26 March 2010

Meniru Tuhan*

Life is Beautiful, pasti sudah nonton kan? Ada sebuah dialog antara Guido, sang tokoh sentral, dan sang ayah. Adegan terjadi di restoran tempat mereka berdua bekerja. Guido salah tingkah di depan ayah karena terlambat masuk kerja. Hingga akhirnya sang ayah menghentikan 'kehebohan' Guido dengan berkata kurang lebih seperti ini: "Melayani adalah seni tertinggi yang dipraktekkan oleh Tuhan...", sambil memperbaiki dasi kupu-kupu yang hinggap di kerah baju Guido.

Tuhan adalah pelayan sesungguhnya. Ia melayani kebutuhan-kebutuhan ciptaan-Nya. Dalam tidur Ia menjaga, dalam berdoa Ia menyimak, dalam ketakutan Ia menenangkan, dalam lapar Ia memberi makan. Hanya saja Ia bekerja melalui tangan-tangan tidak terlihat, melalui tangan-tangan manusia yang mencintai.

Love is to serve. Melayani adalah ketundukan ego paling tinggi yang dilakoni oleh umat manusia. Melayani membuat kita mendahulukan kebutuhan orang lain dibanding kebutuhan sendiri. Melayani adalah memuliakan. Ingatkah kawan pada Mustapha Chamran yang membereskan tempat tidur sang isteri lalu membuatkannya kopi, di mana hal itu ia lakukan setiap pagi tiba. Atau ketika Rasul menggelar sorban seketika untuk ibu menyusunya, Halimah yang datang mengunjunginya, sejak dari kejauhan. Atau akan Nabi Isa yang membasuh kaki para muridnya?

Kawan juga pasti akan teringat dengan pesan Bibi May kepada Peter Parker yang ingin memingan Mary Jane. Pria yang baik adalah yang mendahulukan orang yang ia cintai dibanding dirinya. Pernahkah kawan meluangkan waktu menanyakan keluh kesah orang yang kawan sayangi? menjaganya saat sakit dibanding menonton konser musik band kesayangan? menguatkan hatinya kala sedang lemah? merelakan waktu tidur agar saudara kita itu bisa menggunakan satu-satunya bidang datar di kamar?

Tuhan selalu menyimak seberapa banyak yang kawan beri untuk insan yang kawan cintai, bukan seberapa yang kawan terima. Seberapa banyak memaafkan, bukan seberapa kali menyakiti hati saudara. Seberapa kawan merelakan waktu menunaikan hajat orang-orang kesusahan di sekitar. Seberapa banyak tangan kawan merawat pasien yang antriannya masih panjang, meski lelah telah mendera, meski dalam sanubari terdalam, kawan juga menginginkan pelayanan dari orang lain, meski kita selalu ingin dipahami.

Manusia memang bukan Tuhan yang tidak pernah lelah melayani. Kawan juga bukan Rasul yang sempurna akhlaknya. Tapi tidakkah Tuhan akan cemburu, di tengah keterbatasannya, di tengah lelah yang menggoyahkan langkah kaki, manusia masih bersemangat memuliakan orang lain?

21 March 2010

Tak Mampu Kukatakan Sayang Padamu

Tadi malam aku mimpi mendapatkan kabar ibuku sedang sakit. kata teman yang mengabarkan dalam mimpi, ibu terjatuh di kamar mandi. Aku biasa ketakutan sampai terbangun jika bermimpi buruk. Tadi pagi aku bangun dengan rasa tidak enak, aku memikirkan ibuku. Bagaimana kabarnya ia di sana. Ia kini mudah terserang sakit, mungkin karena ia kesepian, bukan karena kondisi fisik yang makin menurun seiring usia. Tapi perasaanku ini tidak cukup menggerakkan, karena aku tidak kunjung menghubungi nomor hapenya.

Sudah tiga bulan aku ganti provider kartu seluler. Mulai saat itu ibu jarang menelpon, karena aku melarang, biaya antar provider itu sangat kejam. Jadi, kubilang padanya agar mengirimkan pesan teks saja jika ia butuh sesuatu. Awalnya kubilang, "sms saja Mak, nanti saya yang telpon ki". Tapi dasar anak tidak tahu diri, aku tidak pernah menanyakan kabarnya.

