4 June 2010

Tumbal

Tidak semua urusan bisa berjalan semulus yang diinginkan. Selalu ada tumbal, harga yang harus dibayar. Setidaknya itu pelajaran moral yang saya dapatkan kemarin. Rencana indah memiliki meja belajar baru harus dibayar dengan tas kesayangan beserta isi-isinya. Ceritanya seperti ini, saya berjalan-jalan ke salah satu retail di kawasan Tamalanrea, Makassar. Memang awalnya saya sudah berencana membeli meja, demi kenyamanan menulis dan mengerjakan tugas-tugas.


Tiba di sana, mata saya langsung tertuju pada sebuah furniture simple dan murah, sesuai keinginan. Kali ini saya berinisiatif membawanya langsung ke kamar (pake taksi, soalnya sudah kaya, hehehe). Setelah bayar di kasir, saya lalu menuju tempat penitipan barang. Saya terkesiap, karena sejak masuk swalayan itu hingga mengambil tas, perasaan saya hanya menenteng dompet dan handphone. Tidak ada ingatan kalau saya membawa nomor titipan barang.


Penjaga barangnya juga bingung, soalnya yang menerima tas saya tadi adalah seorang perempuan yang sedang marah-marah pada salah satu karyawannya. Saya ngotot dengan pendirian kalo petugas sebelumnya tidak member saya nomor, mungkin karena sibuk ngomel-ngomel. Jika memang tidak, ya ampun, ditaruh di mana ‘etika’ belanja saya. Titip barang pasti pake nomor. Mungkin karena terlalu semangat liat barang baru, jadinya ‘lengah’.


Saya masih ngotot, pria itu juga ngotot. Hufh…lalu saya berusaha men-scan tembus pandang isi tas yang tergeletak di rak 72. Sebuah jurnal bosowa berisi TOR dan daftar liputan yang harus saya lakukan, tas kecil berisi bedak padat dan cologne ringan. Itu saja seingat saya. Nero, hape yang biasanya saya taruh di tas meski harus dititip, entah mengapa saat itu saya repot-repot merogoh tas sebelum saya simpan. Ada juga tas kecil berisi kabel-kabel penting (headset, USB cable, flashdisk pinjaman) juga tidak saya masukkan ke dalam tas sebelum berangkat. Entah pertanda apa ini….hmmmm.


Karena sama-sama ngotot, akhirnya saya pakai psikologi terbalik yang sering saya lihat di film Jumanji dan Home Alone. Tujuannya agar si dia bisa berubah pikiran dan menjadi kasihan, lalu akhirnya mengembalikan tas saya. Saya berencana pulang saja tanpa mengambil tas itu dengan pertimbangan isinya bisa diganti dengan mudah tanpa biaya besar. Nero sudah aman (ampun kalo ini dibiarkan dalam tas), kabel-kabel dan kartu-kartu penting juga sudah saya selamatkan.


Saya mendorong troli menjauh dari tempat penitipan, Berharapnya sih si dia mau berubah pikiran lalu mengambilkan tas saya. Namun apa dilacur, saya harus benar-benar mengikhlaskan tas ‘slempang’ kesayangan saya itu. Si penjaga tidak mau bermurah hati. Di jalan menuju kost, saya baru sadar kalo baju yang baru saya beli dari swalayan sebelah ternyata juga ada di dalam tas itu. Padahal kaos oblong itu warnanya ‘menyejukkan jiwa’ sekali. Aduh, ya Allah, susahnya mengikhlaskan hak milik. But I have to. Saya mestinya bersyukur, yang tertinggal bukan hape yang rencananya akan saya berikan pada ibu.

But still…kenapa harus ada tumbal hari itu..hiks…


31 Mei

1 comment:

hendra chandra bhone said...

wah dari headernya saja sudh menyeramkan tp setelah di baca lucu jga yaaa tp untung hnya tasnya tidak sama pemiliknya sekalian hehehehh dan pelajaran buat saya pribadi:hal yg dianggap sepele dapat berdampak besar dalam kehidupan ini