31 January 2011

Everybody is Someone

*I have a strong believe that the girl is Zooey

Dari Film 'Big Fish'

saya sangat suka dengan film ini. rilis 2003, saya baru bisa menontonnya pada tahun 2006. dapatnya sewa dari Video Ezy di jalan Perintis yang sekarang gerainya sudah tutup. berikut ini adalah scenes favorit yang membuat saya tidak bosan nonton berulang-ulang :)

1. adegan pertemuan pertama Edward Bloom dengan Sandra. dramatis, Edward merasa waktu berhenti berdetak melihat sang pujaan hati, wuhuy!!! "They say when you meet the love of your life, time stops, and that's true. What they don't tell you is that when it starts again, it moves extra fast to catch up"

2. "saya harus menelpon lima negara untuk mendatangkan bunga-bunga ini untukmu. aku berkata pada mereka, hanya dengan cara ini ia akan menerima lamaranku."

3. sigma, omega, dan delta, and a suprised girl

4. dalam petualangannya, Edward bertemu dengan Jenny kecil. Ini adegan saat Edward memilih meninggalkan Puddleville untuk melanjutkan perjalanan, and of course meninggalkan Jenny juga. "Promise me you'll come back." "I promise. Someday. When I'm really supposed to"

5. Poor Jenny. "I was 18, he was 28. Turns out it was a big difference"

5. adegan paling mengharukan. Edward baru saja pulang dari wajib militer

6. tapi di antara semua adegan ini, inilah yang paling pamungkas,,,, jeng jeng jeng....

huaaaaa... *pingsan. gombal tingkat tinggi. hingga saat ini belum ada quote lamaran di film-film lain yang lebih romantis dari ini. tapi itulah, seberapapun perempuan menyadari gombalannya lelaki, tetap saja mereka suka dan tersenyum sebagai tanda tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menerima.

30 January 2011

catatan 19 Januari 2011

19 januari 2011. Aku sungguh tidak terbiasa dengan tanggal. Aku menatap layar handphone yang setia menjaga tidurku. Pagi itu aku terbangun bukan karena ribut nada alarmnya, tapi ketika melihat tanggal hari ini. Aku malah terbangun kaget waktu sudah berlari secepat itu. Januari tinggal 1/3 lagi lalu habis. Pagi tadi pula aku langsung bangkit dari kasur tanpa melanjutkan tidur lagi. suara tangis seorang ibu yang rumahnya berdampingan dengan tempat tinggalku membuatku kasihan. Suaranya berusaha ia pelankan tapi aku bisa mendengar jelas. Aku termasuk orang yang mudah terjaga dari tidur oleh langkah kaki yang pelan dari rumah bagian bawah, atau jendela yang berdenting pelan. Demikian juga suara perempuan itu. Ia menangis, rupanya sedang terlibat pertengkaran dengan seseorang lewat telpon. Sungguh lagi, aku tidak tahan mendengar apalagi melihat seseorang menangis.

Air mata adalah puncak perih tapi tidak terperi. Tapi mereka yang menangis masih beruntung bisa mengalirkan kepedihan dari hulu hati menuju hilir tanah, terserap ke dalam tanah atau terbenam dalam sungai. Bagaimana jika sudah tidak bisa menangis. Temanku berkata tangis di dalam hati lebih menyakitkan. Kau tidak bisa menunjukkannya pada orang lain, hingga rasa itu terus tertinggal di sana, sendirian dalam bungkusan hari-hari yang sepi, menjadi daging numpang yang membuatmu terlihat buruk. Kesedihanmu tidak punya jalan keluar, ia tidak menemukan muara, selamanya terperangkap di sana, sendirian yang makin membuatmu sakit.

Ini adalah januari ke enam saya jalani di Makassar, kota yang mulai kucintai dan tidak ingin kutinggalkan. Hujan baru saja reda. Januari, saat musim hujan menemukan rumah dan ketika titik terbit matahari bergeser sedikit ke utara, siang sedikit terasa lebih panjang. Januari, juga masa libur bagi mahasiswa-mahasiswi untuk pulang kampung. rumah kos tempat tinggalku juga sepi. Di rumah ini, aku satu-satunya alumni yang masih memilih tinggal, tidak pulang kampung seperti teman-teman kos seangkatan yang sudah pergi duluan.

Tiga hari lalu, ibu menelpon mengingatkan janji untuk pulang. Aku merasa bersalah terlalu sering berjanji. Ia rindu padaku. Kali ini aku tidak ingin mengecewakannya. Aku akan pulang pekan ini. Ingin sedikit memberi ruang baginya bercerita. Orang tua kadang hanya ingin didengarkan, mereka kesepian, rutinitas telah mengasingkan mereka. mereka menghadapi kenyataan rumah yang selama ini mereka bangun, anak-anak mulai meninggalkan mereka. Mereka pulang ke rumah yang sepi.

