6 July 2008

Santiago

Aku bisa merasakan kesedihan saat ia mengasosiasikan dirinya dengan Santiago, bocah gembala yang bertualang menuju legenda pribadinya. Demikian dirinya, kakakku, teman seperjuanganku ketika ia masih mencetak jejak kakinya di Makassar. Sesuatu yang tidak ia inginkan pasti telah terjadi. Ia mencari semangat dalam diri Santiago, semangat untuk melangkah lagi mencari harta karun itu.

“jika engkau menginginkan sesuatu, semesta alam akan mendengarkan dan bersabda padamu”


kurang lebih seperti itulah pesan yang masih kuingat setelah membaca kisah Santiago dalam Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Adalah Kak Harwan yang meminjamkan novel itu pertama kali tiga tahun yang lalu menjelang Idul Adha. Buku itu kemudian beberapa kali berpindah tangan hingga terakhir kali diketahui bahwa buku itu tertinggal di kampung salah seorang teman. Setelah itu tidak ada kabar lagi…

Tidak mengapa karena ternyata novel tersebut dicetak ulang namun dengan kover yang berbeda. Ada keindahan dan nuansa tersendiri memandangi kover sebelumnya. kover seorang ibu yang sedang memandang penuh kasih pada anak di pangkuannya tidak akan kutemukan lagi. Nah, kakakku membaca novel dengan kover mozaik seorang ilmuwan Arab. Aku membeli dua eksemplar, satunya kuhadiahkan untuk Echy. Bertiga kami menuju legenda pribadi kami.

“Tuhan menunjukkan jalan bagi kita menuju mimpi melalui pertanda”.
Aku yakin sepenuhnya dengan sabda itu.

Santiago itu kini telah berada di separuh perjalanan. Kiranya ia telah bertemu Fatima. Namun ternyata masih jauh liku langkah yang akan menyempurnakannya. Meski ia pahami bahwa hanya dengan bertemu dengan Fatima ia akan sempurna. Masih lapang gurun pasir yang ia harus lalui, masih terhampar ribuan pintu yang akan disingkapkan.

Aku kemudian teringat oleh kata-kata Squidword: sejauh apapun melangkah, apa yang kau cari sebenarnya ada dalam dirimu. Aku memahaminya sebagai upaya pencarian dan pengenalan diri. Kebahagiaan hanya bisa diperoleh jika mampu mengenali diri. Harta karun yang Santiago cari ternyata berada tidak jauh dari padang rumput tempat ia biasanya menggembala. Santiago dalam diri kakakku akan terus hidup…

1 comment:

Anonymous said...

Santiago tidak mau kalah dan menyerah pada nasibnya, besar dan tumbuh dalam padang rumput yang tiap saat dia lewati bersama gembalaannya tidak membuat dia puas. Dia ingin merasakan pengalaman di padang rumput yang belum pernah dia kunjungi, dia ingin melihat kastil yang tak pernah dia lihat serta piramida, walaupun tumpukan batu itu bisa saja dia buat depan gubuknya.

Belajarlah dari mimpi, pahamilah pertanda, karena tuhan berbicara lewat mimpi dan pertanda.

Novelnya saangat mengsinspirasi, pasti sedih karena kehilangan bukunya....
Nih, saya kasih bukunya gratis:
http://rhakateza.wordpress.com/2008/05/22/ebook-gratis/

U sedot, I dapat untung, heheheh!! seperti kata orang bijak:

"Uang, uang, dan uang"
-Mr Krabs-