29 June 2010

Nasionalisme Picisan

Salah seorang senior saya di kampus pernah berkata: "Jangan-jangan negara ini cuma dibentuk oleh lima orang. Tiba-tiba mereka berkumpul, lalu tanpa sengaja lahirlah Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dasar negara ini. Atau adakah yang mempertanyakan penggerak hati dua orang mahasiswa Trisakti, sehingga berani berada di garda depan pejuang-pejuang reformasi di tahun 1998 dan berujung dengan kematian keduanya? Apakah murni karena nasionalisme mereka, demi negara tercinta?

Kira-kira itulah pertanyaan yang akan muncul begitu menyelesaikan film Bodyguards and Assassin. Setidaknya dalam film ini terdapat kondisi yang sama, sebuah kondisi di mana orang-orang dituntut untuk berkorban demi sebuah dunia yang baru. Alkisah, pada tahun 1905, saat Cina di bawah kepemimpinan Dinasti Qing sedang mengalami gejolak pemberontakan karena dianggap lalim dan semena-mena. Sun Yat Sen, seorang revolusioner dengan cita-cita membangun Cina yang demokratis berencana mengunjungi Hong Kong. Tujuan kedatangan ini adalah untuk berkonsolidasi dengan kelompok pergerakan bawah tanah yang hendak melakukan revolusi.

Namun kedatangan Sun menuju ke lokasi pertemuan bukanlah hal yang mudah. Pihak Dinasti Qing mengirim utusan para assassin untuk menggagalkan rencana itu. Sementara itu, beberapa hari sebelum Sun, seorang anggota kelompok 'revolusioner', Chen Shaobai terlebih dahulu datang untuk bertemu dengan Li Yutang, konglomerat yang selama ini menyediakan bantuan finansial bagi gerakan Sun dan Chen, sekaligus mengorganisir pengawalan ketat bagi Sun.

Masalah kemudian muncul ketika kawan-kawan yang diharapkan membantu pengawalan tersebut semuanya tewas dibantai dan Chen sendiri diculik oleh Hu Jun, pemimpin para assassin. Li Yutang akhirnya memutuskan melanjutkan misi pengawalan ini sampai tuntas. Ia membangun sendiri kelompok bodyguards-nya yang terdiri dari penjual tahu, pengemis, eks-polisi setempat, penarik gerobak, dan seorang perempuan yang ditinggal mati ayahnya.

pengawal dan pembunuh

Di sinilah bagian yang menarik. Bagaimana ketika Li Yutang meminta pertolongan mereka masing-masing. Ada sebuah dialog yang menurut saya adalah gambaran umum film ini. Ketika seorang bawahan Li yang bernama A Tse ditanya oleh calon istrinya, "Kau tahu siapa yang akan kau lindungi besok?" "Tidak, saya tidak tahu, saya hanya ingin membahagiakan tuan, kalau dia bahagia, saya juga sudah bahagia."

Film ini merupakan kisah sejarah yang sudah dikolaborasi dengan drama fiksi. Beberapa karakternya memang fiktif. Namun film ini hendak menunjukkan pada kita bahwa sejarah dibangun bukan hanya karena satu sebab, bukan seperti pohon dengan akar tunggal. Sebaliknya sejarah itu seperti tanaman rizhoma dengan akar di mana-mana. Pengorbanan para bodyguards dadakan ini bukanlah karena ingin melihat kejayaan negara yang mereka perjuangkan. Ada yang karena ingin membalaskan dendam orang tua, ada yang ingin membalas kebaikan sang majikan, ada pula yang memilih berkorban hanya karena merasa hidupnya tidak berarti lagi. Jadi, di manakah rasa nasionalisme itu? Lalu, selamatkah Sun Yat Sen sampai tujuan?

Bodyguards and Assasins meraih beberapa penghargaan dalam Hong Kong Film Festival 2010. Dua di antaranya adalah Film Terbaik dan Skenario Terbaik. Yang saya sayangkan dalam film ini adalah kemunculan Michelle Reis yang hanya sesaat, sementara pada saat promo film, Reis-lah yang paling banyak mendapat sorotan. Well, tapi itu tetap tidak mengurangi isi cerita film ini. Selamat Menonton :)

Mks, 14 Juli 2010

Pilihanku

Big girls don't cry. Tapi tadi malam aku menangis di tengah suara ibu yang sedang menelponku. Sebenarnya ini tangisan yang terencana. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ibu tiba-tiba bertanya tentang pilihan hidupku. Sejak aku menunjukkan tanda fisik perempuan akil balig hingga tadi malam, aku tidak pernah bercerita pada ibu tentang masalah keseharian pergaulanku. Aku sedang bertengkar dengan siapa? Aku sedang menyukai siapa? Bagiku itu adalah hal yang sensitif untuk diceritakan, khususnya kepada orang tua yang sedikit konservatif. Aku suka mengubur dalam-dalam perasaanku sendiri.