Mungkin ini hanya ungkapan sinis dariku. Karena kutahu mereka bahagia bisa memberi aku hidup. Kadang aku sedih memikirkan kesepian yang mereka jalani. Meski orang tua telah menjalani lebih banyak ujian dibanding aku, anaknya.

Ayahku pernah berpesan: belajarlah maka engkau akan melangkah jauh. Kalimat ini kembali berlalu lalang di kepala sejak desember lalu. Jika dilihat, aku lebih mirip beliau dibanding ibu, mulai dari matanya, sifatnya, caranya berbahasa lewat tulisan, kejeliannya melihat sesuatu, dan sifat pendiamnya. Tapi aku tidak yakin jika bapak punya sifat penakut seperti aku. Kurasa tidak, ia berani menghadapi apapun untuk keluarga yang ia cintai.

Ada yang bilang syarat kebahagiaanku sangat sederhana. Kupikir diriku sudah bersyukur benar, ternyata tidak. Aku sering mengeluh dengan beratnya belenggu kemalasan, angan-angan yang berkepanjangan, ketakutan tidak pada tempatnya yang memasung langkahku. Aku ingin belajar pada ibu, perempuan kuat, perfeksionis, tidak mudah menyerah, berjuang sampai titik penghabisan. Itulah ibuku dan aku tidak ingin terus menerus menjadi antitesisnya. dan seperti pesan ayahku, aku ingin belajar lagi agar bisa melangkah lebih jauh.

Oh humble Mesut :)


Karena manusia hanya punya dua harta dalam hidupnya: syukur dan sabar
Waktu saya masih kecil ibu selalu berpesan: saat berjalan, melihatlah ke bawah maka kau tidak akan tersandung dan jatuh, janganlah melihat ke atas karena kau tidak akan tahu apa yang ada di hadapanmu, engkau bisa terjatuh atau tersesat. Berjalan yang dimaksud ibuku bukan semata berjalan dalam arti harfiah. Beliau sedang berusaha menjelaskan secara sederhana bagaimana seharusnya menjalani hidup ini.

Malam ini saya membuka-buka secara acak buku Negeri 5 Menara, buku pinjaman dari sahabat saya Darma, sengaja saya bawa pulang serta ke Bone, sebagai pengisi waktu luang (entah kenapa jika berada di Makassar saya selalu merasa sibuk hingga tidak punya waktu). Pilihan acak itu akhirnya jatuh pada episode ketika salah seorang tokoh Baso menceritakan keluh kesahnya selama menjalani pendidikan di pesantren madani itu (lebih popular dengan sebutan Pesantren Gontor Ponorogo).

Tiba-tiba mata saya berkaca-kaca dan hati saya seperti kena petir, hampir hangus saat membaca realita yang sebenarnya sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam cerita, Baso digambarkan sebagai anak sebatang kara yang yatim piatu sejak umur empat tahun. Ia selanjutnya di asuh oleh sang nenek serta dibantu oleh nelayan tetangga yang rela menyisihkan sebagian pendapatan hasil menangkap ikan untuk mereka. Baso dihadapkan pada dilemma menyelesaikan sekolah yang kurang dari setahun lagi atau pulang ke kampung halaman merawat sang nenek yang sedang sakit.

Ahmad Fuadi, sang penulis novel, mengontraskan kondisi ekonomi memilukan sang teman dengan dirinya yang masih lebih beruntung. Melihat orang lain serba kekurangan namun mereka tidak menyerah oleh nasib. Dan seketika itu juga, saya lalu melihat diri saya. Telahkah saya bersyukur selama ini? Saya lalu teringat dengan pesan ibu saya itu. Dalam hati saya diam-diam membenarkannya.

Terkadang saya iri dengan mereka yang dianugerahi Tuhan kekayaan yang melimpah, dan bercampur jengkel lagi ketika mereka berpikir bisa melakukan apa saja dengan harta itu hingga merendahkan orang lain. Tapi kemudian teman saya, Nida berpesan pada saya, bahwa kecemburuan saya ini tidak beralasan. Semua manusia sudah memiliki garis rezeki sendiri dan kita sebagai manusia tidak boleh mencampuri ketentuan itu. Ibu juga mengingatkan, kecemburuan seperti ini hanya akan membuat saya tidak bisa maju, terus silau hingga tidak bisa melihat jalan nyata yang ada di hadapan.

