12 February 2011

Bianglala (Bag. I)


Dan disinilah aku sekarang, di sebuah padang rumput tanggung, bersebelahan langsung dengan rawa ditutupi daun lebar teratai yang bunganya menunggu merekah. Sekitar 100 meter dari jalan besar yang tidak pernah sepi kendaraan. Pada lahan itu menjulang dengan kukuh nan anggun, sebuah roda peri, wahana paling mencolok di antara wahana lain. Ketika aku kecil aku selalu disuguhi imaji roda peri di tivi-tivi dan majalah-majalah, dan entah kenapa rangka mekanik ini selalu mengundang decak kagumku, roda peri bagiku tampak selalu indah sekaligus mistis, semistis nama panggilan lainnya: bianglala. Hanya itu yang bisa menarik perhatianku untuk singgah setiap kali angkot yang kutumpangi tidak sengaja melewati pasar malam dadakan di kawasan ini, memandangi rangka itu sampai jauh dan menghilang.

Sekali-kali suara mesin blender yang sesekali meraung-raung menghancurkan es di stand penjual minuman. Aku melihat seorang anak kecil merengek pada ibunya, si ibu mengomel antara khawatir atau marah sang anak bisa sakit di tengah cuaca dingin ini, sesekali ia mencubitnya. Sementara si penjual pasang muka tidak peduli. Ia hanya peduli barang jualannya laku.

Ada senja yang melanggar waktu di sini, senja yang baru saja ditinggalkan hujan. Sudah seminggu hujan menjaga malam dan siangku. Seperti sepanjang hari ini pun tidak bisa luput. Pernah dengar lagu Tepi Campuhan-nya Slank? Aku yakin lagu ini pasti dibuat saat oleh penciptanya kala memandang matahari setelah hujan. Sejenak sebelum cahaya lampu tumbuh di malam itu, aku masih punya waktu memandangi matahari itu terhimpit di sela-sela bangunan ruko dan menatap cahaya jingga yang mendarat di rerumputan yang sudah jarang ditemui di sepanjang jalan protocol kota ini. Sebagian besar sudah terkubur bangunan-bangunan baru.

Jarak dua Januari hanya diisi oleh musim hujan. sebagian orang menganggapnya aneh, penyimpangan siklus iklim. Aku juga turut kesal, bukan karena hujan yang turun sepanjang tahun. Aku kesal, kenapa bukan dia yang mengunjungiku, kenapa tidak pernah kudengar ketukan di pintu maya padahal ia nyata menggenggam kunci itu.

Aku sudah tidak menemukan anak kecil yang merengek dan ibunya. aku melihat bayangan adik, kakak, dan ibuku. Kakakku membungkukkan badan mengaitkan seutas benang yang ujungnya ada balon gas di kancing baju adikku. Adikku tersenyum kegirangan seperti ilmuwan dengan temuan barunya, lalu meraih tanganku dan tangan yang satu menggenggam tangan ibu. Kancing baju kecil itu kadang melonjak2 ditarik udara helium yang sudah ditakdirkan lebih ringan dari udara. Sesekali aku menengadah ke atas memastikan balon gas itu tidak tersangkut dan meletus. Belum senyum adikku habis, balon itu ternyata meletus juga. Di sini tidak ada penjual balon.

Matahari akhirnya tertelan cakrawala juga. Suara klakson mobil terdengar memaki-maki, lampu menyala, membuyarkan lamunanku. Aku beranjak menuju penjual karcis. Wajahnya dingin, aku bertanya sudah berapa lama ia di sini? Mungkin ia bisa membaca pikiran seperti halnya aku. Aku berani menatap mata itu, biasanya aku tidak melihat ke mata orang yang baru kutemui. pertanyaan yang kulempar bukanlah hal penting, bukan juga memulai pembicaraan yang lebih panjang. Ia menatapku, dengan rokok yang terselip di bibir yang kering. Gipsi jadi-jadian ini tidak tahu maksudku. Ia memberi jawaban yang singkat tidak peduli. Aku juga tidak peduli hingga aku sudah lupa segera setelah karcis di tangan.

Aku menatap sekeliling, aku orang asing di sini, dan aku merasa semua mata tertuju padaku, lampu sorot diarahkan padaku. Aku berjalan menuju Penjaga wahana. seorang berkulit gelap, sebentar lagi kulitnya akan terlapisi minyak keringat alami. Rambutnya ikal tebal dan hitam pekat disapu gelap malam. Dengan tangan telanjang aku melap genangan air pada tempat duduk yang tidak sempat dicumbu oleh matahari matahari senja yang ramah. Hingga seperempat jam berlalu, hanya aku dan sepasang remaja. Aku sadar aku sudah nekat dengan pilihan ini. hilir mudik angin menyelipkan takut di jantungku.

Suara kendaraan dari berbagai arah makin terdengar keras, bunyi klakson bergelayut di udara bercampur dengan aroma karat yang basah, menusuk-nusuk hidungku. Aku menikmati alunan bunyi tanpa komando itu, aku melepas headset yang tercantol di telingaku.

Roda itu mulai beraksi. pada saat mesin itu membawaku tegak lurus dengan tanah, aku menggenggam pegangan kursi yang catnya mengelupas. Aku takut ketinggian. pada titik tertinggi aku bisa melihat jalan yang terang oleh. Aku menengadah ke langit mencari sesuatu yang bisa melegakan sedikit rasa penyesalanku berada di tempat ini. Aku melihat sebentuk cawan tipis di barat langit. Bianglala terus berotasi, seperti yang sudah kuhitung-hitung, ia membawaku dari atas ke bawah dan sebaliknya tidak kurang sepuluh detik. Jumlah putaran sudah tidak bisa kupastikan yang ke berapa, isi perutku sudah sampai di jantung dan pada rotasi berikutnya mulai meraba-raba kerongkonganku. Aku menelan ludah. Aku memberi kode pada lelaki ikal itu dengan tanganku, dan bianglala itu berhenti tiba-tiba.

No comments: