17 February 2011



Someday you'll find me stand in the crowd, hey you Green Eyes...

Just because I'm losing, doesn't mean I'm lost
doesn't mean I'll stop, doesn't mean I'm across
Just because I'm hurting, doesn't mean I'm hurt
doesn't mean I didn't get what I deserve
no better or no worse

I just got lost...
Every river that I try to cross
Every door that I tried was locked
Oh and I'm just waiting till the shine wears off

You might be a big fish... in a little pond
doesn't mean you've won
cause along may come a bigger one

And you'll be lost...

15 February 2011

Puisikah?

Katanya orang bisa melihat cinta di setiap tetes air yang jatuh ke bumi
Orang bisa melihat cinta pada sore hari
Orang bisa melihat cinta ketika nyawa sudah di tenggorokan
Orang bisa melihat cinta pada bunga yang merekah

aku bisa melihat cinta di mata Hira setiap kali aku menyebut nama seseorang
Dan seketika itu juga, kelopak matanya serupa cangkang kerang tersibak, memamerkan dua mutiara hitam yang berkilau diterpa matahari yang dingin oleh air laut
Tanpa senyum, matanya menguasai semua keindahan di wajah itu
Aku bisa melihat cinta yang bukan untukku
Tapi hanya dengan cara itu aku bahagia
Mencintai sorot mata yang penuh cinta

Bagaimana rasanya melihat cinta di mata Hira?
Seperti ketika seseorang membangunkanmu di pagi hari
Seperti saat mata dan semua inderamu pertama kali merekam dunia yang akan mengunjungimu berpuluh-puluh tahun kemudian, kala Tuhan memutuskan sudah saatnya memasukkan ingatan ke dalam tubuhmu .

Seperti saat aku bangun dari tidurku di lantai putih nan dingin
Saat aku tidur dengan menggunakan jins biruku
Saat namaku dipanggil dalam antrian
Saat pemain pengganti masuk ke lapangan
Ketika redanya hujan saat berteduh di halte yang sesak
Saat mendengar lagu band kesayanganku dimainkan di radio angkot yang kutumpangi
Tidak terduga namun selalu membahagiakan

12 February 2011

Time Capsule




Bianglala (Bag. I)


Dan disinilah aku sekarang, di sebuah padang rumput tanggung, bersebelahan langsung dengan rawa ditutupi daun lebar teratai yang bunganya menunggu merekah. Sekitar 100 meter dari jalan besar yang tidak pernah sepi kendaraan. Pada lahan itu menjulang dengan kukuh nan anggun, sebuah roda peri, wahana paling mencolok di antara wahana lain. Ketika aku kecil aku selalu disuguhi imaji roda peri di tivi-tivi dan majalah-majalah, dan entah kenapa rangka mekanik ini selalu mengundang decak kagumku, roda peri bagiku tampak selalu indah sekaligus mistis, semistis nama panggilan lainnya: bianglala. Hanya itu yang bisa menarik perhatianku untuk singgah setiap kali angkot yang kutumpangi tidak sengaja melewati pasar malam dadakan di kawasan ini, memandangi rangka itu sampai jauh dan menghilang.

Sekali-kali suara mesin blender yang sesekali meraung-raung menghancurkan es di stand penjual minuman. Aku melihat seorang anak kecil merengek pada ibunya, si ibu mengomel antara khawatir atau marah sang anak bisa sakit di tengah cuaca dingin ini, sesekali ia mencubitnya. Sementara si penjual pasang muka tidak peduli. Ia hanya peduli barang jualannya laku.

Ada senja yang melanggar waktu di sini, senja yang baru saja ditinggalkan hujan. Sudah seminggu hujan menjaga malam dan siangku. Seperti sepanjang hari ini pun tidak bisa luput. Pernah dengar lagu Tepi Campuhan-nya Slank? Aku yakin lagu ini pasti dibuat saat oleh penciptanya kala memandang matahari setelah hujan. Sejenak sebelum cahaya lampu tumbuh di malam itu, aku masih punya waktu memandangi matahari itu terhimpit di sela-sela bangunan ruko dan menatap cahaya jingga yang mendarat di rerumputan yang sudah jarang ditemui di sepanjang jalan protocol kota ini. Sebagian besar sudah terkubur bangunan-bangunan baru.

Jarak dua Januari hanya diisi oleh musim hujan. sebagian orang menganggapnya aneh, penyimpangan siklus iklim. Aku juga turut kesal, bukan karena hujan yang turun sepanjang tahun. Aku kesal, kenapa bukan dia yang mengunjungiku, kenapa tidak pernah kudengar ketukan di pintu maya padahal ia nyata menggenggam kunci itu.

