22 September 2009

Rindu Yang Bertuan

Pekan ini aku harus pulang ke Makassar, kembali menjalani perca-perca yang kunamai rutinitas. Sudah seminggu lebih aku berada di Bone menjalani tradisi lebaran. Sebisa mungkin aku menyempatkan diri mengunjungi nenek dari kedua orang tua, teman-teman mulai dari SD hingga SMA. Ragam cerita tumpah ruah. Aku bisa mendengar kesah teman yang sedang bimbang, tentang obsesi jadi model, tentang adaptasi di tempat kerja baru, tentang deg-degan menunggu masa akhir koas, sampai pengalaman selama hamil dan melahirkan.


Kamis ini aku harus melalui 120 km selama lima jam. Perutku sesak oleh sesajian lebaran, tidak sesesak hatiku oleh rindu yang kubawa dari Makassar. Aku membayangkan nenekku dengan tubuh yang makin rapuh oleh waktu. Diameter pelukanku makin mengecil di tubuhnya. Tangisnya mendobrak pintu pertahanan terakhirku. Ia menangis oleh kesepian yang kejam menawan hari-harinya.

21 September 2009

Kembar

Banyak hal yang tidak terduga di dunia ini. Salah satunya kejutan yang satu ini. Namanya Faiz, usia dua tahun, mata indah, bulu mata lentik, dan senyum yang menawan. Ia sepupu dari sahabatku Fera. Awalnya aku hanya memandangi foto digitalnya. Aku langsung teringat pada anak pasangan temanku Giez-Edy. Kapan aku membayangkan akan menemukan kembaran Uchen?

19 September 2009

Lebaran tanpa Keluarga A Ling

Tidak seperti jelang lebaran tahun-tahun sebelumnya, di akhir Ramadhan tahun ini, buras andalan buatan ibu sudah matang duluan, dua jam sebelum buka puasa hari terakhir. Padahal tahun kemarin-kemarin ibu mengeluh karena tidak bisa mengejar waktu. Seringkali buras dan penganan pelengkap baru bisa disantap setelah Shalat Id, itupun setelah melalui begadang yang melelahkan.


Di penjuru lorong lokasi rumahku, buras ibu terkenal paling enak. Tiap lebaran datang, masyarakat sekitar punya 'tradisi' kirim hantaran ke rumah keluarga A Ling, keluarga keturunan Tiong Hoa yang huniannya hanya beberapa meter dari rumahku. Ibu marah jika aku mulai malas-malasan tidak mau membawa beberapa ikat buras persegi ke rumah perempuan supel itu.


A Ling adalah anak bungsu dari keluarga utama di rumah itu. Ayahnya, pemilik Pabrik Mie yang cukup familiar di telinga orang-orang kota (makanya lorong itu lebih dikenal dengan Lorong Pabrik Mie), sudah cukup tua terakhir kali aku melihatnya. Adik ibu pernah bekerja di sana, dan darinya aku tahu satu hal, hantaran ibuku yang paling dinanti-nanti (^_^). Aku lupa sejak kapan pabrik itu mulai ada. Mungkin sudah puluhan tahun sejak mereka pertama kali menginjakkan kami di daerah kami. Aku juga lupa sejak Ramadhan tahun kapan, keluarga itu rutin mengirimi kami parsel jelang Idul Fitri.


Undangan makan juga kami peroleh setiap ada hari raya mereka, ataukah undangan ulang tahun keponakan A Ling, Leona. Suatu kali, aku berpapasan. Dia 'marah' karena aku tidak datang ke acara Gong Xi Fa Chai-nya. Ia lalu mengajakku masuk, namun hanya tolakan halus yang kuberikan. Aku tidak terbiasa di sana.


Dua tahun sudah kami tidak menerima parsel lagi. Dua kali Lebaran pula, Ibu tidak menyisihkan bagian buat hantaran. Seperti ada yang hilang. Tiap kali aku melintas, yang kulihat hanya rumah tidak terurus, berjamur, kumuh, pagar yang dimakan karat, daun-daun sirsak belanda yang berguguran. Pada malam hari, di antara kegelapan yang menyelimuti, hanya sebuah cahaya lampu dari ruang dalam, menambah aroma sunyi dan seram rumah itu.

***

Apa yang paling kutakutkan di dunia ini? Ada tiga hal. Kembang api tidak termasuk. Jantungku memang rasanya mau meledak tiap kali pecah di udara. Tapi semburan wewarnanya adalah penawar mujarab. Kembang api malam takbiran ini, juga buras ala ibu ingatkanku pada keluarga itu. Selamat Lebaran, A Ling, Leona...

17 September 2009

Setahun Asa

Nomor 3 atau 4 ?
Pelayan salah satu stand produk sepatu di Mari, pulang balik mencari nomor sepatu yang kuinginkan. Ada sorot lelah di wajahnya dan untuk beberapa saat ia menghindar, mungkin ingin menenangkan hatinya akan ulahku. Ada tiga pilihan model dan ukuran, aku membayangkan kakinya, sudah sebesar apa sekarang. Sahur tadi Ibu menegaskan, kakinya semakin panjang, padahal ia belum bisa berjalan. "Lebih baik kebesaran daripada kekecilan..."


Harganya masih bisa kujangkau. Aku lelah berjalan mengitari mal yang belum terlalu ramai oleh pengunjung 'jajanan' lebaran. Kepalaku pusing terlalu lama berdiri. Akhirnya kurogoh duit untuk sepatu nomor 3, lalu berjalan lagi menuju lantai dasar. (rencananya mau cek album The Resistance, jadi aku bingung ke mana gerangan Disc Tarra, seingatku lokasinya dulu berada di outlet Sony kini).


Ia memandangku, adakah keheranan di pikirannya yang masih suci? Mungkin aku terlalu sering meninggalkannya hingga ia tidak mampu mengenaliku. Kado itu pun kuberikan, ia sempat tersenyum memperlihatkan barisan gigi seri yang makin bertumbuh. Saatnya menguji intuisiku. Happp!!! Ukurannya sangat pas, aku hanya bisa menghela napas.


Asa, anak dari kakakku Alfian. Ia lahir pada bulan Ramadhan tahun lalu. Kulitnya kuning langsat. Beberapa bulan pertama, ia mesti mengenakan pensil alis karena alisnya tidak bisa terlihat dari kejauhan. Setiap kali pulang ke Bone, aku selalu mencari mainan buatnya. Namun lebih sering mainan itu tidak terbeli. Setiap saat pula jika bertemu, aku mengabadikan dirinya dengan kamera ponselku. Aku selalu rindu padanya, seperti rinduku pada ibu yang sangat menyayanginya.


16 September kemarin genap sudah ia satu tahun. Apakah hanya aku yang ingat pada tanggal lahirnya? Ataukah tidak ada tradisi ulang tahun dalam keluarganya. Entahlah, aku hanya ingin membuatmu senang, Asa. Dengan kakimu yang makin panjang, engkau akan menjelajah dan mengecap warna warni dunia. Semoga Allah senantiasa mencurahkan Kasih untukmu.


bongkar pasang kado..

11 September 2009

Tentang Sahabatku, Desy

Di dunia ini saya mengenal tiga orang bernama Desi, walau dengan huruf penyusun yang berbeda. Pertama, Deasy teman SD ku hingga kelas 3, Decy teman se-angkatan di Kosmik, dan ada Desy Maulana, teman SD dari kelas 2 hingga kelas 4. Ketiganya adalah benang-benang warna dalam rajutan hidupku. Aku ingin menelusuri lagi salah satu warna itu, melihat pola jarum sulam pada benang itu, dan jejak yang telah kulalui bersamanya, Desy-ku.

