24 October 2010

Kecepatan Suara

Maaf ya, lagi tidak ada bahan belakangan ini, bisanya posting lirik lagu saja. Tapi saya suka sekali lagu ini, seriusss...

How long before I get in?
Before it starts, before I begin?
How long before you decide?
Before I know what it feels like?
Where To, where do I go?
If you never try, then you'll never know.
How long do I have to climb,
Up on the side of this mountain of mine?

Look up, I look up at night,
Planets are moving at the speed of light.
Climb up, up in the trees,
every chance that you get,
is a chance you seize.
How long am I gonna stand,
with my head stuck under the sand?
I'll start before I can stop,
before I see things the right way up.

All that noise, and all that sound,
All those places I have found.
And birds go flying at the speed of sound,
to show you how it all began.
Birds came flying from the underground,
if you could see it then you'd understand?

Ideas that you'll never find,
All the inventors could never design.
The buildings that you put up,
Japan and China all lit up.
The sign that I couldn't read,
or a light that I couldn't see,
some things you have to believe,
but others are puzzles, puzzling me.

All those signs, I knew what they meant.
Some things you can invent.
Some get made, and some get sent.

Birds go flying at the speed of sound,
to show you how it all began.
Birds came flying from the underground,
if you could see it then you'd understand,
ah, when you see it then you'll understand?

(Coldplay/Speed of Sound)

17 October 2010

Mimpi dan tertawa

kita bermimpi lalu tertawa
namun tahukah kau,
tawa mereka seperti lautan
menyisipkan kita ke palung terdalam

tapi mereka tidak paham
kita bisa menjadi hujan
yang akhirnya menciptakan garam

teruslah bermimpi
lalu tertawa lagi
biar lelahnya membangunkan kita
bahwa hati yang terpaku
bisa tercerabut
melintasi laut, hujan
meski ia tidak akan menjadi garam
ia akan berakhir pada mimpi
yang selalu kita tertawakan

*buat singiku

Pencuri

Finally, the greatest thief of all the time is....

Waktu telah mencuri semua dari manusia lalu mengembalikannya dalam bentuk kenangan. Seberapa detail, seberapa akurat pun manusia mengingat, kenangan itu tetap kenangan. Bagai jualan di etalase, jarak antara manusia dan kenangan bagai dua dimensi yang dibatasi oleh selembar kaca tebal tembus pandang. Bisa dilihat tapi tidak bisa direngkuh. Namun manusia mau saja menghabiskan uang dan hidupnya hanya demi sebuah kenangan.

Things pass, and the best we can do is to let them really go away

Malino, Forks van Celebes

Jika bukan karena status mahasiswa, mungkin saya tidak akan pernah menginjak tanah Malino. Zaman-zaman SMP/SMA saya hanya bisa mendengar cerita teman-teman tentang pengalaman mereka di sana. Mau sekali ke sana, apalagi seorang teman duduk di SMP mengajak saya untuk melanjutkan sekolah ke salah satu sekolah favorit SMA 2 Tinggimoncong yang kami lebih kenal dengan nama SMA 2 Malino.

Saya sudah meneguhkan niat mengikuti segala proses untuk bisa sampai ke sana. Tapi takdir berkata lain. Tepat di tahun saya akan masuk SMA, kakak saya yang paling tua harus menjalani takdirnya di Saitama dan kakak kedua saya juga harus melanjutkan sekolah di kampus UH. Kata ibu, saya harus 'mengalah' dulu T_T

Kesempatan pertama saya dapat ketika saya dan teman-teman menjalani final ekskul Do Gojukai di semester I (januari 2005). Saya tidak tahu di antara rombongan tiga bus, mungkinkah saya satu-satunya yang belum pernah ke Malino. Tapi saya bahagia. Pertama kali ke sana, saya sudah mengikrarkan diri untuk selalu kembali. Dan itu memang terjadi lagi. Tepatnya ketika adik junior saya di kosmik (2005 dan 2006) mengadakan Bina Akrab. Dua kali, dan saya selalu ikut.

Entah magnet apa yang rasanya selalu menarik kaki-kaki ini menjejaki tanah Malino. Terakhir kali saya ke sana pada bulan April tahun ini saat menghadiri akikah putra pertama Ka Ishak. Saya merasakan kebahagian tersendiri melihat jalan yang berkabut hingga sulit dilalui kendaraan, heran dengan teh hangat yang tiba-tiba dingin karena suhu udara, pada pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Berada di sana seperti berada di dimensi lain. Saya cinta pada keheningan, kesejukan, nuansa hijau, kemurnian udara, pada bunga mawar 'asli' yang tumbuh di tepi jalan, pada sinar matahari di sore hari setelah hujan, pada ketinggiannya di mana saya bisa membiarkan rasa bimbang melayang.

Saya selalu ingin kembali ke sana...

