So let the time goes day by day
With you in my mind
And in the end we will find love
That ease our cry
I will find a way
To breath this dream everyday
(Letto/I'll find a way)
Showing posts with label tangled. Show all posts
Showing posts with label tangled. Show all posts
17 November 2010
2 November 2010
Ujian
Semakin kuat iman seseorang, semakin berat cobaan yang akan menimpanya
semakin lemah iman seseorang, semakin sedikit cobaan yang mendatanginya.
Di antara manusia, ada yang imannya makin bertambah karena ujian yang ia lalui. Sebaliknya, ada pula yang imannya makin berkurang jika mendapat cobaan. Tuhan Maha Tahu siapa yang akan Ia uji dan kapan masanya.
Tuhan tidak pernah memberi cobaan melebihi batas kekuatan manusia
*masih terngiang-ngiang kejadian siang tadi di Puskesmas Sudiang, ketika saya menjadi saksi seorang bocah 3 tahun meninggal tidak terselamatkan, saya tidak sempat melihat tubuhnya yang membiru, berbalut sarung dan tangis tertahan dari sang ibu.
semakin lemah iman seseorang, semakin sedikit cobaan yang mendatanginya.
Di antara manusia, ada yang imannya makin bertambah karena ujian yang ia lalui. Sebaliknya, ada pula yang imannya makin berkurang jika mendapat cobaan. Tuhan Maha Tahu siapa yang akan Ia uji dan kapan masanya.
Tuhan tidak pernah memberi cobaan melebihi batas kekuatan manusia
*masih terngiang-ngiang kejadian siang tadi di Puskesmas Sudiang, ketika saya menjadi saksi seorang bocah 3 tahun meninggal tidak terselamatkan, saya tidak sempat melihat tubuhnya yang membiru, berbalut sarung dan tangis tertahan dari sang ibu.
1 November 2010
Bukan Dongeng Malam
Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka mengubah sendiri keadaan mereka.
31 oktober malam, seharian saya hanya bergelut di kasur pemberian Dwi, di depan monitor komputer tabung yang sudah beralih fungsi menjadi tivi. Betapa malangnya aku masih merasa diriku begitu: orang yang tidak tahu akan ia apakan hidupnya. Mataku tidak bisa fokus melihat gantungan baju di belakang pintu yang sudah jadi sarang nyamuk. Aku tertidur seperti ayam, lelap tidak, terjaga tidak.
Tulang belakang rasanya tebal sekian jam beradu dengan kasur ketika aku berusaha memaknai hari mingguku yang sepi. Seperti kemarin-kemarin, jika berada di level low point, aku berusaha membangkitkan diri meski lebih sering tidak berhasil. Diari mini yang selalu jadi teman tidurku kuacak-acak halamannya, membaca tulisan lalu, hingga aku sampai pada kesimpulan: kadang tidak ada gunanya menulis diari, diari hanya membuat penyesalan demi penyesalan.
Aku ingin melempar diari itu seperti Cinta melempar buku 'Aku' keras-keras. Tapi aku urung, dinding kamar berbahan triplek, tetangga kamar bisa heboh. Yang lebih penting, aku sering menyelipkan doa di tiap halaman, aku masih takut dosa jika melemparnya.
Dan masih dengan mata yang belum bisa fokus, posisi tiarap, aku mengingat kalimat pembuka di atas. Ingin menafikan, tapi bukankah kita harus yakin pada apa yang kita percayai? Seketika itu juga, duniaku terbalik. Aku terbangun dari tidur, bangkit, tidak lupa mengutuk diri untuk kesekian kalinya. Mengapa aku begitu bodoh selama ini? Obat ragu yang kucari selama ini ternyata begitu dekat.
Aku hanya butuh meyakinkan diri, itu saja, tidak begitu sulit. Bukankah perjuangan dalam hidup adalah mempertahankan keyakinan dalam diri? Bukankah musuh terbesar dalam hidup manusia adalah diri mereka sendiri. Sudah berapa kali hati menjadi pengecut dan mudah dibodohi.