Pernahkah kawan memikirkan kerinduan ibu pada anaknya? Aku hidup dalam keluarga yang tidak pernah mengekspresikan kasihnya lewat kata-kata. Termasuk ibuku, dia tidak pernah bilang sayang padaku, tapi ia selalu berkata pada perbuatan dan perlindungannya padaku. Kadang aku berpikir lebih baik demikian, karena kapan ia berkata langsung, berarti ia benar-benar mengatakannya dan itu akan membuatku sedih. Aku juga tidak pernah bilang sayang, aku malu hingga aku berlindung lewat sms. Hanya lewat sms, aku bebas berkata sayang, berkata,,,bukan mengucapkan.

Aku ingat suatu kali, aku terserang penyakit tipes, kala itu aku masih kelas dua SD. Selama sebulan aku tidak menginjakkan kaki di sekolah. Aku sakit saat ujian kenaikan kelas (caturwulan III) sedang berlangsung. Kecil-kecil begitu aku mulai khawatir, aku bergelayut pada ibu bertanya bagaimana nasibku, nanti aku bisa tinggal kelas, Mak,...

Jadi ibu menunggu dua minggu sampai aku cukup bisa berada dalam posisi duduk. Ketika hari itu datang, ibu mengambilkan aku beberapa kertas folio bergaris dan sebatang pulpon PILOT. Ibu bertanya apa aku sudah mampu jalan tanpa digendong, aku bilang sudah bisa Mak. Tapi ibu mana yang rela melihat anaknya yang habis sakit kesusahan, karena itu ibu menggendongku di punggungnya. Berangkatlah kami dengan jalan kaki ke rumah wali kelasku, dengan maksud melakukan ujian susulan supaya tidak tinggal kelas seperti yang kukhawatirkan.

Sepanjang perjalanan, ibu bercerita tentang harapan hidup tentu dengan bahasa yang dipahami umurku. Suaranya terdengar menggema menembus punggungnya, dimana kurekatkan salah satu telingaku kala ia menggendongku.

Setiap kali mengingat kejadian itu, mataku jadi perih. Ingatan itu sering datang jika aku sedang kesal padanya. Tapi tadi pagi ingatan ini berkelebat lagi, bukan karena aku kesal, tapi gara-gara mimpi itu. Semoga ibu baik-baik di sana.

19 March 2010

Cause I'm Small and The World is Big

Katanya, bumi ini tidak ada apa-apanya, hanya seukuran sayap lalat yang biasa tanpa diundang hinggap di hidangan. Kalimat ini aku dengar dari seorang khatib ibadah Jumat siang tadi, sementara aku sedang online di 'kantin' sebelah mesjid. Aku tertegun sambil terus memainkan kibor laptop di hadapanku, sambil sesekali menoleh kiri kanan, menggoyang-goyangkan kaki karena gelisah kapan khutbah akan berakhir.

Aku masih memikirkan ucapan tadi. Sejujurnya, tidak ada keraguan dengan kalimat itu. Aku sudah sering mendengarkannya, dari Ahmad Dhani*, Kak Ilo**, Paulo Coelho***, sampai Jodie Foster****. Dilihat dari galaksi sebelah, bola biru hunian kita ini memang tidak ada apa-apanya. Aku ingin tertawa keras, jika memang begitu, tidak ada gunanya takut pada apa pun yang akan menimpa hidupku.

Karena aku membayangkan diriku seperti semut dari koloni semut yang tadi kulihat di salah satu titik sekitar kantin. Siapa yang peduli jika salah satu semut itu terinjak atau sarang yang mereka buat susah payah berantakan oleh ulah bocah nakal pesaran? Do you care? Kita hanya setitik debu yang tersesat. Apakah Tuhan dan malaikat-malaikat peduli?

Aku lalu ingat pertanyaan Eleanor****: adakah makhluk di luar sana selain manusia? Cukupkah jawaban sang ayah "dunia ini tidak terlalu besar jika hanya untuk manusia"? Benarkah manusia sekecil itu dibanding jagad raya ini? Ada yang pernah bilang padaku, hati atau pikiran manusia itu seluas alam semesta. Haruskah aku tertawa juga mendengarnya?

Sejenak setelah jumatan berakhir, aku merasa ada ruang lapang di hatiku, tapi di sebelahnya ada ruangan lain penuh tanda tanya yang berdesak-desakan. Apakah Tuhan menciptakan makhluk berpikir bernama manusia sebagai penghuni satu-satunya di dunia maha besar ini karena ia menempatkan otak dan hati yang bisa menjangkau seluruh semesta hanya pada tubuh manusia? Lalu haruskah manusia sombong ataukah berbesar hati karena keutamaannya itu?

