat kami satu lift. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di perusahaan ini aku sudah berikrar untuk tidak bertahan lama. Ini hanyalah tempat singgah, mungkin semacam pengalihan atau sekedar pemenuhan tuntutan sosial, menjauhi zona ketidakwajaran di mata orang-orang sebagai pengangguran.

Pagi tadi, aku belum terlelap sama sekali. Aku mengirimkan pesan teks untuk ibuku, isinya sangat sentimental. Sederhana, aku hanya berkata aku menyayanginya, menyayangi ayahku, dan betapa aku sangat bersyukur ber-orangtua-kan mereka. Hanya ingin mereka tahu bahwa mereka berarti. (Belakangan ini aku sering dikunjungi imaji-imaji ayahku yang sedang terbaring dikelilingi anak-anaknya, tersenyum seolah akan pergi). Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menyadari kasih sayang justru pada saat-saat terakhir, mesti kata cinta sanggup mewakili banyak waktu yang telah hilang

Butuh beberapa saat sampai aku benar-benar menekan tombol 'send'. Hingga aku mengunci pintu kamar menuju kantor, belum ada balasan. Mungkin ibu sedang di dapur saat sms terkirim, ataukah karena butuh waktu lama baginya untuk menekan tuts handphone merangkai kata. Aku teringat tangan kirinya yang belum pulih benar setelah patah dua bulan lalu.

Sudah seminggu terakhir aku tiba di kantor tepat waktu. Atasanku kerap mengeluh karena divisi kami selalu jadi peringkat pertama indispliner. Di angkot, untuk pertama kalinya headset tinggal di tas saja. Telingaku agak lelah mendengarkan lagu-lagu, selain emosi juga lebih banyak terbawa karena suasana lagu. Aku belum tidur sejak kemarin, mendengarkan lagu bisa saja membuatku jadi berhalusinasi. Cuaca sedang soft, supir angkot juga tampaknya sangat kooperatif dengan tidak ngebut dan tidak terlalu pelan juga.

Dering penanda sms pertama di hari ini datang juga. Kukira dari salah satu penagih proposal yang belakangan ini  kerap membuatku stres. Dari ibuku ternyata. Kantor masih agak sepi, baru beberapa orang yang datang, beberapa karyawan dari divisiku sendiri juga sedang dinas ke luar kota. Membaca 'mama' di layar handphone sudah membuatku haru, aku membaca basmalah dan shalawat berkali-kali mencari kekuatan untuk membaca isinya. Aku tahu, beberapa saat lagi kelopak mataku akan jebol. Dan seperti itulah yang terjadi... Untungnya ruanganku dipasangi sekat-sekat antar meja, jadi drama pagi-pagi ini cukup aku yang menikmati...


19 April 2013

Patience

Seperti dugaanku semalam, pagi ini aku mendapat teguran dari atasan. Sebuah pekerjaan yang mestinya kuselesaikan sebelum kabur cuti panjang kemarin. Kalau kondisi seperti ini, aku hanya bisa menyalahkan diri. sumpah serapah dan kutukan kuucapkan untuk diriku sendiri dalam hati, meski sebenarnya sudah mempersiapkan diri dengan teguran ini, antisipasinya akan seperti apa.  Antisipasi itu berupa screen shot percakapan hampir tengah malam sembari berjanji begitu membaca teks itu, aku tidak akan sedih lagi. Aku belum membukanya lagi. Sekeluar dari ruangan atasan tadi, aku langsung tenggelam dengan aktivitas depan laptop. Dan bukannya menyelesaikan tugas kantor, aku malah mengutak-atik blog yang sudah tidak pernah kujamah hampir empat bulan, memasang header baru, yang kuharap juga mengembalikan ingatan-ingatan akan mimpi yang pernah ada...

Jika lubang di hati klepnya lepas lagi,  biasanya aku mendengarkan lagu favorit, baca sms-sms lama, atau ke Losari. Truly are the pain killers. Hari ini, aku kembali membuka blog teman-teman. Salah satu hal yang aku syukuri adalah teman-teman yang mau berkisah dan memaknai pengalaman-pengalaman. Terkadang bikin cemburu juga membaca kisah perjalanan ke tempat-tempat impian, yang kerap diceritakan dalam buku-buku fiksi.Kembali aku berniat mengutuk diri lagi, tapi kurasa sudah cukup. Cukuplah selera makan yang tiba-tiba hilang sebagai 'hukuman'.

