Showing posts with label muse. Show all posts
Showing posts with label muse. Show all posts

17 November 2010

12 May 2010

Eclipse is Coming

Sebelumnya saya mau bilang, kalau Twilight Saga is one of my guilty pleasures. Twilight menjadi film paling dipuja sekaligus paling dihujat. Which side am I on? Jangan marah, saya suka sekali, teman. Kalau menonton hingga delapan kali bisa disebut freak, maka saya telah berhasil menjadi freak, hihihi. Film ini memang sangat memanjakan mata. Though, saya tidak begitu menaruh hati pada sosok The Cullens.

saya tidak begitu mengikuti perkembangan franchise ini. New Moon juga tidak begitu menarik perhatian saya. Garapan ceritanya sangat lebay dan bikin memicingkan mata. Makanya saya tidak sampai membeli DVD bajakannya, alih-alih menontonnya juga sampai delapan kali. Suatu hari teaser Eclipse beredar di facebook. Eclipse merupakan episode ketiga dari tetralogi milik Stephenie Meyer. The movie will be released on June 30. Hmmm..tampaknya dibuat agak terburu-buru ya. Ini sih kalo dibanding film-film bersambung lainnya yang biasa memakan jeda selama dua hingga tiga tahun.

Membicarakan Saga Twilight berarti membicarakan dua hal, the movie itself and soundtrack. Eclipse yang diangkat dari novel berjudul sama, kali ini diarahkan oleh David Slade, sutradara asal UK. Perlu diketahui David Slade ini merupakan maker video klip lagu Aerials (System of A Down), Mr. Writer (Stereophonic), Goodnight Travel Well (The Killers), Strange Little Girl (Tori Amos) dan yang paling mengejutkan saya, ternyata David Slade juga-lah yang membesut tiga video klip Muse, yakni New Born, Hyper Music, dan Feeling Good. Wah, kebetulan apa yang mempertemukan mereka kembali? Video klip Neutron Stars Collision, salah satu soundtrack 'resmi' Eclipse juga digarap oleh David. Mungkin sekalian ya?

vampire director

Hmmm...jadi penasaran film ini akan seperti apa. Apakah akan lebih dark, hijau-hijau, kamera yang dinamis? Teaser-nya sudah bertebaran di Youtube. Saya baru menyaksikan satu trailer. Tampaknya kali ini, nuansa hijau lebih menonjol, sama halnya pada episode Twilight. Berbeda dengan New Moon yang agak kekuning-kuningan (aduh, maaf saya tidak tahu istilah teknisnya).

Dari segi cerita, saya belum menuntaskan novelnya, jadi saya masih akan menebak-nebak jalan cerita di versi layar lebarnya. Overview-nya, dua klan yang telah digariskan hidup bermusuhan akan bekerja sama menyelamatkan Bella dari Victoria, vampir berambut merah yang dendam bukan main pada remaja lesu itu. Victoria sendiri selama ini telah menciptakan pasukan yang terdiri dari vampir-vampir baru.

be missing you..., Rachelle

Nah pemeran Victoria kali ini diisi oleh Bryce Dallas Howard, sang Lady in the Water. Saya agak kecewa dengan pergantian cast ini. saya lebih menyukai pemeran sebelumnya, Rachelle Le Fevre. Antagonis dan her flaming hair lebih dapat. Jadi, yakinkanlah saya, Bryce...

Soundtracknya sendiri akan dirilis pada 8 Juni. List lagu-lagunya belum keluar. Saya selalu suka dengan lagu-lagu yang ada di Saga Twilight. Dua album dari dua film sebelumnya sudah saya dengarkan. Sampai hari ini, baru Muse yang saya tahu resmi menyumbang lagu. Judulnya Neutron Stars Collision (Love is Forever). Sudah rilis hari ini, video klip 30 detik juga sudah ada di Youtube. Kalau mau lihat full version, silakan tunggu tanggal 20 Mei di MTV.