Tuhan, aku hanya bingung apakah Engkau sedang menguji atau memuji kami sebagai hamba-Mu?

*dalam lagu Kuldesak
**dalam kalimat Aku adalah Setitik Debu dalam Waktu
***dalam novel Penyihir dari Portobello
****dalam film Contact, ketika Eleanor yang diperankan oleh Jodie Foster melakukan perjalanan ke dimensi lain untuk membuktikan eksistensi makhluk dari galaksi Vega

17 March 2010

(Not) The Origin of Fandom

Mungkin masih segar di ingatan anda, ketika Aa Gym ketahuan media menikah lagi. Tak pelak, Aa Gym yang dulunya digandrungi bu-ibu dan didaulat menjadi sosok suami idaman, mendadak dijauhi, ‘dicibir’, dan dianggap tidak setia. Pesantren Aa Gym sontak menjadi sepi oleh ibu-ibu yang rutin megadiri acara pengajian di sana.

Salahkah jika Aa Gym menikah lagi? Jika tidak, mengapa penggemarnya tiba-tiba jadi tidak setia dan pada lari? Saya teringat dengan ucapan salah seorang teman, waktu ia masih tinggal di dekat kamar kontrakanku di di Jalan Sahabat. Katanya, ibu-ibu itu tidaklah benar-benar menggemari Aa Gym, sebaliknya mereka melihat diri yang diidealkan pada diri Aa Gym itu. Diri yang ideal yang dimaksud adalah, seorang suami saleh, cinta istri dan keluarga. Ketika Aa Gym keluar dari konsep itu, maka berubah pula kekaguman orang-orang padanya. Fansnya ibarat dibuat sakit hati karena ‘dikhianati’ oleh sang idola.

Dua hari yang lalu, teman itu bercerita pada ka harwan. Katanya ia kecewa dengan salah satu penulis favoritnya yang kerap muncul di halaman terakhir sebuah majalah mingguan nasional. Teman ini kecewa dengan sikap sang penulis yang memberikan dukungan kepada salah seorang pentinggi Negara. Disappointment ini tidak akan terjadi jika saja, sang penulis tidak begitu melekat karakternya di benak teman saya itu. Faktanya adalah, teman ini sangat tergila-gila pada sang penulis.

Teman saya ini harus menerima kenyataan bahwa sang penulis sudah ‘melenceng’ dari karakteristik yang ia elu-elukan selama ini. Sang idola lari dari kebanggaan yang telah dijaga bertahun-tahun. Saya juga masih ingat ia memasang salah satu tulisan di dinding kamarnya. Betapa menyedihkan rasanya dikhianati.

Saya melihat diri saya, lalu mengingat poster ukuran A4 yang tergantung terpaksa tak beraturan di dinding kamar. Saya senang dengan Muse, entah karena paras mereka yang rupawan ataukah musikalitas mereka. Tapi buat saya, menggemari muse lebih pada kenangan yang menyertainya (halah,,,berlebihan!!!). Saya mendengarkan mereka hampir di semua fase-fase sulit dan bahagia, saat saya memasuki dunia kuliah yang jauh dari suasana sebelumnya.

Di situ, idola dimaknai sebagai sosok yang paling dekat dengan diri kita. Kita lalu mencari tahu hal-hal yang mereka lakukan, apa yang mereka pikirkan, pakaian, sikap politik, orang-orang terdekat, pesta-pesta, atau bahkan yang paling sensitif: kepercayaan. Yang terakhir ini sangat menarik, kecenderungan menyukai atau membenci seorang public figure dilihat dari ‘agama’ mereka (Saya lalu ingat seorang senior berkata ia menyukai Zidane karena sama-sama muslim). (LOL)

Memang sulit mencari akar fandom seseorang. Salah satunya, ya itu tadi. Karya bukan satu-satu yang saya banggakan dari musisi favorit saya. Ada yang menggemari Chris Martin karena ia seorang vegetarian dan sikap anti perangnya. Ataukah saya yang senang pada Matt (vokalis Muse) karena anti penyerangan terhadap Irak, tapi saya benci dia karena dia atheis. Saya senang karena Chris (basis Muse) menato namanya dalam huruf hijaiyah. Dan saya senang pada dom karena ia ramah pada fansnya. Saya senang pada Miralem Pjanic karena dia seorang muslim. (LOL lagi, hehe)

Intinya adalah kita selalu berusaha mendekatkan diri atau malah memaksakan mereka seperti diri kita. Kita menyenangi mereka yang kita citrakan di kepala, segala hal yang kita idealkan. Oleh karena itu, cara saya memandang Matt pasti beda dengan cara pandang penggemar Matt lainnya di luar sana. Masing-masing menyesuaikan dengan wadah pemikiran mereka.