Tentang liburan kemarin, sudah lama aku rencanakan. Sekalian menghabiskan cuti tahunan yang berakhir di bulan ini. Keinginan besar inilah yang membuatku lalai mengerjakan tugas hingga hari ini mendapat teguran dan sedikit ancaman diberi surat peringatan. Aku bertemu kakak ipar yang tengah hamil 3 bulan tapi belum memperlihatkan perubahan tampilan fisik yang berarti, menyampaikan ole-ole baju dan krayon buat dua ponakan yang makin besar, dan yang paling penting menghadiri pernikahan salah satu teman baikku semasa SMA, Fera. Persiapan cukup menyita waktu dan kesabaran. Kurang lebih dua hari dua malam, di rumahnya yang agak jauh dari rumahku, aku menemaninya menjalani rangkaian tradisi pernikahan. Dalam dua hari itu pula aku bertemu dengan teman-teman SMA yang selama ini hanya bisa saling mengintip status di dunia maya. Beberapa sudah menikah dan meneruskan keturunan, yang lain masih dengan kesendirian yang entah membuat nyaman atau malah risih.

Masih terngiang-ngiang kalimat kakakku, yang meminta aku kembali pulang, menemaninya membesarkan usahanya yang sudah ia rintis sejak dua tahun lalu. Perspektif dari ibu, ia memintaku bertahan, menyesuaikan diri sebisa mungkin. Sabar, memang tidak ada yang sepadan dengan kata ini. Energi yang tiada habisnya kata ibuku.Aku akan bertahan tapi mungkin tidak lama lagi. Sebuah mimpi tengah kuretas. Mimpi  yang sanggup membuatku tersenyum kala masa-masa tidak mengenakkan melanda dan mengucapkan lirih dalam hati: soon this 'sorrow' will be over... Dan seperti kata Axl Rose, all we need is a little patience...

31 January 2013

14 January 2013

The Hobbit, Obat Kangen

Akhirnya saya bisa juga menikmati Middle Earth versi bioskop, 3D lagi hehe. Saya termasuk telat menikmati kisah trilogy kolosal Dunia Tengah ciptaan JRR Tolkien. Selama ini saya hanya mendengarnya dari kakak kelas saya, Kak Agus, yang selalu yakin dirinya adalah Legolas. Baru saat saya berada di Sengkang awal tahun 2010 untuk penelitian, salah stasiun TV spesialis film-film klasik berkali-kali memutar film The Lord of The Rings (TLOR). Agak kesulitan menonton karena teksnya bahasa Kanji, saat pulang ke Makassar saya buru-buru mencari filmnya.

Meski saya nge-fans berat dengan Elijah Wood dan karakter Eowyn, tapi cinta sejati saya adalah Gandalf The Grey, sang pembuat kembang api. Begitu pun saat karakter ini muncul kembali dalam The Hobbit, sebuah prekuel TLOR. Gandalf diperankan sangat apik oleh Ian McKellen yang lebih dikenal sebagai magneto dalam X Men. 


Sepuluh hari sebelum rilis, saya membeli novel The Hobbit yang juga ditulis oleh Tolkien. Niatnya mau dapat gambaran lebih dahulu supaya bisa jadi bahan pembanding saat menonton versi film. Buat yang sudah menonton TLOR dan jadi fans setia, pasti sudah tidak ada masalah dengan visualisasi. Saya tidak bisa dan tidak mau membayangkan jadinya Middle Earth di tangan sutradara lain. 

The Hobbit bercerita tentang Bilbo Baggins, 60 tahun sebelum kisah TLOR dimulai. Diceritakan, paman Frodo ini dijebak menjalani petualang mencari harta karun di The Lonely Mountain (Gunung Kesunyian). Skrip filmnya sangat berkembang, beberapa dialog dalam novel juga muncul dalam film. Beberapa adegan/dialog ditambahkan untuk mendukung kontinuitas dengan kisah TLOR, seperti saat Radagast sahabat Gandalf mengabarkan akan adanya kekuatan yang bisa menghidupkan kembali jiwa yang telah mati dan saat Gandalf menyampaikan kegelisahannya selama perjalanan menuju Rivendell (kampungnya para peri), di mana mereka dihadang serigala Ward dan Orcs yang kelak menjadi kaki tangan Sauron.  

Yang berbeda mungkin penggambaran para kurcaci. Jika di film ke-13 nya nampak gagah, plus propaganda merebut kembali tanah/kerajaan yang hilang, di novel kesan yang saya tangkap, para kurcaci ini lugu, polos, dan berada dalam perjalanan yang menyenangkan semata mengambil harta karun dari Sang Naga Smaug. 