Hingga tadi malam ia bertanya. Entah, kenapa aku memaksa diri menangis. Aku bercerita seperlunya, sembari sesekali mengalihkan pembicaraan. Tembok maya pembatas perasaan ibu dan anak itu masih kokoh berdiri. Surely, I didn't see it coming. This is just too sentimental.

My best friend's getting married (Part II)

Mobil yang kutumpangi bersama Echy melaju kencang. Sesekali rem mendadak dan aku hampir terbentur di dasbor.. Lambung kiri, lambung kanan, rem mendadak semua terasa sah. Kami serasa berada dalam adengan sebuah iklan rokok yang berusaha sekuat tenaga mengejar jadwal rapat karena laptopnya ketinggalan. Juga mirip adegan-adegan awal 3 Idiots, di mana Farhan dan Raju terburu-buru ingin bertemu sahabat lama mereka. Kami tidak sedang dalam perjalanan menuju rapat dan kami tidak ketinggalan laptop, dan kami tidak akan bertemu Chatur.

Echy dan aku sedang menuju rumah seorang teman yang pada hari itu akan menjalani tradisi Mappettu Ada, sebuah prosesi penting dan wajib sebelum menuju acara akad nikah. Di tanganku ada sebuah benda yang sengaja dipesan oleh teman itu. Hmmm...tampaknya acara tidak bisa berlangsung jika benda itu belum sampai di tangannya.

Saat echy sibuk dengan kemudi di tangannya, aku sibuk dengan handphone mengutak-atik mencari nomor teman kami itu. Acara akan berlangsung 30 menit lagi, sementara kami masih menduga-duga alamat rumah kakaknya. Dan layaknya iklan-iklan di tivi, kami bisa sampai tepat waktu. Kami berjalan tergesa-gesa. Aku cukup kesusahan karena memakai hi heels. Seandainya tiba-tiba hak selop itu patah, lengkaplah hari penuh adegan iklan hari itu. tapi untungnya tidak.

Pertama kali masuk ke rumah itu, kami bingung akan lewat mana. Kami hanya diberi arahan kalau bakal calon mempelai perempuan ada di kamar bagian belakang. Kami masuk lewat pintu samping, celingak-celinguk, lalu mendengar suara khas yang sangat kami kenali dan sering kami rindukan. trebel nya agak tinggi dan kadang tiba-tiba 'menggelegar'. Pemilik suara itu adalah Dwiagustriani, sang calon pengantin.

Seperti sebuah SOP, begitu melihat kami ia setengah berteriak. Aku lalu mengulurkan barang pesanannya yang telah membuat kami ditabrak gerobak ketika memutar ke jalan Andi Tonro. Dia cantik sekali, mengenakan kebaya tangan pendek berwarna putih, lengkap dengan sanggul. Sesekali ia menggumam, "rambut smoothing-ku" sambil cemberut. Hahaha... aku terbahak-bahak mendengarnya.

Kami bertiga lalu masuk ke sebuah kamar. Dalam adat bugis, saat prosesi Mappettu Aada dan Akad Nikah berlangsung, pengantin perempuan harus berada di dalam kamar. Jadilah kami hari itu menemaninya, sementara acara di ruang tamu sedang berlangsung. Kasurnya dibalut kain seprai berwarna merah. Kontras sekali dengan warna kebaya Dwi. Beberapa bagian dinding terkelupas, dan jendelanya berhias gorden pure white, ditambah berkas cahaya dari luar. Tapi kondisi ini malah mendukung tampilan/tema hari itu. Dwi mirip sekali achi-achi yang sering kami lihat di keluarga-keluarga Tiong Hoa.

Sesekali Dwi tertawa sampai kedengaran dari luar. Ingin saya membekap saja mulutnya agar diam, hehehe (sory dwi, you know I'll never do that). Sesekali juga mataku melirik ke meja makan yang ada di depan kamar. Ada hidangan sate daging dan coto Makassar beserta lontong yang sudah dibelah-belah tertata di piring. hufh..untung tadi pagi belum makan, hihihi....