Aku sudah tidak menemukan anak kecil yang merengek dan ibunya. aku melihat bayangan adik, kakak, dan ibuku. Kakakku membungkukkan badan mengaitkan seutas benang yang ujungnya ada balon gas di kancing baju adikku. Adikku tersenyum kegirangan seperti ilmuwan dengan temuan barunya, lalu meraih tanganku dan tangan yang satu menggenggam tangan ibu. Kancing baju kecil itu kadang melonjak2 ditarik udara helium yang sudah ditakdirkan lebih ringan dari udara. Sesekali aku menengadah ke atas memastikan balon gas itu tidak tersangkut dan meletus. Belum senyum adikku habis, balon itu ternyata meletus juga. Di sini tidak ada penjual balon.

Matahari akhirnya tertelan cakrawala juga. Suara klakson mobil terdengar memaki-maki, lampu menyala, membuyarkan lamunanku. Aku beranjak menuju penjual karcis. Wajahnya dingin, aku bertanya sudah berapa lama ia di sini? Mungkin ia bisa membaca pikiran seperti halnya aku. Aku berani menatap mata itu, biasanya aku tidak melihat ke mata orang yang baru kutemui. pertanyaan yang kulempar bukanlah hal penting, bukan juga memulai pembicaraan yang lebih panjang. Ia menatapku, dengan rokok yang terselip di bibir yang kering. Gipsi jadi-jadian ini tidak tahu maksudku. Ia memberi jawaban yang singkat tidak peduli. Aku juga tidak peduli hingga aku sudah lupa segera setelah karcis di tangan.

Aku menatap sekeliling, aku orang asing di sini, dan aku merasa semua mata tertuju padaku, lampu sorot diarahkan padaku. Aku berjalan menuju Penjaga wahana. seorang berkulit gelap, sebentar lagi kulitnya akan terlapisi minyak keringat alami. Rambutnya ikal tebal dan hitam pekat disapu gelap malam. Dengan tangan telanjang aku melap genangan air pada tempat duduk yang tidak sempat dicumbu oleh matahari matahari senja yang ramah. Hingga seperempat jam berlalu, hanya aku dan sepasang remaja. Aku sadar aku sudah nekat dengan pilihan ini. hilir mudik angin menyelipkan takut di jantungku.

Suara kendaraan dari berbagai arah makin terdengar keras, bunyi klakson bergelayut di udara bercampur dengan aroma karat yang basah, menusuk-nusuk hidungku. Aku menikmati alunan bunyi tanpa komando itu, aku melepas headset yang tercantol di telingaku.

Roda itu mulai beraksi. pada saat mesin itu membawaku tegak lurus dengan tanah, aku menggenggam pegangan kursi yang catnya mengelupas. Aku takut ketinggian. pada titik tertinggi aku bisa melihat jalan yang terang oleh. Aku menengadah ke langit mencari sesuatu yang bisa melegakan sedikit rasa penyesalanku berada di tempat ini. Aku melihat sebentuk cawan tipis di barat langit. Bianglala terus berotasi, seperti yang sudah kuhitung-hitung, ia membawaku dari atas ke bawah dan sebaliknya tidak kurang sepuluh detik. Jumlah putaran sudah tidak bisa kupastikan yang ke berapa, isi perutku sudah sampai di jantung dan pada rotasi berikutnya mulai meraba-raba kerongkonganku. Aku menelan ludah. Aku memberi kode pada lelaki ikal itu dengan tanganku, dan bianglala itu berhenti tiba-tiba.

10 February 2011

Bianglala (bab tengah)


Tidak ada yang peduli saat bulan terbit atau tenggelam, sebagian orang menganggapnya biasa-biasa saja. Dan perlahan aku pun menyadari aku seperti bulan itu, tidak penting.

Aku mencintai orang yang salah. Di film-film, mereka menyebut ini sebagai bentuk cinta yang paling kejam. Lelaki yang tidak sanggup mengucap selamat tinggal hanya karena tidak ingin dianggap buruk. Tahukah dia, bahkan Tuhan pun memberi peluang pada kita untuk berbohong. Jika Ia menginginkan para hamba jujur, mengapa ada rahasia di dunia ini. Bahkan kebaikan pun bisa menyebabkan kejahatan yang mahabesar. Mungkin karena itu Tuhan menyembunyikan hati di balik tubuh manusia. Tidak mengetahui sesuatu yang sebenarnya bisa membuatmu lebih tenang. Ingin kucongkel keluar hatinya, tapi bagaimana ia akan merasakan cinta orang-orang yang mengasihinya? Ingin sekali aku melihat sorot matanya saat itu supaya bisa kulihat caranya merangkai kebohongan.