All I want for New Year is Gandalf, mau minta kembang api
The Hobbit semacam obat bagi yang kangen pada Shire (kampungnya pada Hobbit), Rivendell, dan kalau saya pribadi pada keluguan Frodo dan kebijaksanaan Gandalf. Martin Freeman memerankan Bilbo dengan sangat baik, bikin kangen malah. Adegan favorit yang saya nanti-nanti adalah ketika Bilbo menemukan cincin bertuah, lengkap dengan backsound yang mau tidak mau mengembalikan ingatan tentang kisah yang menyertainya sejak dahulu hingga saat ia dihancurkan. 

Satu yang pasti juga, saya masih ingin mengunjungi Wellington yang menjadi setting Shire yang hijau dan makmur itu. Dalam perjalanan pulang dari Soppeng tadi, mobil yang saya tumpangi melalui jalur Bulu Dua. Hamparan lereng pegunungan, bukit batu, dan air terjun membuat saya berpikir, kalo lokasi ini sebenarnya juga bisa jadi setting cerita TLOR, hehehe… Iya, soalnya saya melihat Legolas, Gimli, dan Aragon berlari-lari di antara pepohonan di lereng-lereng dan pinggir jalan. Ah, mulai ngelantur nih :p

Edward Bloom

"And I suppose if I had to choose between the true version and an elaborate one involving a fish and a wedding ring, I might choose the fancy version. But that's just me."

Untuk sejenak, saya ingin seperti Dr. Bennett yang mengatakan kalimat ini, dalam film Big Fish. In fact, I wish I were Edward Bloom, the leading role. Dalam kisah ini, Edward adalah seorang ayah yang suka menceritakan kisah hidupnya pada sang anak, Will. Kisah Edward selintas lebih mirip dongeng yang sulit terjadi di dunia nyata. Penyihir, Puddleville, dua perempuan dalam satu badan, ikan besar, raksasa, dan hal-hal mustahil lainnya. Hingga sang anak beranjak dewasa, ia mulai jenuh dan menganggap semuanya omong kosong, termasuk kisah saat ia dilahirkan.

"I kind of liked your version", kata Will setelah mendengar kisah 'sebenarnya' dari dr. Bennett saat ia lahir ke dunia.

Terakhir kali saya menonton film ini, sekitar dua tahun lalu. Ingatan yang terus menggema tentang Edward, selain saat melamar istrinya (yang selalu bikin saya meleleh), juga adalah kepiawaian Edward dalam bercerita. Beberapa dari keberatan Will juga terpikirkan olehku. Will hanya menginginkan kejujuran, cerita sesungguhnya tanpa bumbu-bumbu mistis dan keanehan yang membuatnya terdengar lebih drama dan mudah dikenang.

Bagaimana kira-kira Edward mereka ulang kisahnya, mengolahnya dengan 'imajinasi-imajinasi' yang membuat Will jengah namun justru sangat disenangi istri Will, Josephine. Maybe I'm more like Will, tidak peduli betapa pahit sebuah realita, selama itu jujur dan sungguh-sungguh, itu jauh lebih berarti. Daripada bahagia tentang hal yang sebenarnya tidak ada.

Hingga Kamis lalu, sebuah keadaan tiba-tiba membuat saya terkenang Edward. Semacam 'wangsit' yang tanpa tedeng aling-aling memutarkan imaji di kepalaku, lengkap dengan alur dan bumbu-bumbu cerita khas Edward. It's gonna be a good story to tell, yeah, akhirnya saya bisa seperti Edward, merasakan bagaimana ide itu datang, dan... yang buruk mungkin, yang berusaha kulawan selama ini: perasaan bahagia saat menceritakan ulang keadaan itu.

But then I remember, kalimat yang sering saya berikan kepada teman jika bertanya apa yang harus mereka lakukan: "Mau percaya yang mana? Yang bikin bahagia atau yang bikin sedih?" This time I choose to be happy with this , undoubtedly.


Saya janji, suatu saat akan menceritakannya, with my very own version :D

Demi Rivai!

Tidak ada perasaan selain legaaaa… setelah menyelesaikan deadline dari kantor malam ini. Untung saja tadi sore saya tidak ketiduran sampai magrib, pas abis perjalanan lima jam dari Soppeng. Just had a sudden trip, Rivai teman kuliah menikah Sabtu kemarin. Gladly, saya dapat jadwal off di kantor kali ini. Malamnya sudah niat bangun subuh biar bisa ‘kepak’ perlengkapan plus beres-beres pakaian mau dibawa ke laundry, eh masih juga bangun kesiangan. Langit masih mendung tapi tidak sekelam kemarin-kemarin.

Tidak seperti kalo mau ke Bone harus pesan mobil lebih dahulu, perjalanan ke Soppeng ini pake modal nekat. Mulai dari modal dalam arti denotasi dan modal berarti konotasi, dalam hal ini mental kabur dari tugas-tugas kantor yang bertumpuk, doh! Dan untuk pertama kalinya bepergian tanpa laptop kesayanganku. 

Pakai jurus cegat mobil di Sudiang ala Dwi, saya pun akhirnya berada dalam kendaraan Panther yang bisa dibilang sudah agak tua, kursinya mulai lusuh dan sedikit bergeser dari posisi sebenarnya. Ada kalanya kenyamanan bukan faktor penting lagi dalam perjalanan. Saya hanya memikirkan bagaimana saya bisa sampai ke tujuan dan bertemu empunya hajatan. 

Rivai adalah teman kuliah di kosmik. Secara tidak official, Rivai adalah anggota geng “Spice Boys” ciptaan senior kami Kak Ipah :D Spice Boys merujuk pada lima #Rusher (sebutan untuk anak Kosmik angkatan 2004) yakni Basri, Baqir, Ali, Padly, dan Rivai. FYI, kelimanya sudah menikah semua, mengalahkan saingan seumur-umur “Spice Girls” yang salah satu anggotanya adalah saya… fiuh. (Mengenai peta per-geng-an di Rush, akan dibahas pada tulisan yang lain). Aaaaa… miss them all so much :’)

Rivai lebih sering saya sapa dengan “Keda”, sound bit Japanese, mungkin karena dia fans berat L’Arc en Ciel. Dia termasuk pendiam di antara kami. Saya pun baru akrab dengan Rivai ketika bersama empat teman KKN lainnya sama-sama mendiami posko di Desa Matajang Bone selama dua bulan di pertengahan 2007. Dua tahun kemudian kami dipertautkan lagi sebagai wisudawan yang lulus di bulan Juni. Setelah itu, komunikasi kami cuma lewat sms atau telpon. Saat ia mulai bekerja di Bone, saya masih meneruskan “karir” di Makassar. 

Rivai dan Anak-anaknya :p
Hingga suatu hari aku mendengarnya resign, karena mesti merawat ibunya yang tiba-tiba sakit. Mendengar ceritanya saya sering terharu. Sebuah pengorbanan besar yang ia lalui kurang lebih hampir dua tahun, tidak setiap anak bisa sampai pada tingkatan maqam ini. Makin menambah kekaguman kami padanya. 

Sekitar sebulan lalu, saat rapat di kantor, hape saya berdering. Tidak sempat mengobrol, saya berjanji menelpon balik secepatnya. Malamnya saya baru punya kesempatan. Hampir sejam mengobrol ia sedikitpun tidak menyinggung soal rencana pernikahannya. Kabar bahagia itu sendiri saya dapat dari kawan baik Rivai juga, Iqko. Namanya kabar bahagia, yang mendengarnya saja pasti akan ikut bahagia. Saya menghubunginya lalu protes kok tidak dikabari :D

Kiki & Rivai, Happily Ever After :)
Akhirnya tiba juga saya di Soppeng. Mungkin karena ini perjalanan dadakan dan berangkatnya sebelum siang, lamanya tidak terasa, jalanan Camba yang berkelok-kelok juga sudah takluk tidak membuatku mabuk darat. Saya selalu suka dengan perjalanan. Apalagi jika bertemu hujan di beberapa tempat, pemandangan sawah dan bukit kiri kanan. 

Awalnya kami berencana ke resepsi jam 4 sore, namun karena jadwal saling berbenturan, kami baru bisa bertemu Rivai jam 8 malam. Sudah mulai sepi. Niatnya mau berlama-lama mengingat jauhnya perjalanan yang sudah kutempuh, tapi salah satu di antara kami gelisah bukan main karena baju pinjaman (sebut saja Bunga wkwk) kami pulang segera. Rivai juga tampaknya sudah sangat lelah, semoga ia bahagia dengan kehadiran kami. 