Prosesi acara menuju puncak, saat keluarga calon mempelai pria membenamkan cincin di jemari kiri Dwi. Bahagia sekali melihat senyum Dwi. Saat itu mata saya agak merah dan perih. Echy dan saya tahu Dwi pasti sangat rindu dengan Mamanya. Namun seperti biasa, dia tidak mau memperlihatkannya. Dwi sering menikmati sendiri potongan-potongan kue kesedihannya.

Dia berhasil menciptakan mixed feeling ketika pertama kali ia mengabarkan akan menikah. Saya sampai menagis dan beberapa kali berhenti saat berjalan pulang ke rumah dari arah PKP. Lututku lemas saking hebatnya rasa bahagiaku. Dia sering menyebut dirinya "gadis kecil berkepang dua". Bagiku kini ia lebih dari itu. Ia telah menjadi perempuan.

Selamat Dwi,,,, words can't describe how I feel for you.

Mks, 29 Juni 2010

15 June 2010

Buat Emma

Tough, you think you've got the stuff
you're telling me and everyone
you're hard enough

You don't have to put up a fight
you don't have to always be right
let me take some of the punches
for you tonight

U2/sometimes you can't make it on your own

a decent melody

I'm not afraid of anything in this world
there's nothing you can throw at me
that I haven't already heard

I'm just trying to find a decent melody
A song that I can sing
in my own company

I never thought you were a fool
but darling look at you
you gotta stand up straight
carry your own weight
cause tears are going nowhere, baby

You've got to get yourself together
you've got stuck in a moment
and now you can't get out of it

Don't say that later would be better
now you've stuck in a moment
and now you can't get out of it

I will not forsake the colors that you bring
the nights you fill with fireworks
they, they left you nothing

I am still enchanted
by the light you brought to me
I listen through your ears
through your eyes I can see

You are such a fool
to worry like you do
I know it's tough and you can never get enough
of what you don't really need now, my oh my

You've got to get yourself together
you've got stuck in a moment
and now you can't get out of it

Oh love, look at you now
you've got yourself stuck in a moment
and now you can't get out of it

I was unconcious, half asleep
the water is warm till you discover how deep
I wasn't jumping, for me it was a fall
it was a long way down to nothing at all..

And if the night runs over
and if the day won't last
and if your way should falter
along on this stony pass

it's just a moment
this time will pass...

4 June 2010

Seven Swords: Tujuh Pedang dari Gunung Surga

il phenomenon

Saat melahirkan Seven Samurai di tahun 1954, Akiro Kurosawa mungkin tidak pernah menduga mahakaryanya itu akan menjadi most influential motion picture, trend setter bagi film-film setelahnya jauh di masa depan, baik dari segi cerita maupun pengarahan adegan. Saya sendiri belum menyaksikannya, hanya mendengar dari cerita-cerita Kak Harwan. Tidak hanya kata 'Seven' namun juga potongan-potongan adegan yang berintertekstualitas dengan film garapan sutradara cemerlang asal Jepang itu.

akiro kurosawa

Seven Swords (2005) bisa disebut sebagai salah satu film tribut bagi Akiro. Jadi bisa dilihat beberapa plot yang mirip di kisah Seven Samurai. Film ini diangkat dari novel berjudul Seven Swordsmen of Mountain Tian karya Liang Yu Sheng. Syahdan, pada pertengahan abad ke 17, kaum Manchu berhasil mengambil alih tanah Cina dan mendirikan Dinasti Qing. Untuk mencegah terjadinya pemberontakan dari kalangan nasionalis yang mahir bela diri, pemerintah Qing mengeluarkan 'kebijakan' untuk membasmi semua martial artist di sepanjang barat laut Cina. satu kepala dihargai 3000 perak.


Fire-wind yang menjadi kepala operasi memanfaatkan kesempatan ini untuk meraih keuntungan lebih besar lagi. Di bawah koordinasinya, anak-anak dan orang tua juga tidak luput dan tebasan pedang anak-anak buahnya. Melihat 'bencana' ini, Fu Qhingzu mendatangi kampung sebelah yang sebentar lagi menjadi sasaran kebengisan Fire-wind. Peringatan itu tidak digubris oleh semua warga, kecuali dua mantan kekasih Han Zhibang dan Wu Yuanying.