Selamat Menanti Gerhana...Semoga tidak mengecewakan seperti New Moon

17 March 2010

(Not) The Origin of Fandom

Mungkin masih segar di ingatan anda, ketika Aa Gym ketahuan media menikah lagi. Tak pelak, Aa Gym yang dulunya digandrungi bu-ibu dan didaulat menjadi sosok suami idaman, mendadak dijauhi, ‘dicibir’, dan dianggap tidak setia. Pesantren Aa Gym sontak menjadi sepi oleh ibu-ibu yang rutin megadiri acara pengajian di sana.

Salahkah jika Aa Gym menikah lagi? Jika tidak, mengapa penggemarnya tiba-tiba jadi tidak setia dan pada lari? Saya teringat dengan ucapan salah seorang teman, waktu ia masih tinggal di dekat kamar kontrakanku di di Jalan Sahabat. Katanya, ibu-ibu itu tidaklah benar-benar menggemari Aa Gym, sebaliknya mereka melihat diri yang diidealkan pada diri Aa Gym itu. Diri yang ideal yang dimaksud adalah, seorang suami saleh, cinta istri dan keluarga. Ketika Aa Gym keluar dari konsep itu, maka berubah pula kekaguman orang-orang padanya. Fansnya ibarat dibuat sakit hati karena ‘dikhianati’ oleh sang idola.

Dua hari yang lalu, teman itu bercerita pada ka harwan. Katanya ia kecewa dengan salah satu penulis favoritnya yang kerap muncul di halaman terakhir sebuah majalah mingguan nasional. Teman ini kecewa dengan sikap sang penulis yang memberikan dukungan kepada salah seorang pentinggi Negara. Disappointment ini tidak akan terjadi jika saja, sang penulis tidak begitu melekat karakternya di benak teman saya itu. Faktanya adalah, teman ini sangat tergila-gila pada sang penulis.

Teman saya ini harus menerima kenyataan bahwa sang penulis sudah ‘melenceng’ dari karakteristik yang ia elu-elukan selama ini. Sang idola lari dari kebanggaan yang telah dijaga bertahun-tahun. Saya juga masih ingat ia memasang salah satu tulisan di dinding kamarnya. Betapa menyedihkan rasanya dikhianati.

Saya melihat diri saya, lalu mengingat poster ukuran A4 yang tergantung terpaksa tak beraturan di dinding kamar. Saya senang dengan Muse, entah karena paras mereka yang rupawan ataukah musikalitas mereka. Tapi buat saya, menggemari muse lebih pada kenangan yang menyertainya (halah,,,berlebihan!!!). Saya mendengarkan mereka hampir di semua fase-fase sulit dan bahagia, saat saya memasuki dunia kuliah yang jauh dari suasana sebelumnya.

Di situ, idola dimaknai sebagai sosok yang paling dekat dengan diri kita. Kita lalu mencari tahu hal-hal yang mereka lakukan, apa yang mereka pikirkan, pakaian, sikap politik, orang-orang terdekat, pesta-pesta, atau bahkan yang paling sensitif: kepercayaan. Yang terakhir ini sangat menarik, kecenderungan menyukai atau membenci seorang public figure dilihat dari ‘agama’ mereka (Saya lalu ingat seorang senior berkata ia menyukai Zidane karena sama-sama muslim). (LOL)

Memang sulit mencari akar fandom seseorang. Salah satunya, ya itu tadi. Karya bukan satu-satu yang saya banggakan dari musisi favorit saya. Ada yang menggemari Chris Martin karena ia seorang vegetarian dan sikap anti perangnya. Ataukah saya yang senang pada Matt (vokalis Muse) karena anti penyerangan terhadap Irak, tapi saya benci dia karena dia atheis. Saya senang karena Chris (basis Muse) menato namanya dalam huruf hijaiyah. Dan saya senang pada dom karena ia ramah pada fansnya. Saya senang pada Miralem Pjanic karena dia seorang muslim. (LOL lagi, hehe)

Intinya adalah kita selalu berusaha mendekatkan diri atau malah memaksakan mereka seperti diri kita. Kita menyenangi mereka yang kita citrakan di kepala, segala hal yang kita idealkan. Oleh karena itu, cara saya memandang Matt pasti beda dengan cara pandang penggemar Matt lainnya di luar sana. Masing-masing menyesuaikan dengan wadah pemikiran mereka.