Pandangan saya kini telah berubah. Saya jadi lebih cemburu pada orang yang mau memanfaatkan setiap kesempatan yang datang meski dengan keterbatasan yang mereka miliki. Saya iri pada sosok Bapak Mansur Semma Alm, dengan keterbatasan penghilatan, beliau masih bisa mengerjakan tesis doktoratnya hingga selesai. Karena buta, ia melihat hanya dapat melihat dengan telinga dan tangannya. Beliau pernah berkata: karena saya kurang satu indera jadi saya harus berusaha dua kali lebih banyak dibanding orang lain yang punya mata. Saya selalu sedih setiap mengingat kata-katanya itu. Saya malu pada diri sendiri, punya ‘modal’ cukup tapi fighting spirit nol besar. Ternyata saya tidak benar-benar pernah bersyukur atas semua nikmat jasmaniah ini.

Saya tidak pernah membayangkan jika tiba-tiba Tuhan mengambil sesuatu dari diri saya. Saya juga tidak tahu perasaan Matthew Bellamy bagaimana jika ia kehilangan kedua tangannya, apakah ia pernah membayangkan itu. Begitulah manusia, ia baru akan menyadari berharganya sesuatu saat ia kehilangan. Tapi apakah kita mesti kehilangan terlebih dahulu demi sebuah rasa syukur yang terlambat?
Sabar itu pada dua hal: pada sesuatu yang sedang menimpa kita dan pada sesuatu yang sangat kita inginkan. Bersyukurlah, maka Tuhan akan menambahkan nikmat-Nya. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang akan kita dustakan?
Sabar dan syukur saling melengkapi. Mungkin ada yang menganggap sabar adalah dengan berpangku tangan menunggu semua berubah dengan sendirinya. Bagi saya lebih dari itu. Justru dengan sabar manusia bisa menjadi yakin dan memberi kekuatan untuk bergerak. Bukan dengan membenamkan diri dalam kedukaan yang lebih mirisnya lagi kadang dinikmati.

Bagi saya hidup seperti sebuah orchestra, kadang harus lambat sesuai keinginan konduktor dan tiba saat harus sampai ke nada yang menukik tajam. Apa arti semua ini? Saya belajar untuk bermimpi lagi. Mungkin mimpi-mimpi itu akan menuntun saya ke sebuah jalan yang akan mengajarkan rasa terima kasih itu. Manusia tidak mesti kehilangan terlebih dahulu untuk merasakan nikmatnya memiliki.

Asiiikk... akhirnya punya juga

Hari jumat, 21 Januari 2011, dua jam sebelum pulang ke Bone, saya menyempatkan diri ke kampus mengembalikan atm ka riza yang sudah saya pinjam bersama dwi. Sampai di sana, tidak dinyana saya mendapat titipan barang dari salah seorang junior, Indra Mahaputra. Sekeping CD The Resistance, karya musisi favorit saya MUSE. Ia memang sudah janji sebelumnya, tapi saat itu saya mengira compact disc yang akan dikasi hanya berisi single Undisclosed Desire. Ternyata satu album, Alhamdulillah…

Saya senang sekali akhirnya bisa punya sendiri. Album terakhir band asal Devon, Inggris ini rilis September 2009. Disc Tarra Makassar sendiri baru memajang album ini di galeri mereka sebulan setelahnya. Dan saat itu saya hanya bisa menyentuh tanpa membeli, hehe… Thanks Indra :)

the devon trio

Kegemaran saya mendengarkan lagu-lagu mereka sudah saya tulis di sini. Ada banyak alasan untuk menyukai sesuatu, ada juga karena merasa memiliki kesamaan, ada karena rasa kagum, ada karena ingin terlihat keren, dan ada pula yang semata karena kejadian monumental. Mungkin saya karena dua alasan terakhir, hehe. Selain ingin terlihat keren saat itu, saya menyukai lagu-lagu mereka karena pernah ‘membantu’ saya melewati masa-masa sulit ketika harus meninggalkan rumah tumpangan di kawasan Daya menuju tempat baru di kawasan kosan terbesar di kampus Unhas, jalan Sahabat (sebenarnya di jalan Sejati, tapi karena mahasiswa lebih aware jika menyebut jalan sahabat).

Mungkin sudah banyak yang tahu jika lirik-lirik dalam album The Resistance ini banyak terinspirasi oleh novel 1984 karya penulis asal Inggris George Orwell. Ini bisa dilihat pada lagu Uprising, The Resistance, Unnatural Selection, dan MK Ultra yang berisi protes terhadap penguasa. Lagu United States of Eurasia merupakan ‘ramalan’ Matthew setelah ia membaca buku The Grand Chessboard karya Zbigniew Brzezinski. Namun album ini tidak melulu soal politik, tema romansa gombal juga bisa didengar pada lagu Undisclosed Desire dan To You I belong yang terinspirasi pada kisah klasik Samson dan Delilah.

