Salsabila, entah kamar no berapa. Sejak pertama menghuni rumah pondokan tersebut, aku tidak memiliki konsep tentang nomor-nomor kamar yang biasa digunakan di tempat-tempat kos lainnya. Tiga belas November 2005, tidak ada makna mistis atau horror di baliknya. Kuinjakkan kakiku menemui kemandirian di hadapanku yang telah menunggu setelah satu setengah tahun hidup di ‘negeri’ orang.
Kamar No 1, ya katakanlah demikian. Masih ada semacam rasa tidak percaya menjelang tidur di malam pertamaku. Mungkin anda pernah mendengar kalimat ini: tubuh dan jiwa sedang berada di tempat yang berbeda. Kurang lebih itulah yang kurasakan malam itu, bukan sebuah de javu. Aku mengingat ibu dengan segala kekhawatirannya melepasku sendirian. Ingatan yang berdengung keras di kepalaku hingga tak dapat kudengar derit jam dinding berwarna biru yang kubeli bersama ibu sorenya. Tidak, aku tidak merasakan kesunyian. Sebotol lotion anti nyamuk beraroma kulit jeruk membuat nyamuk-nyamuki enggan mendekatiku malam itu hingga malam-malam berikutnya.
Tidak bisa kureka-reka angka untuk membandingkan durasi waktu yang kuhabiskan di dalam dan di luar rumah. Kesibukan (atau sok sibuk) di luar menyita banyak waktuku, hingga ketika pulang, pemandangan yang sama akan kutemui. Piring-piring yang belum dicuci, pakaian-pakaian berserakan di mana-mana, dokumen-dokumen penting bertumpuk tidak beraturan. Pemandangan yang sangat tidak indah. Jika saja saudari ibuku ada di sana, mungkin akan keluarlah makian-makian dan cibiran yang ujung-ujungnya akan mempertanyakan eksistensiku sebagai perempuan.
Aku rindu ingin pulang. Rasa itu akan menerjang dengan beratnya ketika dalam waktu yang lama aku tidak tidur di rumah. Aku memang pulang, tapi hanya untuk mengambil sesuatu entah itu baju ganti atau dokumen-dokumen penting lainnya. Aku rindu ingin terlelap di kasur spring yang telah aus dan kadang menggelitik punggungku. Aku rindu mendengar daeng penjual sayur di pagi hari. Aku rindu menyalakan kompor, memanaskan air, membuat nasi goreng. Aku rindu dengan lemonades, ikan-ikan hias di akuarium kecilku…
Aku pulang…
Kalah oleh kerinduan yang begitu begitu perkasa menggulung dan menyeretku. Aku pulang…kulihat ikan-ikanku masih giat dan aktif bergerak ke sana ke mari, mungkin gelisah oleh habitat airnya telah berubah kuning tanda tak terurus. Aku pulang…aku melihat Matt, Dom, dan Chris tersaput debu menahun.
Aku pulang…berbaring…namun tidak mampu terlelap. Aku mengalami apa yang dikatakan orang-orang: tubuh dan jiwa sedanng berada di tempat yang berbeda. Atau mari kita singkat saja definisi itu dengan keterpisahan.
No comments:
Post a Comment