Ternyata fans juga bisa kejam terhadap idolanya. Kita perlahan bisa menjauh jika mereka bersikap atau bertindak tidak lagi sesuai dengan visi misi kita, seperti yang menimpa teman saya dan ibu-ibu penggemar Aa Gy. Jika Dee memisahkan antara wilayah “karya” yang boleh dijamah oleh penggemar dan wilayah “privat” yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun, maka saya melihat, fans memproduksi ekspresi yang menurut public figure mungkin melangkahi batas wilayah jamahan itu. Fans boleh menggugat, mencela, memaki, menguntit, meneror, bahkan membunuh sang idola.

But fandom adalah loyalitas yang viral, kita menyukainya karena kita ingin menyukainya. Idola adalah milik fans. Seperti pada dialog: Coba lihat idola saya, tidak seperti idolamu. Saya juga sudah menyiapkan diri meninggalkan idola saya jika kapan-kapan menemui fakta yang mengecewakan saya. Maafkan saya, Muse.

Makassar, 17 Maret 10

18 November 2009

Citizen Erased

Pas lagi melou melou nya, saya sedang senang mendengarkan lagu ini. Diambil dari album Origin of Symmetry, peband ini selalu sukses membuat saya mau menghilang dari bumi.... Satu lagi, saya paling senang bait terakhir :)

break me in, teach us to cheat
and to lie, cover up
what shouldn't be shared?
all the truth's unwinding
scraping away at my mind
please stop asking me to describe

for one moment
i wish you'd hold your stage
with no feelings at all
open minded
i'm sure i used to be so free

self-expressed, exhausting for all
to see and to be
what you want and what you need
the truth's unwinding
scraping away at my mind
please stop asking me to describe

wash me away
clean your body of me
erase all the memories
they will only bring us pain
and i've seen, all i'll ever need

12 November 2009

Mampirlah, aku menunggu

...Then on 3rd February 2010, Muse will be playing in Singapore at the Singapore Indoor Stadium....

Informasi ini agak-agak membuat perasaan saya berbunga-bunga. Asia, here they go again!!! Seperti tiga tahun sebelumnya, Muse tampil di Singapura. Atas kejelian seorang Adrie Soebono, mereka bisa tampil di Jakarta, meski saat itu Jakarta masih tahap pemulihan peristiwa banjir. Dan saya tidak datang waktu itu, how pity I am.... :(

Mudah-mudahan mereka mau mampir lagi, dan saya harap saya bisa datang kali
ini...Saya tahu Matt bangga dan senang berkunjung ke Indonesia (maksudnya??? bukan berarti dia suka saya kan? hahahahah...). Walau ini terdengar sangat lucu, tapi saya senyum-senyum waktu dalam sebuah wawancara sebuah radio di US, ketika ia ditanya negara kunjungan favoritnya adalah Indonesia,,,Wow...sekali lagi saya bukan favoritnya, tapi Indonesia yang ia lihat di Gelora Bung Karno....

Sudilah kiranya mampir, tuan-tuan Muse, karena saya akan menunggu...Mudah-mudahan Adrie Soebono membaca kabar ini.