Ketiganya lalu berangkat mencari bala bantuan ke Mountain Heaven. Di sanalah mereka bertemu dengan Master Shadow-Glow, seorang ahli pedang dan ahli beladiri. Shadow-Glow setuju membantu dan memerintahkan empat muridnya Chu Zhaonan, Yang Yuncon, Xin Longzi, dan Mu Lang untuk mengikuti Fu. Ketujuh orang ini masing-masing dibekali pedang yang ditempa sendiri oleh Shadow-Glow. Dengan modal keberanian diri dan ruh pedang mereka, ketujuhnya kembali ke desa dan mengamankan penduduk dari serangan pasukan Fire-wind sekaligus menghabisi sampai ke akar-akar mereka.

Sejak itulah kisah tujuh tukang pedang ini dimulai, bagaimana seorang Yun masih menyimpan dendam terhadap pembunuh ayahnya, Chu yang jatuh cinta pada Green Pearl, seorang budak Free-wind, Mu Lang yang selalu tersenyum, Han terlibat cinta segitiga dengan Wu dan Liu (juga harus melepas kuda kesanyangannya), dan serta Xin yang masih tidak tahu siapa orang tuanya.

It's a martial art movie. Buat yang tidak suka adegan tebas-tebas berdarah sebaiknya jauh-jauh atau tutup mata saja saat adegan keras. Film ini digarap oleh Tsui Hark yang dikenal sebagai sutradara tetralogi Once Upon A Time in China (OUATC). Jadi tidak heran jika ada sebuah adegan yang segera mengingatkan kita pada OUATIM II. Adegan paling menarik adalah setiap kali Pedang Naga ditarik dari sarungnya atau ketika beradu dengan pedang lainnya, seketika itu juga akan muncul suara seperti ular derik, gemericik dan mendengung dengan keras. Though overall, kisahnya juga mengharukan, disisipi dialog-dialog tentang keberanian untuk meninggalkan masa lalu, harga diri, kepercayaan, dan juga pengorbanan.

Mental Block

Tadi saya dapat tugas wawancara dengan Harwan Jaya, HRD bosowa investama. Awalnya saya agak canggung bertemu apalagi bertanya banyak mengenai program beasiswa prestasi Bosowa yang kini tengah memasuki tahap akhir. Sebelumnya saya mencari tahu dulu pada kak najab, ka wawan, ka odha, dan ka ome. Dari mereka saya adi tahu, Pak Harwan sangat low profile dan down to earth, serta mudah diajak berdiskusi.

Bermodal field of experience itulah, ditambah usaha mencairkan es keadaan dengan membuatkannya kopi, saya menghadap Pak Harwan. Awalnya kupikir ia akan pelit informasi. Sebisa mungkin saya mengendalikan wawancara agar lebih santai dan saya tidak mati kutu mencari pertanyaan yang berbobot dan tidak monoton. Beberapa kali saya berhasil membuatnya tertawa hingga terbahak-bahak, sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya. Saya juga heran dengan respon itu, atau mungkin karena ia paham maksud celetukan-celetukan saya. Pak Harwan sangat cermat dan bisa menerjemahkan bahasa verbal atau non-verbal yang saya sampaikan.

Saya memang dikenal sulit tertawa dengan orang yang baru saya temui. Namun ternyata dari pengalaman tadi saya jadi tahu kalau saya bisa membuat orang 'asing' tertawa. Saya jadi ingat waktu saya diwawancara oleh perusahaan asing di kawasan Kima. Dua orang WNA asal amerika di depanku senyum-senyum bahkan tertawa dengan jawaban yang kuberikan, saya rasa itu bukan tawa yang meremehkan, karena memang saya berusaha untuk mencairkan hati saya yang tegang menghadapi wawancara bahasa inggris pertama saya. Saya senang bisa melewati wawancara, saya memang tidak lolos, tapi saya senang berhasil membuatnya tersenyum apalagi waktu salah satu di antara mereka bertanya kenapa saya bisa aksen amerika, wkwkwkwkwk, rasanya tidak percaya, itu lebih dari sekedar lulus kali ya?

Dari pak harwan, saya juga jadi familiar dengan beberapa istilah psikologi kejiwaan, misalnya mental block. Mental block semacam kondisi di mana superego telah begitu lama menahan id agar tidak tersalurkan. Kondisi ini kemudian menjadi penghalang bagi seseorang dalam melihat sesuatu yang bertentangan dengan superego dan pemendaman hasrat lainnya. Akhirnya orang tersebut cenderung berkata ‘tidak’ dan menunjukkan sikap ‘ragu-ragu’.