14 October 2010

Temanku, Si Beruang Madu

Begitu mudah untuk akrab dengan satu orang ini. Dia bisa diajak bercerita tentang apapun. Tidak usah ditanya seberapa fasihnya dalam soal musik mancanegara, he is a freak. Ia pernah ‘membentak’ waktu memutar mp3 di rumah seorang teman ketika kami yang masih angkatan baru di kosmik melakukan persiapan acara persembahan di bina akrab. Dia bilang selera musikku aneh, karena waktu itu saya putar lagunya Bon Jovi, hahaha...

tampak samping (ampunka seniooorr!)

Ukuran tubuhnya memang agak jumbo, that makes him very easy to recognize. Ia adalah orang dengan mood yang tidak bisa ditebak. Kadang sangat antusias dan kadang bĂȘte minta ampun, dan lagi lagi akupernah menjadi korban sifat moody nya itu. Pernah suatu hari di kampus, masih maba, di koridor, aku datang mengeluh padanya, tapi yang aku dapat ‘bentakan’ lagi, aduh aduh… mungkin karena waktu itu aku belum terlalu mengenalnya.

Ia sering mengaku kalau ia adalah tipe individualis, lebih senang melakukan segala sesuatu sendiri. Hmm…sarcastic aye? Sebab itu ia tidak pernah menyusahkan teman-temannya. Satu hal lagi ia suka tertawa dengan keras (saingan 1-2 dengan dwi). Ya, selain karena ukuran tubuhnya, ia begitu mudah dikenali dari jauh karena tawa kerasnya yang seperti berirama.

tampak belakang (agak-agak suram)

Oh iya, Iqko adalah mantan penyiar radio di Makassar, he is (or was?) a radio star. Seingatku ia mulai menyiar ketika lulus SMA, di sebuah stasiun radio yang selalu ia banggakan. Ia suka memutar lagu untuk kami anak-anak RUSH kapan pun ia sempat. Dan aku yakin, ia pasti juga memutar sebuah lagu untukku ketika aku berulang tahun, iya kan Iqko? ^^

Iqko-lah yang mengorganisir teman-teman angkatan kami untuk memberi ucapan selamat ulang tahun di sebuah buku mini yang ia buat sendiri, plus sekeping compact disc berisi lagu-lagu favoritku. Itu adalah kado ulang tahun terindah yang pernah kuterima (juga kado mukena dari sahabat terbaikku, Madi). Saya masih menyimpannya sampai sekarang, meski di beberapa bagian tulisannya mulai kusam dan luntur. Semoga bukan persahabatan kita yang luntur, teman.

tampak depan (akhirnya...)

Aku yakin dengan hal itu, dia adalah sebaik-baik teman. Ia akan selalu ada setiap kali seorang teman membutuhkannya. Ia adalah ‘tong’ sampah yang berisi masalah-masalah dan uneg-unegku. Ia sangat setia kawan: temanku adalah temannya, dan musuhku adalah musuhnya juga. Ia tidak pernah menegaskan itu, tapi aku bisa melihatnya dari sikapnya selama ini. Aku rasa itu sudah cukup menggambarkan keutamaan seorang Iqko.

Hari ini ia berulang tahun. Yang aku sesalkan, sampai hari ini aku belum bisa memberinya kado, apalagi yang bisa sebagus kado pemberiannya dulu. Beberapa hari yang lalu aku menulis di wall-nya: aku merasa terlupakan, hiks hiks…”. Sebenarnya aku bercanda, aku tahu ia sangat sibuk. Tapi meskipun sibuk ia pasti masih akan selalu menyempatkan diri untuk mentraktir kami atau sekedar kongkow-kongkow tidak jelas, hehehe..iya kan Iqko?

tampak seluruh badan (betul kan kata saya? hehehe)

Selamat hari jadi, sobat. Semoga terberkati hari-harimu ke depan. Hanya Allah yang akan membalas kebaikanmu selama ini. Semoga panjang umur hingga kita bisa bertemu lagi di tahun-tahun depan supaya aku bisa memberimu kado ^^.

4 October 2010

Penghuni Baru Kamarku

Semua gara-gara mau nonton bola. Saya bela-bela angkut monitor bekas milik ka Patang dari kamar kak Bento plus menjarah tv tuner milik adikku, kasi kerjaan buat kak harwan perbaiki antena supaya kualitas gambar bisa bersih. Setelah utak atik sana sini selama hampir satu setengah jam, voila!!! akhirnya bisa nonton La Liga di tvone. Tapi dasar antena rakitan, stasiun lain yang menayangkan Premier League dan Kualifikasi Euro 2012 tidak bisa tertangkap dengan baik. Besoknya saya nyalakan lagi berharap sudah bersih. Thank God, RCTI sudah bagus meski masih banyak noise-nya, masih cukup jelaslah untuk melihat wajah Phillip Lahm, hmm...

Sebenarnya adik saya punya tivi di kamar. Tapi sejak tiga minggu lalu tidak berfungsi jadi ia simpan saja di 'gudang. Saya lalu berinisiatif memmbawanya ke akang pemilik warung asli Sunda di sekitar kosan saya. Tiga hari kemudian saya datang lagi, ternyata mesti dicarikan spare part, pesan dari Jakarta. Soalnya TV saya itu jenis TV lama yang belum pake remote infra merah, masih pakai remote manual. Tahu kan, yang pake gagang sapu atau tongkat pramuka itu, hehe.