10 November 2009

Sometimes I Want the Old One Back

Jika saja Einstein mewariskan mesin waktu, maka saya dengan senang hati kembali ke masa 10 tahun yang lalu, baru kemudian menjalani lima tahun setelahnya. Pada rentang ribuan detik itu, sebuah band Inggris bakal calon idola saya terlahir dan menjalani masa-masa merangkak menjadi salah satu band Live Act terbaik di dekade ini. Apa yang salah dengan 10 tahun berikutnya? Mungkin petunjuk berikut bisa menjawab. Saya merindukan sebuah kesederhanaan dan pendakian menuju puncak kehidupan.

Tapi bukankah kita punya teknologi? Sebuah teknologi mesin waktu bernama internet yang mampu menggali benda 'purba' tanpa harus berada di sana pada saat itu. Saya bisa saja mengumpulkan ratusan video dan foto-foto idola saya dari belasan tahun yang lalu. Tapi mengapa saya masih menyesal terlambat menyadari mereka hingga tidak deg-degan menanti mereka (bersama Blur dan Coldplay) di Glastonbury 2004? Mengapa saya masih merasa tidak cukup meski telah menyaksikan video festival konser itu berulang-ulang?

Sejauh apa pun sebuah internet membawa saya ke dimensi waktu lainnya, tetap saja ada bagian yang tidak penuh. Sayang sekali saya tidak bisa menyaksikan (lebih tepatnya 'berada di sana') Muse muda hingga sampai ke titik tertinggi di Juni itu. Yang saya saksikan secara sadar hanya rangkain fase kulminasi mereka yang konstan dan terjaga. Sehebat apapun tampilan live mereka saat ini dan di masa mendatang, Glastonbury tetap yang terbaik, yang lebih sederhana dan hanya bermodalkan tiga album (tapi ketiganya sangat klasik bagi saya).

Live act Muse di Antwerp-Belgia, Oktober 2009
Salah satu dekor panggung terbaru mereka untuk The Resistance Tour
'extravagant' aye?

29 August 2009

Barisan Fans Sakit Hati

Muse: Stephenie Meyers' Sparkly Vampires?

Saya yakin Matthew Bellamy juga akan senyum-senyum membaca judul di atas. Inspirasi tulisan kali ini melintas setelah saya membaca sebuah postingan di portal mtv.com, mengenai rencana Muse tampil live di hajatan tahunan MTV Video Music Award 2009, 13 September mendatang. Kemudian saya membaca link postingan-postingan tema sejenis dan akhirnya saya mulai paham apa yang sebenarnya sedang terjadi, perang dingin antara dua kubu fans idola masa kini.

Sebelumnya saya ingin bertanya, apa yang ada di kepala anda jika mendengar kata Muse? Live act, Inggris, festival, progressive rock, experimental rock, radiohead, devon, showbiz, origin of symmetry? Oke, bisa diterima. Tapi tanyakanlah pada publik Amerika, dengarlah, jawaban mereka hanya akan berkisar pada tiga hal: Stephenie Meyers, Twilight, dan Adam Lambert.

Maka kecewalah para Muse die hard fans, yang telah menemani perjalanan band ini sejak tahun 1999. Yang mengenal band ini sebagai band underground (hingga Chris Martin memperkenalkan mereka di hadapan puluhan ribu penonton Reading Fest sambil mengenakan hoods), sebuah band aternatif yang mencoba progresif, eksperimental, hingga jauh kesan easy listening, sebuah band kaliber dunia yang awalnya hanya di kenal di Inggris, Prancis, dan Jepang, sebuah band dengan kualitas live mumpuni dan telah ditahbiskan oleh sosok James Hetfield, Omar Rodriguez, hingga Chester Bennington.

Penggemar terlanjur fanatik dan berlomba-lomba menunjukkan "saya-lah yang lebih dulu menemukan band ini" dengan penuh elukan dan rasa bangga. Dengan setia mereka menjaga dan mengawal imej infamous itu hingga semuanya tiba-tiba porak poranda ketika salah satu hits Muse mengisi film remaja asal Amerika "Twilight".