Untuk pertama kalinya, saya bermalam minggu #eh di kosan Darma (bersama mojang Soppeng, Were dan Azmi). Sudah lama juga saya berjanji menginap di rantauannya itu. Finally I made it, meski pagi-pagi di hari Minggu ia sudah harus berangkat menuju kantor dan kebersamaan kami hanya sebatas makan bubur ayam. 

Came across this... Geng KKN Matajang 2007... Surreal :D

Happy Wedding Rivai, bahagia lahir batin… amiinnn

11 January 2013

I Supposed to Post This Last Night

Dwi,

Hari ini saya tiba lebih awal di kantor dari hari-hari biasa. Mungkin karena pengaruh habis ditegur karena keseringan terlambat atau karena malam tadi saya hanya tidur satu jam. Maybe so tired that I couldn’t sleep. Empat hari saya tidak berkantor di tempat biasa….

Mungkin engkau mendengarnya juga lewat twitter, kalau beberapa daerah terendam banjir. Hujan lebat seolah tidak berakhir sejak hari pertama di tahun 2013. It was raining like mad, sedikit lagi seperti di film Inception. Pohon-pohon di tepi jalan bertumbangan. Di Camba, yang selalu kita lewati kalau pulang ke rumah di Bone sempat terputus karena banjir dan longsor. Angin kencang menerbangkan atap rumah. Kosanku masih aman. Hanya saja angin kencang bersama hujan kerap membangunkanku di tengah malam yang pekat karena mati lampu. So, two nights I slept under candle light. I wonder kalo di Athens juga pernah mati lampu :p

Selama empat hari itu, saya pulang balik Maros-kantor di Jalan Nusantara, mengurus logistik bantuan dan dokumentasi sana sini. Pulang lewat jam 10 malam, saat hujan agak reda, jalan-jalan masih basah memantulkan cahaya lampu jalan dan lampu kendaraan, melintasi jalan yang mulai sepi dan dinginnya menggigit, mengingatkanku waktu kita dan teman-teman pulang dari bazaar di Blue C buat bina akrab. Sometimes in September 2004, melintasi jalan petta rani akhirnya berlabuh di rumah kak Toar.  

Malam tadi, kami pulang lebih awal, tugas sebagian besar sudah tuntas. It means saya bisa lebih banyak istirahat dan menyelesaikan hal lain yang mestinya sudah selesai sejak minggu lalu namun tertunda lagi karena kegiatan ini. Sampai di kosan, perutku agak begah, pasti karena kombinasi bakso dan kopi susu waktu singgah makan di perintis. Tapi bukan itu yang membuatku terduduk lama di depan kipas angin, merangkul kedua lututku. 

I remembered that day how upset you were, when someone texted you back using only emoticons. Saya mengalaminya hari ini dwi. Asam lambung naik, migrain datang tanpa diundang. All I wanted to do last night was to have some chat with you.

:’(:’(

Masih ada juga ya yang tidak paham jika kata bisa menjadi pedang (there is ‘word’ in ‘sword’). Atau kita yang terlalu mengambil hati dan memberi makna yang terlalu dalam. Seminggu terakhir rambutku yang mulai panjang sejak terakhir kita bertemu kembali berguguran. Semoga tidak sampai seperti daun maple dan pohon ek yang berguguran di tempatmu. Sehari aku bisa makan lima kali, seperti semuanya bisa masuk di perut. It’s a warning sign, something is wrong with my system. 

I keep seeing myself as in a movie. Mencari kalimat pelipur lara dalam dialog-dialognya atau lirik-lirik lagu. Bet u might feel the same. Haven’t you ever asked why we were born with this kind of mind? Semua kata-kata bijak terkadang terdengar seperti apologi bagi kelemahan-kelemahan kita, untuk setiap hal yang tidak bisa kita raih. Seberapa dahsyat kekuatan kata-kata itu tidak akan menembus tabir kekosongan. It’s real, unbeatable no matter how many days have gone, how many songs we’ve listened to. Just like what I felt last night, playing some happy songs to change my point of view, tapi ternyata telingaku sudah setting default hanya bisa memproses lagu menye-menye. 

Sesekali berlama-lama di depan cermin seukuran wajah, memandang sorot mataku sendiri. Aku membaca pesan teks berisi emoticons itu berkali-kali. Sudah berapa banyak waktu berlalu dan betapa pembicaraan dan eksperimen rasa berusaha kita jalani, hingga malam ini aku terus membisikkan pada diriku sendiri, “smile because it happened” instead of thousands of ‘why’ yang mengisi kepalaku selama ini. I believe, still fresh in your mind, bagaimana kita kita gemas dengan pertanyaan: mengapa harus kita? mengapa harus dia? mengapa harus sekarang? kenapa tidak kemarin? 

