15 July 2008

Tentara


hanya ada pengungkapan..., pengingatan....
aku ingat 'hiduplah tanpa banyak keinginan, engkau akan merdeka...'

aku lelah
berlari, berlari, berlari...
aku lelah...sekian lama memelihara hantu-hantu itu

6 July 2008

Santiago

Aku bisa merasakan kesedihan saat ia mengasosiasikan dirinya dengan Santiago, bocah gembala yang bertualang menuju legenda pribadinya. Demikian dirinya, kakakku, teman seperjuanganku ketika ia masih mencetak jejak kakinya di Makassar. Sesuatu yang tidak ia inginkan pasti telah terjadi. Ia mencari semangat dalam diri Santiago, semangat untuk melangkah lagi mencari harta karun itu.

“jika engkau menginginkan sesuatu, semesta alam akan mendengarkan dan bersabda padamu”


kurang lebih seperti itulah pesan yang masih kuingat setelah membaca kisah Santiago dalam Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Adalah Kak Harwan yang meminjamkan novel itu pertama kali tiga tahun yang lalu menjelang Idul Adha. Buku itu kemudian beberapa kali berpindah tangan hingga terakhir kali diketahui bahwa buku itu tertinggal di kampung salah seorang teman. Setelah itu tidak ada kabar lagi…

Tidak mengapa karena ternyata novel tersebut dicetak ulang namun dengan kover yang berbeda. Ada keindahan dan nuansa tersendiri memandangi kover sebelumnya. kover seorang ibu yang sedang memandang penuh kasih pada anak di pangkuannya tidak akan kutemukan lagi. Nah, kakakku membaca novel dengan kover mozaik seorang ilmuwan Arab. Aku membeli dua eksemplar, satunya kuhadiahkan untuk Echy. Bertiga kami menuju legenda pribadi kami.

“Tuhan menunjukkan jalan bagi kita menuju mimpi melalui pertanda”.
Aku yakin sepenuhnya dengan sabda itu.

Santiago itu kini telah berada di separuh perjalanan. Kiranya ia telah bertemu Fatima. Namun ternyata masih jauh liku langkah yang akan menyempurnakannya. Meski ia pahami bahwa hanya dengan bertemu dengan Fatima ia akan sempurna. Masih lapang gurun pasir yang ia harus lalui, masih terhampar ribuan pintu yang akan disingkapkan.

Aku kemudian teringat oleh kata-kata Squidword: sejauh apapun melangkah, apa yang kau cari sebenarnya ada dalam dirimu. Aku memahaminya sebagai upaya pencarian dan pengenalan diri. Kebahagiaan hanya bisa diperoleh jika mampu mengenali diri. Harta karun yang Santiago cari ternyata berada tidak jauh dari padang rumput tempat ia biasanya menggembala. Santiago dalam diri kakakku akan terus hidup…

Aku Pulang, Akhirnya...

Salsabila, entah kamar no berapa. Sejak pertama menghuni rumah pondokan tersebut, aku tidak memiliki konsep tentang nomor-nomor kamar yang biasa digunakan di tempat-tempat kos lainnya. Tiga belas November 2005, tidak ada makna mistis atau horror di baliknya. Kuinjakkan kakiku menemui kemandirian di hadapanku yang telah menunggu setelah satu setengah tahun hidup di ‘negeri’ orang.

Kamar No 1, ya katakanlah demikian. Masih ada semacam rasa tidak percaya menjelang tidur di malam pertamaku. Mungkin anda pernah mendengar kalimat ini: tubuh dan jiwa sedang berada di tempat yang berbeda. Kurang lebih itulah yang kurasakan malam itu, bukan sebuah de javu. Aku mengingat ibu dengan segala kekhawatirannya melepasku sendirian. Ingatan yang berdengung keras di kepalaku hingga tak dapat kudengar derit jam dinding berwarna biru yang kubeli bersama ibu sorenya. Tidak, aku tidak merasakan kesunyian. Sebotol lotion anti nyamuk beraroma kulit jeruk membuat nyamuk-nyamuki enggan mendekatiku malam itu hingga malam-malam berikutnya.

Tidak bisa kureka-reka angka untuk membandingkan durasi waktu yang kuhabiskan di dalam dan di luar rumah. Kesibukan (atau sok sibuk) di luar menyita banyak waktuku, hingga ketika pulang, pemandangan yang sama akan kutemui. Piring-piring yang belum dicuci, pakaian-pakaian berserakan di mana-mana, dokumen-dokumen penting bertumpuk tidak beraturan. Pemandangan yang sangat tidak indah. Jika saja saudari ibuku ada di sana, mungkin akan keluarlah makian-makian dan cibiran yang ujung-ujungnya akan mempertanyakan eksistensiku sebagai perempuan.

Aku rindu ingin pulang. Rasa itu akan menerjang dengan beratnya ketika dalam waktu yang lama aku tidak tidur di rumah. Aku memang pulang, tapi hanya untuk mengambil sesuatu entah itu baju ganti atau dokumen-dokumen penting lainnya. Aku rindu ingin terlelap di kasur spring yang telah aus dan kadang menggelitik punggungku. Aku rindu mendengar daeng penjual sayur di pagi hari. Aku rindu menyalakan kompor, memanaskan air, membuat nasi goreng. Aku rindu dengan lemonades, ikan-ikan hias di akuarium kecilku…

Aku pulang…
Kalah oleh kerinduan yang begitu begitu perkasa menggulung dan menyeretku. Aku pulang…kulihat ikan-ikanku masih giat dan aktif bergerak ke sana ke mari, mungkin gelisah oleh habitat airnya telah berubah kuning tanda tak terurus. Aku pulang…aku melihat Matt, Dom, dan Chris tersaput debu menahun.

Aku pulang…berbaring…namun tidak mampu terlelap. Aku mengalami apa yang dikatakan orang-orang: tubuh dan jiwa sedanng berada di tempat yang berbeda. Atau mari kita singkat saja definisi itu dengan keterpisahan.