Ternyata fans juga bisa kejam terhadap idolanya. Kita perlahan bisa menjauh jika mereka bersikap atau bertindak tidak lagi sesuai dengan visi misi kita, seperti yang menimpa teman saya dan ibu-ibu penggemar Aa Gy. Jika Dee memisahkan antara wilayah “karya” yang boleh dijamah oleh penggemar dan wilayah “privat” yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun, maka saya melihat, fans memproduksi ekspresi yang menurut public figure mungkin melangkahi batas wilayah jamahan itu. Fans boleh menggugat, mencela, memaki, menguntit, meneror, bahkan membunuh sang idola.

But fandom adalah loyalitas yang viral, kita menyukainya karena kita ingin menyukainya. Idola adalah milik fans. Seperti pada dialog: Coba lihat idola saya, tidak seperti idolamu. Saya juga sudah menyiapkan diri meninggalkan idola saya jika kapan-kapan menemui fakta yang mengecewakan saya. Maafkan saya, Muse.

Makassar, 17 Maret 10

15 March 2010

Happy

Someone once told me that you have to choose What you win or lose
You can’t have everything
Don’t you take chances Might feel the pain
Don’t you love in vain
Cause love won’t set you free I could stand by the side
And watch this life pass me by

So unhappy

But safe as could be

So what if it hurts me?
So what if I break down?
So what if this world just throws me off the edge

My feet run out of ground
I gotta find my place
I wanna hear myself

Don’t care about all the pain in front of me
Cause I’m just trying to be happy, yeah
Just wanna be happy, yeah
Holding on tightly
Just cant let it go Just trying to play my role
Slowly disappear, ohh All these days I feel like they’re the same
Just different faces, different names


Get me outta here I can’t stand by your side, ohh no
Watch this life pass me by, pass me by


So what if it hurts me? So what if I break down?
So what if this world just throws me off the edge
My feet run out of ground
I gotta find my place I wanna hear myself
Don’t care about all the pain in front of me
Cause I’m just trying to be happy, ohh, happy,

So and it’s just that I can’t see The kind of stranger on this road
But don’t say victim
Don’t say anything So what if it hurts me? So what if I break down?
So what if this world just throws me off the edge My feet run out of ground
I gotta find my place I wanna hear myself Don’t care about all the pain in front of me
I just wanna be happy

Ohh, yeah, happy, ohh, happy
I just wanna be,
ohh
I just wanna be happy
Ohh, happy

_Leona Lewis (Happy)_
Makassar, 15 Maret 10

6 March 2010

Upin Ipin dan Kerinduan Pada Kampung Halaman

Baru saja aku chatting dengan Fanny Jonathans Poyk, perempuan yang kerap kusapa Bunda. Kami bertemu pertama kali di pergelaran Olimpiade Sains Nasional di Makassar, Agustus dua tahun lalu. Waktu itu, aku dan Kak Jun mendapay kesempatan dari Kak Nara untuk jadi kontributor majalah Potensi, sebuah media internal Dirjen Pendidikan Nasional tingkat SMA. Bersama Bunda juga, kami rapat redaksi, mengumpul, mengolah berita, dan makan bersama-sama. Itu berlangsung seminggu, singkat sekali buatku yang belum puas mengorek cerita dan belajar menulis padanya.

Akhirnya silaturahmi itu bisa kami lanjutkan lewat facebook. Aku selalu menyempatkan diri berbincang-bincang jika kami kebetulan sedang online, meski hanya bisa sampai pada batas tanya jawab keadaan. Ia pasti sibuk. Seperti chatting barusan, aku menanyakan novel barunya yang sudah beredar di gramedia.