Pada lagu Guiding Light, kita bisa melihat sisi spiritual dan ‘kejatuhan’ matthew bellamy, sang atheis yang mencari cahaya penuntun. Lalu puncak sekaligus tema yang digambarkan sampul album ini terletak pada trilogy Exogenesis (Overture, Cross-Polination, Redemption). Pesan yang ingin disampaikan pada ketiga lagu ini adalah, mungkinkah hijrah dari bumi yang mulai padat dan telah dipenuhi kerusakan di mana-mana? Namun yang ingin disampaikan oleh Matthew dkk lewat album ini adalah manusia bisa resist, bertahan dengan cinta di hati mereka. Matthew juga mengakui pemikirannya ini banyak dipengaruhi oleh Mahatma Gandhi.

Dari 11 lagu itu saya menjagokan Exogenesis part II (Cross-Polination). Spread our codes to the stars, you must rescue us all… Tell us, what is your final wish, now you know we could never return…. Percayalah, pernah dalam hidup saya merasa pesimis pada Tuhan, menghujat, dan memikirkan untuk pindah planet saja, astagfirullah.

Jika tiga album pertama mereka banyak berkisah tentang kondisi psikologis manusia, maka dua album terakhir, Muse banyak beralih ke tema-tema politis. Dan tampaknya The Resistance adalah penanda akhir bagi tema sejenis itu karena kabarnya sejak menjalin hubungan dengan Kate Hudson (kok jadi gossip), sang mastermind Matthew berniat ‘menurunkan’ level lirik mereka menjadi lebih ringan dan romantic. Duh siapa mau lawan orang yang sedang jatuh cinta.

4 January 2011

Not Knowing

sometimes people are better off not knowing. saya percaya dengan nasehat ini. jadi itulah mengapa saya menjadi orang paling banyak pertimbangan yang mungkin pernah teman-teman temui. karena saya tahu, setiap kata yang keluar dari mulut tidak bisa ditarik kembali dan itu akan menjadi milik umum. dan resiko dari sebuah rasa tahu adalah orang akan bebas menafsirkannya.

saya lebih memilih menderita dengan pikiran-pikiranku sendiri dibanding membayangkan bagaimana jika orang lain yang memikirkannya. percayalah, saya bisa menebak akhir sebuah sesuatu. namun saya hidup di dunia ini tidak sendiri, orang lain juga punya pertimbangan dan saya tidak bisa memaksakan segala sesuatu berjalan seperti mauku saja.

hidup ini cuma tentang dua hal, memilih dan menjalani konsekuensi pilihan itu. Saya memilih pasti setelah mempertimbangkan apa resikonya. dan ketika semua berjalan tidak sesuai rencana matang di kepala, itu sudah di luar kehendakku, saya hanya bisa ikhlas dan bersabar. dan di situlah saya merasakan kebesaran Tuhan, bahwa Tuhan juga turun tangan menjaga perbuatan-perbuatan manusia. Ketika manusia menginginkan jalan yang lurus dan cepat, hidup selalu punya cara untuk membelokkannya.

tidak ada rencana yang sempurna, terkadang kita menginginkan A tapi yang terwujud adalah B, tapi sebenarnya itulah yang terbaik. otak manusia terlalu kecil untuk memahami rencana Tuhan Yang Mahasempurna. Ia akan memberikan apa yang kau butuhkan pasti juga dengan melihat caramu bersabar dengan ujian-ujiannya.

saya sudah menduga fase ini pasti akan datang dan menguji sebuah hal yang kita anggap sudah mapan. saya tahu momen ini sangat berat bagi kita, tapi aku bisa kuat oleh sebuah pesan junjunganku: jangan sampai sebuah kemarahan menghilangkan kasih sayang di antara kalian. sebuah kesalahan bisa membuat seseorang buta dengan kebaikan-kebaikan yang telah mereka jalani bersama-sama.

saya ingin memperjelas sebuah hal tentang persaudaraan, jika 100 orang tidak percaya pada temanmu, maka engkau wajib percaya pada temanmu itu, atau jika ada 100 orang yang bercerita buruk tentang temanmu, maka sebagai teman engkau harus menjadi orang pertama yang membelanya. itulah hak seorang teman. dan saya sudah menjalani kewajiban saya hanya saja engkau tidak melihatnya hingga engkau salah paham dengan semua ini.

dan sebagai temanmu, saya tidak keberatan kalau kau ingin menjauh mungkin. saya bisa menunggu sampai engkau menyadarinya. saya pernah kehilangan beberapa orang teman dan itu sungguh tidak menyenangkan. saya tidak mau itu terjadi padamu. kini saya cuma bisa pasrah dan membiarkan tangan-tangan Tuhan bekerja. saya sudah membuka diri dengan segala kemungkinan-kemungkinan di hadapanku. saya kuat karena menyadari sebuah hal, saya bisa bersabar menjalani waktu, seperti yang kau bilang 'waktu' adalah obat terbaik dari semua rasa sakit.