Twilighters (sebutan bagi penggemar Twilight) memancing emosi fans setia band asal Devon ini. Alasannya sederhana saja. Banyak di antara Twilighters kemudian menyukai Muse setelah menonton Twilight, hanya setelah mendengarkan sepenggal lagu Supermassive Black Hole. Nah, di sinilah akar 'konflik' sebenarnya. Bagi fans Muse, Twilight tidak lebih dari sekedar film tidak bermutu, payah, memalukan, dan dianggap berdosa atas munculnya remaja-remaja ingusan yang mengaku penggemar berat namun ternyata tidak tahu apa-apa tentang Muse. Tidak heran jika kemudian muncul puluhan grup Facebook yang menyatakan perlawanan terhadap serangan Twilight.

Belum lagi kekesalan mereka memuncak, kala infotainment AS senantiasa menghubungkan Muse dengan Stephenie Meyers dan Adam Lambert, selain Twilight. Coba simak judul ini "Twilight" Fans Rejoice: Muse To Perform at the VMA. Dunia hiburan AS seperti tidak punya bahan pembicaraan selain ketiga hal di atas. Ulah mereka seumpama menaruh garam di atas luka yang makin menganga, seiring dengan berembusnya isu Muse diminta kembali mengisi film New Moon, sekuel Twilight.

Saya baru mendengarkan lagu Muse empat tahun lalu (teman saya ada yang mendengarkan debut mereka sepuluh tahun silam). Saya juga menonton film Twilight hingga hampir delapan kali, dan saya tidak malu mengakuinya. Yang saya herankan adalah, mengapa mereka tidak protes pada Warner Music selaku pihak label yang memberi izin pemakaian lagu? Atau pada Matthew Bellamy sendiri selaku kuasa akhir pemberi izin hak cipta? Mungkin ini adalah bentuk penghargaan Matt terhadap Meyers yang juga ternyata penggemar berat.

Namun peringatan buat infotainment Amerika, berhentilah tampak bodoh karena tidak punya referensi selain wikipedia dalam membuat tulisan-tulisan kalian!!!

1 July 2009

Penanda Rasa Itu Bernama "Glastonbury"

Semalam, saya iseng membuka dua file video klip konser sebuah band di Glastonbury tahun 2004 lalu. Tiba-tiba saya teringat berita yang saya baca di koran sore tadi mengenai kematian Michael Jackson. “Saya berada di Glasto saat Jacko meninggal”; itulah salah satu tagline di kaos-kaos yang dikenakan para penonton di Glastonbury untuk mengenang sang legenda. Kematian jacko dan tagline itu seakan menjadi alarm sunyi bagi saya: Glastonbury tahun ini sudah sedang berlangsung.

Tapi saya tidak akan membahas soal Jacko. Sekedar hanya ingin mengenang cerita lima tahun lalu. Ya ini sudah bulan juni 2009, lima tahun lalu apa yang dapat saya kenang dan maknai salah satunya adalah ujian SPMB yang tahu-tahunya sempat membuat saya sakit dan stress, tapi untunglah itu sudah dilalui, semuanya, karena juni tahun ini saya sudah menamatkan diri dari jenjang S1 di universitas.

Lima tahun yang lalu, di Glastonbury tentunya, ada seorang pemuda, 24 tahun, pirang cepak, tirus juga kurus, mengenakan celana selutut, duduk di balik deretan peranti pukul, sambil tersenyum mengentakkan kedua tangannya pada dua simbal di sisi kiri dan kanan tubuh, mengiringi nada-nada dua teman lainnya di panggung. berulang-ulang dan cepat. Digdaya, mungkin itulah yang ia rasakan pada malam itu. Lima detik ia tenggelam dalam gemerincing simbal, tanpa dentuman pedal dan hentakan drum. Senyumnya penuh arti. Dia bahagia, sang ayah tercinta untuk pertama kali sejak ia mengenal alat tak bernada itu, ada di sana menyaksikan konser termegah dirinya.