Si Akang minta supaya TV nya disimpan dulu biar kalo barangnya sudah ada bisa langsung diperbaiki. Saya meng-ok saja, pasrah. mau beli tivi baru dapat duit dari mana? sampai akhirnya saya berkunjung ke ramsis dan melihat monitor tabung nan cembung nganggur. Pikir-pikir daripada tidak terpakai lebih baik dibawa saja.

Saya termasuk orang yang tidak uptodate dengan menonton berita. I'm not into politic or economic. Jengah. Empat hari belakangan ini, tiap menyalakan tivi, saya langsung disuguhi adegan penyergapan ini penyergapan itu. Belum lagi kalau jelang tengah malam: makin malam makin "kuning". Waduh!!!

Tapi beda kali ya kalo tv saya bisa menangkap siaran HBO atau Star Movies, hmm... bisa-bisa saya tidak keluar kamar seharian.

Pumi dan Kuma

Wajahnya punya dua penghuni: tawa dan senyum. Terakhir kali aku melihat sipitnya bengkak ketika mamanya sedang sakit. Setelah itu tidak pernah lagi kulihat, tangis itu telah pergi. Ia selalu tertawa meski bos waktu ia bekerja pernah memarahinya. Dia suka cekikikan sendiri. Dia tidak pernah punya maksud jahat mencelakai orang di luar dirinya. Dan dia selalu ingin membuatku optimis.

Oleh karena itu saya tetap tidak bisa menangis waktu ia mau pamit bersama suitcase dan rice cooker-nya berangkat ke Jakarta. Saya mau adegan yang sedih, tapi ia terus tertawa dan cekikikan, dan itu lebih kuat pengaruhnya daripada air mata yang tertahan sejak dari tadi. Jadinya seharian saya tidak berbicara kepada siapapun. Ada yang bilang tangis yang tidak terlihat lebih perih daripada yang terlihat. Hiks hiks...

Karena dia blog ini bisa lahir. Ia sangat senang waktu saya akhirnya bikin blog juga, dua tahun setelah ia eksis duluan. Hufh, apalagi yang bisa kuceritakan tentang Pumi. Oh iya, satu hal, berteman dengannya sangat menyenangkan. Kenapa? Karena dia bisa membawa diri dengan baik, jadi saya tidak perlu susah-susah mengurusinya kalau ia menginap di kamar saya, hihi.

Pumi, maaf aku hanya bisa memberimu buku resep bekas, malah halamannya mulai terkelupas karena lembab. Aku ingat kau pernah bilang ingin memasak selama di Jakarta nanti. Semoga kau bisa bertemu dengan idolamu Dewi Lestari. Perkenankanlah saya menitip pesan buat Reza Rahadian jika kau sempat bertemu dengannya, katakanlah: Tunggu pembalasanku, Reza. Haha, tentu kau tahu apa maksudnya, Pumi.


*pumi dan kuma adalah panggilan keponakan Dwi buatnya dan buat saya

2 October 2010

Pizza Freak

Saya selalu bersyukur diciptakan dengan lidah yang gampang beradaptasi dengan berbagai jenis makanan. Perut saya juga bisa mencerna dengan baik makanan yang mungkin baru pertama kalinya saya cicipi. Termasuk pizza. Saya baru menyentuh makanan ini di awal tahun 2008, saat kebetulan bertemu dengan teman di MP (padahal saya sudah 4 tahun tinggal di Makassar saat itu, dari mana saja?) I love pizza. I'd die for a pan, haha...

Sayangnya, kalau salah pilih jenis pizza kolesterol saya bisa naik tanpa diminta, piuh... Makanya setiap kali beruntung (ditraktir teman atau senior), saya pasti pesan dengan kola, karena katanya kola bisa menetralkan kadar kolesterol yang baru masuk dalam tubuh. Belum dibuktikan secara medis sih, tapi saya sendiri sudah mencoba dan taraaa... saya tidak akan menolak kalau ada yang mau traktir lagi, hihihi...

Selama ini jika ada teman yang berbaik hati berbagi rezeki, pasti saya orang pertama yang menyarankan untuk ke kedai pizza saja, di mana pun itu di Makassar. Tapi sayangnya, di geng ada seorang teman yang sangat anti-pizza. Katanya tidak cocok dengan perut pribuminya, hehe. Makanya tiap kali saya bersikeras makan penganan dari negara menara miring ini, akan ada sedikit gurat-gurat keberatan di wajahnya. Mostly, saya menyerah.


Tapi waktu Iqko traktir di kedai pizza di kawasan boulevard, mau tidak mau ia harus beradaptasi. Tidak usah saya ceritakan ya bagaimana teman saya ini membelah lembar pizza dan perjuangannya menelan pizza hingga irisan terakhir. Saya tidak berhenti tertawa dan memandangi ekspresi kegundahan di wajahnya, hehe. Yang jelas, setelah satu pan personal di depannya habis dilahap, ia tiba-tiba mengajak saya bermain bola. Lho? Katanya, para pemain bola di negeri Pisa makan pizza dulu baru main bola. Huh, ada ada saja... :D