Gadis cilik pindahan dari kota Makassar, rambutnya hitam dikuncir kuda dengan poni menutupi dahi, cantik dan atraktif. Dia selalu jadi kebanggaan ibu guru, jago matematika pula. Pernah sekali, aku ingat, waktu itu ibu guru sedang menjelaskan cara membaca jam dinding. Desy sangat fasih dalam hal ini, sementara aku sangat ketinggalan. Dasar bodoh, aku sampai kena lemparan kapur ibu guru karena tidak bisa menjawab pertanyaan.


Jika Desy punya sepeda biru merek Mustang (cukup populer saat itu), maka aku punya sepeda 'aneh' tidak bermerek. Dengan sepeda itulah kami sering kali mengunjungi satu sama lain, entah mengerjakan PR atau hanya sekedar menyusuri jalan-jalan tertentu yang sudah familiar bagi kami. Di rumah si sulung ini aku dibuat agar tidak merasa canggung. Makan-makan, main telpon-telponan, main tali, sampai mandi bersama di depan rumahnya dengan pompa air manual. Demikian pula setiap ia berkunjung ke rumahku, ia tidak akan ragu-ragu mendaki anak tangga dari bambu menuju lantai dua rumahku yang belum jadi.

Warna Desy selalu membuatku tersenyum. Kami berdua adalah penonton setia dua serial Thailand yang dibintangi oleh aktris yang sama. Kalau anda ingat, salah satu serial itu adalah Lady of the Poor dengan Bo sebagai tokoh utama, yang model rambutnya ditiru habis-habisan oleh penggemarnya. Serial satunya aku lupa, namun dengan itulah "puncak" kekompakanku dengan Desy terasa berbekas di hatiku. Soundtrack serial itu sering kami nyanyikan dengan lirik gubahan kami sendiri.

Namun, siapa yang sangka kebersamaanku dengan Desy tidak berumur panjang. Menginjak kelas 4, setahun setelah kepergian Deasy ku yang lain, keluarga Desy turut pindah ke Sinjai (ayah Desy seorang pegawai Telkom yang harus berpindah-pindah ke beberapa kabupaten di Sulsel). Lagi-lagi aku merasa kehilangan, rasa perih itu tidak pernah berkurang hingga hari ini. Aku sangat rindu saat ia tiada duduk di
samping bangku tempat dudukku di kelas.

Ia pernah mengirimkan surat dengan nomor telpon barunya. Namun belum sempat aku membaca seluruh isi surat dan menyimpan satu-satunya nomor yang bisa menghubungkanku dengannya, salah seorang menarik carik kertas itu dan merobek-robeknya tepat di depan mataku. Oh, apa gerangan yang menimpaku? Seperti sumur yang tidak berdasar, kerinduan itu akhirnya tidak pernah menemukan tempat berpijak.

Terkadang aku tidak bisa paham dengan rencana Tuhan. Pertanda yang Ia beri masih sangat sulit kuterjemahkan. Hingga 14 tahun melayang-layang dalam sumur itu, tiba-tiba Ia membuka jalan pertemuan kembali dengan sahabat masa kecilku. Aku bahagia sampai ingin menangis saat mendengar suaranya lewat telpon seluler (teknologi yang tidak pernah kami bayangkan di kala kami bermain telpon-telponan dahulu).


Kemarin ia mengabariku kalau ia sudah wisuda (ternyata selama ini menginjakkan kaki di universitas yang sama). Desy mengundangku ke acara buka puasa di Raja Boga, tidak begitu jauh dari kediamanku saat ini. Tiga bulan yang lalu, aku terlebih dahulu mengundangnya ke acara syukuran wisudaku. Namun baru kali ini aku bisa mengabadikan momen bersama. Ya, inilah rencana Tuhan yang tidak pernah kuramalkan kedatangannya, hingga aku bingung harus berbicara apa saja pada sahabatku ini.

Ia bertambah gemuk, katanya akibat stres mengerjakan skripsi. Tenri, sang adik yang masih dalam buaian terakhir kali aku melihatnya kini sudah SMA, tidak kalah cantik dengan sang kakak.


Memang aku bingung harus berbuat apa saja denganmu Des, waktu telah terlalu lama memisahkan kita, hingga banyak hal yang pernah tidak kita alami bersama. Namun satu hal yang tidak akan kuhalangi, teruslah jadi benang cerah dalam hidupku, Des...

6 September 2009

Angkatan tanpa Foto Angkatan

Kunci serep angkatan itu kini berada di tangan siapa, tiada yang tahu. Dari 52 persona, kurang lebih dua pertiganya telah menyelesaikan studi sejak satu tahun kemarin. Bukan sepertiga sisanya yang akan saya permasalahkan atau menujukan protes. Yang saya pertanyakan adalah, dari lima tahun masa bersama, mengapa tidak ada satu pun foto angkatan yang utuh tidak bolong-bolong?

Tanya ini sudah ke mana-mana mencari jawaban. Sebenarnya sudah tidak mungkin berfoto angkatan. Kepingan formasinya luruh satu per satu oleh waktu. Foto angkatan hanya menjadi mimpi yang tidak akan pernah terwujud hari ini (saya selalu berharap besok-besok bisa terealisasi, Amin).

Tanya ini terucap olehku, dalam hati, di rumah Wuri kala teman-teman merangkai pertemuan lagi. Sahur bareng teman-teman RUSH 04. Jujur, selama Ramadhan dalam hidupku, aku hanya mengenal yang namanya buka puasa bareng. Merencanakan sahur bareng dengan mendatangkan teman angkatan adalah sebuah ide brilian, inovatif, dan mencengangkan.

Perlu waktu satu minggu memberi kabar lewat dunia maya dan dunia sms. Panitia berusaha keras meyakinkan RUSHER yang masih bermukim di Makassar agar datang berkumpul, berbagi cerita, berbagi lowongan kerja, dan menjadi telinga bagi keluhan-keluhan mereka yang telah dihimpit oleh dunia kerja. Inilah yang menjadi pertimbangan penetapan jadwal, yakni Sabtu malam hingga Minggu pagi, meski pada akhirnya Wiwie, the most awaited one, ternyata tidak bisa datang.

Bahagia melihat semangat Iqko (yang notabene baru saja habis kecelakaan dan Wuri (yang dikenal ahli mengorganisir acara), Dwi dan Darma menyempatkan waktu berbagi bantal, pasangan Fufu dan Echy, Fafa, Keda, Uccang, Were, Icha, Ketua angkatan Arya, dua penjahat angkatan, Edy dan Taro, pegawai baru Patrick, Nunu si balala, semuanya datang...

Tidak ada yang boleh terlelap, itu peraturan yang boleh dilanggar. Dwi tak kuasa menahan beratnya kelopak mata. Setelah ditahan-tahan, ia menghambur juga ke kamar tidur, diikuti oleh Icha. Were masuk angin, Keda tak kunjung berhasil memasukkan voucher ke nomor hapeku, Patrick tiada henti bercerita soal tempat kerja barunya, Iqko menggendong tangannya ke mana-mana, blitz kamera Uccang serasa tak berjeda, Taro dan Edy menonton pertandingan membosankan Georgia-Italia, duet Fafa-Fufu membincangkan sedikit seputar hukum-hukum puasa dan shalat, dan ada Echy yang diospek ulang karena tidak pamit waktu berangkat ke Jakarta.

Sekitar jam 3 dini hari (Jam di dinding terlambat lima belas menit), Wuri dan aku menyiapkan makanan sahur. Beberapa potong ayam dan ikan goreng sambal serta tiga iris tempe goreng sisa buka semalam kuhangatkan. Sup yang dibawa Iqko sangat menggugah selera dan akhirnya jadi menu terbaik. Wuri merebus air buat bikin teh untuk 15 orang. Saatnya membangunkan darma, dwi, dan icha.

Habis sahur dan kenyang foto-foto, semua bingung menentukan, tidur atau menunggu pagi datang. Aku dan Dwi memutuskan nebeng di mobil Arya, Patrick dan Nunu ciao sebelum subuh, Taro dan Edy balik setelah subuh. Sisanya terkapar membayar tidur di ruang tamu yang telah disulap menjadi bidang datar berkarpet.

Makassar masih hening dan dingin kala kendaraan yang kutumpangi menjauh dari Toddopuli. Bocah-bocah lelaki serta perempuan-perempuan cilik bermukena kutemui hampir di tiap pinggir jalan-jalan kecil.

Hmm...di manakah foto angkatan itu?


4 September 2009

Menanti "Guiding Light"

"You are my Guiding Light..."

Aku jadi tidak sabaran dua minggu ini. Napasku sesak, udara yang masuk ke paru-paru serasa hujaman ribuan jarum tiap kali aku membaca review-review album mereka di berbagai majalah. Hanya sampel 30 detik dari tiap lagu setia menemaniku selama penantian hingga pekan depan, 14 September ini. File berjenis flv itu kupajang di desktop dan hanya akan dapat kudengarkan jika Kak Harwan sedang nganggur menggunakan komputer jinjingnya.

Penantian, ya, seperti kata Darma dan Kak Rahe, adalah sebuah proses meniti waktu yang terasa sangat nikmat. Ujung penantian adalah buah kesabaran itu sendiri, entah buahnya berasa air laut yang tidak pernah melepas dahaga, ataukah berasa kue putu yang langsung mengenyangkan pada gigitan pertama. Aku tidak tahu dengan apa yang akan kupanen. Hingga hari ini aku masih menggantungkan penilaian pada komentar orang-orang di forum diskusi maya. Di sisi lain aku ingin punya argumen sendiri.

30 detik pertama yang membakar semangat, tinggal tujuh hari lagi ia akan menemukan bentuk yang utuh. Aku masih merasa kehabisan napas. Breathless...

Kepincut Akting Katherine Heigl

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari penampilan Kate, ia tipikal aktris blonde kebanyakan, tinggi semampai dan berkulit putih, jauh dari kesan eksotis atau seksi meski ia sering menjadi model seksi dalam MAXIM, FHM, dan VANITY Fair. Namun mata saya tidak bisa beralih barang sedikit pun dari wajahnya ketika tiba masanya ia masuk frame. Saya juga tidak bosan-bosan (malah menyediakan waktu) jika HBO atau Star Movie memutar ulang film-filmnya itu.


Jatuh cinta ini baru saya sadari setelah menyaksikan 27 Dresses untuk ketiga kalinya di rumah salah seorang teman. Film yang sudah tidak terlalu baru, namun saya tonton karena penasaran dengan Kate. Sebelum-sebelumnya dari belasan film yang telah ia bintangi, saya hanya menyaksikan Knocked Up. Melihat Kate bagai minum cola, segar dan tidak cukup dengan sekali teguk. Aktingnya di luar dugaan berhasil mempermainkan emosi dan membuat saya ingin berada di film itu setidaknya supaya bisa melakonkan bahasa non verbal wajahnya yang sangat tulus dan polos.

1 September 2009

Doa, Nyawa Keduaku


Apakah yang manusia miliki selain keyakinan? Saat kepastian lelah terkejar, hanya pada doa hati menemukan rumah dan merebah tubuh pada keikhlasan. Setiap lafalnya meluruhkan sejenak ego yang akan menemukan reaksi kimianya kembali.

Sudah seringkali aku dibangunkan oleh mimpi buruk. Degup jantung tidak menentu dan hantu-hantu serasa memenuhi ruang kamar siap menerkam. Aku hampir mati ketakutan, sendirian. Tubuhku gelisah bergelut mencari rasa tenang. Telapak tangan tidak lepas dari dentuman dari dalam tubuh yang kurasa semakin hebat.

"Mengapa mesti takut kalau hanya ada Dia,..." aku ingat ucapan salah seorang kakak.

Bulir-bulir air menganak sungai di wajahku. Aku menangis merasakan keyakinan menusuk-nusuk tubuhku. Sesaat, mata terpejam membunuh semua ragu hingga aku larut kembali dalam lelap tidur.