Hujan tidak pernah datang dan pergi diam-diam, tidak seperti salju di negeri-negeri utara yang sering dia ceritakan, yang langitnya sudah begitu ramai hingga kita sudah tidak bisa membedakan bintang dengan pesawat yang kebetulan berlalu. Kau tahu kepergian terburuk adalah tanpa pamit. Selama itu aku berusaha baik, menghormati ingatan tentangnya dengan tidak memaksa memberi jawab yang memang tidak pernah berani kutanyakan. Aku mencarinya sendiri, tanganku sampai berdarah-darah mengeruk-ngeruk waktu yang menyimpan semua jawab yang kumau. aku tidak punya peta kecuali keheningan yang ia tinggal hingga membuat waktu berjalan sangat lamban. dan Dalam setahun ini, aku sudah bisa membedakan dan hapal mana hujan yang datang sejenak, mana yang akan bertahan 2 hingga 3 hari, dan kapan hujan yang terputus-putus, reda sejenak, seperti orang yang sedang menangis, diam tiba-tiba hujan lagi.

Sejak kecil aku dibuat percaya, bahwa bahkan daun tidak akan jatuh tanpa izinNya. Dan ada yang bilang jika engkau menganggap hidupmu adalah tragedi dan musibah, maka Tuhan akan memberi ganjaran akan kesabaranmu di kehidupan selanjutnya. Engkau akan menjadi orang yang tertawa memandang mereka yang selalu kau cemburui di dunia karena selalu meraih apa yang mereka mau, ujung-ujungnya tidak mendapatkan apa-apa. Kata ibuku, mereka tidak bisa menuntut apa yang sudah Tuhan berikan.

Beberapa orang percaya hidup bisa ditaklukkan, yang lain mendapat peran sebagai penunggu. Aku ingin melupakannya, bahkan rasa kehilangan itupun aku mau lupa. Ingatan kadang bisa menjelma menjadi bumerang*. Kau melemparnya sekuat tenaga sejauh mungkin, namun pada akhirnya pasti akan kembali ke arahmu. Ingatan tentangnya tidak sampai berlembar-lembar, namun ketika dihantamkan ke wajahku, itu sangat menyakitkan. Sayangnya saat itu tidak ada cermin tepat di hadapanku sehingga aku bisa sejenak lupa sakit, menertawai kepura-puraan yang setia menghuni wajahku.

*sebuah dialog dalam film Little Black Book starring Brittany Murphy

Kembang Api di Malam Natal

25 Des 2010, 00.25

Malam yang sepi. Di kawasan pemukiman mahasiswa ini, terasa sangat sunyi. Natal kali ini jatuh pada hari sabtu. libur ditetapkan jatuh pada hari jumat. Jadi sebuah akhir pekan yang panjang. Mungkin inilah yang menyebabkan malam ini terasa sunyi. Ditambah lagi lokasi kawasan pondokan yang jauh dari pusat keramaian kota Makassar. Sesekali saja terdengar dentuman kembang api yang kira-kira berasal dari langit timur.

Sebentar lagi akhir tahun dan dua digit terakhir akan berganti. Kembang api itu selalu mengingatkan saya pada desember tiga tahun lalu. Saat itu saya terserang tipes. Secara medik penyebabnya adalah semacam virus atau bakteri yang selanjutnya melemahkan daya tahan tubuh. Tapi saya lebih percaya saya jatuh sakit karena pikiran-pikiran buruk yang berkecamuk dalam benak . Saya harus pulang ke bone berobat hingga sembuh selama dua pekan lamanya.

Belum pulih benar, saya memaksakan diri kembali ke kota yang kini mulai sulit kutinggalkan, Makassar. Saya rindu berkumpul dengan teman-teman. Ibu yang khawatir dengan kondisi saya yang masih kesulitan berjalan menemani saya pulang ke Makassar. Di kamar sempit nan dingin ketika malam hari, saya dan ibu terlelap bersama di malam-malam akhir desember.

Hingga pergantian tahun pun terjadi, petasan dan kembang api silih berganti menyisipkan riuh bergemuruh di udara. Di tiap sudut langit menyala sepersekian detik. Ibu tidak bisa lelap oleh suara-suara kemeriahan itu. Kami berdua akhirnya memutuskan keluar dari kamar dan mencari buncah-buncah cahaya kembang api itu berasal, menikmatinya beberapa saat lalu kembali ke peraduan, tidur melantai di kamar yang telah kuhuni selama dua tahun ketika itu.