Saya lalu menghubungkan kondisi itu dengan keadaan saya sekarang. Kesempatan ini saya gunakan untuk konsultasi colongan, menanyakan apakah saya berpotensi menjadi orang gila, hehehehe. Saya mengaku kalo saya mengalami mental disorder yakni kecemasan berlebihan. Ia tertawa lalu berkata, mungkin saja. Ia lalu berkata ‘jangan mendahului takdir’, tidak perlu cemas terhadap apa yang akan terjadi. Tanpa ditanya saya berkata kalau saya ingin sekali menginjakkan kaki ke new Zealand. Alasan saya karena ingin melihat wellington, tempat pengambilan sebagian besar scene di The Lord of The Rings. Saat itulah ia tertawa terbahak, apalagi waktu saya bilang, siapa tahu saya bertemu bangsa elf dan hobbit di sana, hehe… Masalahnya ternyata apakah saya percaya bisa atau tidak?

Akhirnya saya mempertimbangkan untuk menempel poster film kolosal itu saja dulu di dinding kamar baruku.

May 6th

Tumbal

Tidak semua urusan bisa berjalan semulus yang diinginkan. Selalu ada tumbal, harga yang harus dibayar. Setidaknya itu pelajaran moral yang saya dapatkan kemarin. Rencana indah memiliki meja belajar baru harus dibayar dengan tas kesayangan beserta isi-isinya. Ceritanya seperti ini, saya berjalan-jalan ke salah satu retail di kawasan Tamalanrea, Makassar. Memang awalnya saya sudah berencana membeli meja, demi kenyamanan menulis dan mengerjakan tugas-tugas.


Tiba di sana, mata saya langsung tertuju pada sebuah furniture simple dan murah, sesuai keinginan. Kali ini saya berinisiatif membawanya langsung ke kamar (pake taksi, soalnya sudah kaya, hehehe). Setelah bayar di kasir, saya lalu menuju tempat penitipan barang. Saya terkesiap, karena sejak masuk swalayan itu hingga mengambil tas, perasaan saya hanya menenteng dompet dan handphone. Tidak ada ingatan kalau saya membawa nomor titipan barang.


Penjaga barangnya juga bingung, soalnya yang menerima tas saya tadi adalah seorang perempuan yang sedang marah-marah pada salah satu karyawannya. Saya ngotot dengan pendirian kalo petugas sebelumnya tidak member saya nomor, mungkin karena sibuk ngomel-ngomel. Jika memang tidak, ya ampun, ditaruh di mana ‘etika’ belanja saya. Titip barang pasti pake nomor. Mungkin karena terlalu semangat liat barang baru, jadinya ‘lengah’.


Saya masih ngotot, pria itu juga ngotot. Hufh…lalu saya berusaha men-scan tembus pandang isi tas yang tergeletak di rak 72. Sebuah jurnal bosowa berisi TOR dan daftar liputan yang harus saya lakukan, tas kecil berisi bedak padat dan cologne ringan. Itu saja seingat saya. Nero, hape yang biasanya saya taruh di tas meski harus dititip, entah mengapa saat itu saya repot-repot merogoh tas sebelum saya simpan. Ada juga tas kecil berisi kabel-kabel penting (headset, USB cable, flashdisk pinjaman) juga tidak saya masukkan ke dalam tas sebelum berangkat. Entah pertanda apa ini….hmmmm.


Karena sama-sama ngotot, akhirnya saya pakai psikologi terbalik yang sering saya lihat di film Jumanji dan Home Alone. Tujuannya agar si dia bisa berubah pikiran dan menjadi kasihan, lalu akhirnya mengembalikan tas saya. Saya berencana pulang saja tanpa mengambil tas itu dengan pertimbangan isinya bisa diganti dengan mudah tanpa biaya besar. Nero sudah aman (ampun kalo ini dibiarkan dalam tas), kabel-kabel dan kartu-kartu penting juga sudah saya selamatkan.


Saya mendorong troli menjauh dari tempat penitipan, Berharapnya sih si dia mau berubah pikiran lalu mengambilkan tas saya. Namun apa dilacur, saya harus benar-benar mengikhlaskan tas ‘slempang’ kesayangan saya itu. Si penjaga tidak mau bermurah hati. Di jalan menuju kost, saya baru sadar kalo baju yang baru saya beli dari swalayan sebelah ternyata juga ada di dalam tas itu. Padahal kaos oblong itu warnanya ‘menyejukkan jiwa’ sekali. Aduh, ya Allah, susahnya mengikhlaskan hak milik. But I have to. Saya mestinya bersyukur, yang tertinggal bukan hape yang rencananya akan saya berikan pada ibu.

But still…kenapa harus ada tumbal hari itu..hiks…


31 Mei