Gastonbury, salah satu festival musik terbesar di dataran Inggris, sekaligus paling dinanti oleh pemuja pertunjukkan musik panggung. Saya baru sadar akan keberadaan festival ini ketika menyaksikan video konser Coldplay membawakan lagu Clocks, suatu hari di MTV. Tampil di sana adalah sebuh prestise, kebanggaan telah menginjakkan kaki di tanah suci anak-anak band di seluruh dunia.

Perasaan itulah yang mungkin menghinggapi pria yang saya ceritakan di atas. Namun itu bukan pertama kalinya ia tampil di sana. Yang membuat ekspresi itu begitu mengganggu saya untuk segera menerjemahkannya ke dalam tulisan ini adalah, seperti saya katakan tadi, kehadiran sang ayah -jika saya bisa menggelarinya- Tuan Howard.

Ya, ya, … saya sedang bertutur tentang drummer kesayangan saya, Dominic Howard (akrab disapa Dom). Namun saya bukanlah seorang penggemar berat. Sebelum dua minggu lalu, jika saja ada seseorang bertanya pekerjaan sambilan Dom selain bermain drum dengan band, tentu saya akan tinggal melongo dan sah-sah saja jika gelar saya sebagai penggemar lelaki asal Devon, Teighnmouth, Inggris ini, dicabut secara tidak terhormat.

Untunglah dua minggu lalu, seorang adik di kampus berdiskusi soal Dom. Dari diskusi itu akhirnya ketahuan kalau ternyata Dom adalah seorang pengajar alat musik drum di salah satu kota di kepulauan Inggris --maaf saya tidak lincah bertanya tepatnya tempat ia mengajar. Entah berapa lama juga profesi itu dijalaninya, di mana ia bermukim, mengapa ia begitu terobsesi pada tokoh heroik Spiderman, bagaimana rasa menjadi second man di dalam band saya tidak akan memikirkannya.

Saya hanya peduli pada musik bertenaga yang ia lakonkan, semangat dan ketekunannya, kelincahannya, keramahannya pada teman-teman fansnya di MySpace, dan yang paling penting bagi saya, Dom adalah salah seorang di antara manusia-manusia di planet ini yang pernah mengalami kebahagian pada titik tertinggi sekaligus terpuruk hingga titik terendah pada waktu yang hampir bersamaan. Glastonbury adalah elemen penanda bagi pengalaman itu.

Dom bahagia bisa tampil di salah satu konser terbesar dalam hidupnya, namun itu adalah panggung pertama dan terakhir yang bisa disaksikan oleh sang ayah. Tuan Howard akhirnya menutup mata beberapa saat setelah sang anak melambaikan tangan yang berisi dua batang stik drum ke arah penonton pertanda pertunjukkan telah selesai. Saya tidak tahu berapa hasil aggregate kebahagiaan dan kesedihan Dom kala itu. Biarlah rasa menjadi miliknya dan orang-orang dengan pengalaman serupa (saya juga tidak bisa membandingkannya dengan perasaan Guus Hiddink pelatih Chelsea yang sontak bersedih setelah beberapa saat sebelumnya ia dengan bahagia menjabat tangan Guardiola, pelatih Barcelona di akhir pertandingan, di ajang Champions musim kemarin).

Tidak akan ada Coldplay dan Muse –nama band Dom- di Glastonbury tahun ini. Setidaknya itu menurut Emily Eavis, ketua panitia festival. Namun saya masih berharap apa yang pernah hangat dibicarakan di salah satu situs fans Muse, benar-benar terwujud, bahwa akan ada kejutan berupa penampilan tidak terduga dari band berawalan M. Apakah Dom akan bernostalgia, ataukah band awalan huruf M lainnya, Metallica, yang kudengar juga menggemari Dom dkk akan tampil di sana. We shall see…