Saya sedang merindukan ibu saat menyusun postingan ini. Ingin menelpon tapi selalu ada ragu. Kadang saya malu karena masih juga bergantung padanya, meski dalam hatinya ibu juga bahagia masih bisa membiayai anak perempuan satu-satunya ini. Kembang api itu meledak lagi di udara memecah sunyi, memecahkan kerinduan hingga berkeping-keping, berserakan di lantai yang dingin. Dan tak sengaja kutemukan kepingan kerinduan yang entah tertuju untuk siapa, di malam ini…

catatan 22 Desember 2010

salah satu hal yang paling menyakitkan di dunia adalah ketika harus memandang orang yang paling kita kasihi sebagai orang lain. saat kau ragu padanya namun di seberang sana ia malah semakin yakin padamu. aku tidak pernah memintamu, kau tahu aku sangat mencinta dan memuliakanmu. aku harus siap dengan kondisi apapun. banyak hal yang terjadi di luar kuasa lemah manusia tapi kadang itu justru baik.

ada yang takut dengan ramalan masa depan, namun ketika itu benar-benar terjadi ternyata ia bisa terima dengan baik bahkan mensyukurinya. semua terjadi pasti seizin-Nya. hati manusia memang hanya mampu dilembutkan oleh masa. seseorang pernah berkata padaku, tidak ada pilihan yang salah. semua pilihan adalah baik dan mendewasakan. maafkan aku jika meragu, namun kau juga harus bertanya mengapa aku begitu.

dalam keraguan yang tak berujung, tiba-tiba saja aku merasa sangat sendiri. aku melihat ke atas dan hanya menemukan bulan putih yang bentuknya mirip rumah kura-kura. there are times when you feel so alone…

Bianglala (bag.II)


Aku memutuskan pulang meski diantar tatapan mengejek sang penjaga bianglala. Aku mengutuk dalam hati, semoga hujan segera turun. Kau tidak pernah ragu pulang, karena kau sudah hapal arahnya hingga tidak akan tersesat. perjalanan pulang terasa lebih singkat dibanding saat engkau meninggalkannya.

Mataku tidak lepas dari kaca mobil angkot bagian belakang yang menyuguhkanku pemandangan jalanan yang masih basah. Aku sengaja memilih duduk di pojok, tempat favoritku di mana aku bisa memandang strategis ke mana pun aku mau. Kutukanku ternyata bekerja, hujan mulai turun membentuk cincin-cincin air di permukaan beton berlapis aspal.

Dalam kisah sang alkemis , ada sebuah kisah tentang raja salem yang perisai dadanya terbuat dari emas. Raja salem yang bijak. Ia tidak ragu mengubah dirinya menjadi batu bergulir ketika seorang pencari batu mulia mulai lelah dengan pencariannya. keletihan membuatnya menyerah padahal ia tidak tahu hanya perlu sekali kais lagi ia menemukan apa yang ia cari. Raja Salem sangat gemas. Ia mengubah dirinya menjadi batu berlian itu lalu menggelinding ke kaki sang pencari itu.

Aku penasaran apakah Raja Salem benar-benar ada dan kapan ia akan menjadi batu yang menggelinding ke arahku. Sekedar untuk menyadarkan tidak ada yang sia-sia dengan kesungguhan dan ketulusanku dan bilakah sudah saatnya aku harus berhenti mencari.

Hujan makin deras menerjang, sopir angkot sambil mengomel menyuruh kami merapatkan jendela mobilnya yang sulit tertutup. Mobil melaju mengurangi kecepatan, genangan air yang belum juga surut, makin menjadi-jadi. Aku menopang dagu, memandang jalan yang sudah mulai kabur oleh derasnya hujan, hanya lampu mercuri yang bisa menerobosnya. aku berusaha mengenali hujan riuh ini, ketika tiba-tiba samar-samar kudengar handphone ku berbunyi. Tidak ada satupun penumpang yang terganggu atau menyadarinya, semua resah terjebak di kotak berjalan berwarna biru muda. Aku meraih dari kantong jeans hitamku yang mulai pudar. Mendadak Aku merasakan hujan darah di dalam tubuhku kala melihat nama yang tertera di layarnya. Perutku tanpa menunggu perintah bergejolak lagi.

Nada deringnya masih mengalun berbaur dengan anggukan ritmis penumpang di depanku dengan headset di telinga, kakinya mengentak-entak pelan tapi tidak seribut kaki hujan yang menginjak-injak angkot ini yang mulai seirama dengan detak jantungku. Entah dari mana datangnya, aku merasa sesuatu merayapi hati. Sejenak aku mau percaya dengan tulus ada hal yang memang layak terjadi di dunia ini, tanpa harus menunggu datangnya kehidupan lain. aku mengenali hujan ini. Nama itu masih berkedip-kedip seperti mengetuk-ngetuk layar monokromku. Aku menarik napas… hujan tampaknya tidak akan berhenti sampai pagi.