Tapi ada satu hal yang bikin sedih membacanya, setelah aku mengabarkan titik koordinatku, di kampung halaman. Tidak kusangka ia akan merespon seperti ini: asyik yang masih punya kampung, bd ga punya kampung, ga ada yang indah utk dilihat kecuali mal n mal, kapan-kapan kalo ada rejeki mau tuh ke kampungnya erma.

aku lalu menjelaskan singkat suasana beberapa tempat yang pernah kulalui selama penelitian lapangan kemarin. Ya, kemarin aku dapat kesempatan melihat dataran yang seperti dilapisi karpet hijau berbulu saking subur dan sejuknya. "iya bunda, nanti aku ajak keliling lintas kabupaten. pokoknya kiri kanan jalan itu kayak karpet hijau, belum pantainya, bukit2nya...".

aduh rindu banget ingin lihat sawah yg menghampar, apalagi ada pantainya, ingat masa kecil di Bali tahun 70-an, Bali sekarang udah berubah jg...

Curhatan bunda mengingatkan aku pada sebuah dialog sentimetal dengan kak Harwan saat sedang menonton serial kartun made in Malaysia, Upin Upin, yang kini sedang digandrungi penonton, bahkan oleh keponakanku yang masih satu tahun. Konteks pedesaan yang tergambar dalam animasi ini, secara tidak langsung menggambarkan kerinduan penduduk melayu ini akan kampung halaman yang telah dicukur habis oleh tajamnya pisau perkotaan. Negara ini bukan lagi milik pribumi tapi oleh penduduk dari seluruh dunia, seperti orang-orang betawi yang mulai tergusur lahannya.

Aku jadi teringat sawah di belakang rumahku, juga pada petak-petak hijau lainnya di sepanjang yang dulu selalu kulewati menemani ibu ke pasar naik becak. Tidak banyak yang berubah memang, kecuali sebuah papan pemberitahuan bahwa di lokasi itu akan dibangun sebuah perumahan. Hmmm... masikah akan kutemui petani di tengah kota ini?

Watampone, 06 Mar 10

Tentang Nadi Harap yang Terus Berdetak

Tidak ada orang di dunia ini yang suka pada orang putus asa. Orang senang dengan mereka yang punya gairah, semangat hidup, dan keyakinan. Sayang aku seperti tidak memiliki semua itu. Akulah orang putus asa itu. jadi bisa kupastikan, orang-orang tidak senang bergaul denganku. Sebaliknya diriku bisa begitu hidup berada di tengah orang-orang dengan sifat-sifat yang baru kusebutkan.

Pagi ini aku bangun telat (lagi-lagi telat), rumah dalam keadaan kosong, mataku masih kabur, saat aku menuruni tangga curam menuju lantai bawah. Pada tangga itu kutemui lembar formulir kunjungan ke Australia. Kubaca dengan seksama, rupanya semacam study tour ke empat negara bagian di benua kangguru itu. Ini pasti adikku yang membawanya.Adikku tiba dari Makassar tadi malam. Ia juga heran melihatku ada di rumah. Kukatakan padanya, masa tugasku sudah berakhir.

Aku penasaran dengan study tour itu, biayanya pasti mahal seperti aku tahu ia sangat menginginkan ini. Tapi aku bangga pada adikku karena dia berani bercerita pada ibu meski kemungkinan lolos sangat kecil, tidak seperti aku, penakut dan mudah menyerah. Aku suka menyimpan segala sesuatu bahkan impian sederhana tiap manusia hanya untuk diriku sendiri. Aku terlalu cemas untuk dikatai bodoh.

Dan ternyata memang kans itu belum untuk dirinya. Ada kebutuhan lain yang tak kalah mendesak. Belum lagi deadline pembayaran sudah dekat. Aku sedih mendengarnya, aku tahu betapa sedihnya melewatkan kesempatan, saat kesempatan itu ada dan aku tidak merengkuhnya. Bukan hanya karena soal biaya, tapi lebih pada bodohnya diriku yang terlalu senang bercemas-cemas ria. Janganlah engkau meniru kakakmu ini.

Oh, adikku, seandainya saja hak ku sudah ditunaikan, pasti akan kuberikan padamu, untuk impianmu. Aku tidak ingin engkau seperti aku. Jika pun tidak jadi, berarti itu hanya tertunda. Aku berharap nadi harapanmu terus berdenyut, agar aku juga bisa turut bahagia.

Watampone, 06 Mar 10