Kemarin aku bertemu dengan seorang paru baya, selalu menyenangkan ngobrol dengan mereka. Entah ia punya kekuatan menerawang atau itu hanya bahan pembicaraan, ia berkata aku bisa membuat orang lain tersiksa. And he laughed as my hand made ‘yess’ code. And then I suddenly remember, ketika Po membuka gulungan resep yang ternyata tidak berisi apa-apa kecuali lembaran bening yang memantulkan imaji dirinya. Pria itu berbicara tentang harta karun ilmu yang ada dalam diri setiap manusia. A very rare conversation in my circumstance. He even talked about his tattoos :D

Masih kuat baca tulisanku? Maaf, postingan terakhir di blog ini enam bulan lalu. Sekalinya ada bahan, eh membludak hehe. I just can’t let go writing this and because you never ignore any little thing, little feeling yang lebih banyak membuat kita –dalam bahasa bugis- “Mammenynye”. Pak Naing, supir di kantor pernah ditilang setelah menerobos lampu merah. Ia lalai hanya karena asik mengamatiku yang sedang memandang kosong ke depan. Katanya, pandanganku seolah bisa menembus semua kendaraan di depan kami, like I was not there haha.

Dalam perjalanan pulang balik Makassar-Maros, jika tidak lewat tol, mobil pasti melintas di depan replika rumah tongkonan dekat lorong masuk rumah Kak Anti di Sudiang, and you know what happened next, our old conversations there suddenly came rushing. Saat ara tertidur dan kita asik nonton pembukaan Piala Eropa, and every other moments.

Oh iya, Aku melewatkan tahun baru di Bone, no top roof like I enjoyed last year. I chose going home. No party at all. I even went home earlier before all fireworks exploded and painted the sky above this entire hometown, along with the trumpets. Melihat bapak dan mama masih sehat dan raga mereka masih bisa kupeluk, itu tidak tergantikan. Aku sempat membantu Kak Accang foto produk pizza nya, berkenalan dengan ipar baru yang aku minder karena dia sangat cantik, dan suaranya lebih nge-bass dari suaraku. Hmmm…

Today the shine wears off finally, meski di beberapa sudut langit awan tebal masih menggantung. Hari ke 11 di 2013. I didn’t even realize jika digit penunjuk waktu itu telah berganti. Things just stay the same, at least regarding what’s in my room. Beberapa hari lalu saya mengubah posisi peta yang kau beri. Disitu aku menempelkan kartu pos dari Athens dan Melbourne. Seperti saranmu, saya melingkari tempat-tempat yang sangat ingin kukunjungi. Juga ada potongan-potongan tulisan, bukan kalimat ala-ala motivator, tapi hanya sebuah nama yang kutulis berulang-ulang dan sudah hampir menutupi bagian Samudera Pasifik :D

Terus saya baru saja memasang kalender 2013 yang ‘kucuri’ dari majalah di kantor. Melingkarinya tanggal-tanggal tertentu dengan harap-harap cemas: hari ulang tahun orang-orang tercinta, rencana kepulanganmu, kelahiran putra/putri santy dan echy, dan hari pernikahan Rivai yang tinggal menunggu hitungan jam. 

Lengkap sudah penunjuk tempat dan waktu di dindingku. Walau kau tahu, saya bukanlah perencana yang baik. And sometimes I wish I were Power Ranger or Kamen Rider, yang langsung berubah hanya dengan meneriakkan kata “BERUBAH!”, tidak perlu menunggu momen khusus.
Engkau pernah bilang tidak suka dengan hujan, mungkin karena akan menciptakan mixed feeling. Aku selalu senang dengan hujan, everything moves slower. Did you know that, teman-teman di kantor menyebut saya “pemanggil hujan”, karena setiap memandang jendela, I closed my eyes and prayed ‘semoga hujan hari ini’ dan ternyata benar-benar hujan. Kebetulan saja atau sinkronitas? I should learn more from you about this.

May Allah Bless u, kak yus, and beloved ara. 

P.S: Tell me about frozen lake or river near by ;) it will remind me of Joey and Clementine of Eternal Sunshine of the Spotless Mind (see, gak bisa move on dari adegan-adegan nyesek… nasib… nasib…).

Love,

Emma