1 November, malam. Aku menemukan diriku di antara riuhnya salah satu titik di jalan raya Makassar, tepat di bawah lampu jalan paling terang yang bisa kulihat. Aku menatap lampu itu, cahayanya menerobos ruang kosong di sekitarnya hingga bisa kulihat isi udara. apakah itu kabut ataukah debu jalan, atau uap ragu-ragu dari hatiku, aku tidak yakin. Aku hanya yakin jika Tuhan masih tidak akan campur tangan dengan nasibku.
Aku menunduk melihat sneaker biruku yang mulai usang. Entahlah, sejak dari tadi pagi aku meyakinkan diri aku terlihat lebih muda dengan sneaker ini. Aku hanya ingin pulang ke kamar, bertemu lagi dengan kasurku...
sebelum mereka mengubah sendiri keadaan mereka.
31 oktober malam, seharian saya hanya bergelut di kasur pemberian Dwi, di depan monitor komputer tabung yang sudah beralih fungsi menjadi tivi. Betapa malangnya aku masih merasa diriku begitu: orang yang tidak tahu akan ia apakan hidupnya. Mataku tidak bisa fokus melihat gantungan baju di belakang pintu yang sudah jadi sarang nyamuk. Aku tertidur seperti ayam, lelap tidak, terjaga tidak.
Tulang belakang rasanya tebal sekian jam beradu dengan kasur ketika aku berusaha memaknai hari mingguku yang sepi. Seperti kemarin-kemarin, jika berada di level low point, aku berusaha membangkitkan diri meski lebih sering tidak berhasil. Diari mini yang selalu jadi teman tidurku kuacak-acak halamannya, membaca tulisan lalu, hingga aku sampai pada kesimpulan: kadang tidak ada gunanya menulis diari, diari hanya membuat penyesalan demi penyesalan.
Aku ingin melempar diari itu seperti Cinta melempar buku 'Aku' keras-keras. Tapi aku urung, dinding kamar berbahan triplek, tetangga kamar bisa heboh. Yang lebih penting, aku sering menyelipkan doa di tiap halaman, aku masih takut dosa jika melemparnya.
Dan masih dengan mata yang belum bisa fokus, posisi tiarap, aku mengingat kalimat pembuka di atas. Ingin menafikan, tapi bukankah kita harus yakin pada apa yang kita percayai? Seketika itu juga, duniaku terbalik. Aku terbangun dari tidur, bangkit, tidak lupa mengutuk diri untuk kesekian kalinya. Mengapa aku begitu bodoh selama ini? Obat ragu yang kucari selama ini ternyata begitu dekat.
Aku hanya butuh meyakinkan diri, itu saja, tidak begitu sulit. Bukankah perjuangan dalam hidup adalah mempertahankan keyakinan dalam diri? Bukankah musuh terbesar dalam hidup manusia adalah diri mereka sendiri. Sudah berapa kali hati menjadi pengecut dan mudah dibodohi.
1 November, malam. Aku menemukan diriku di antara riuhnya salah satu titik di jalan raya Makassar, tepat di bawah lampu jalan paling terang yang bisa kulihat. Aku menatap lampu itu, cahayanya menerobos ruang kosong di sekitarnya hingga bisa kulihat isi udara. apakah itu kabut ataukah debu jalan, atau uap ragu-ragu dari hatiku, aku tidak yakin. Aku hanya yakin jika Tuhan masih tidak akan campur tangan dengan nasibku.
Aku menunduk melihat sneaker biruku yang mulai usang. Entahlah, sejak dari tadi pagi aku meyakinkan diri aku terlihat lebih muda dengan sneaker ini. Aku hanya ingin pulang ke kamar, bertemu lagi dengan kasurku...
17 October 2010
Mimpi dan tertawa
kita bermimpi lalu tertawa
namun tahukah kau,
tawa mereka seperti lautan
menyisipkan kita ke palung terdalam
tapi mereka tidak paham
kita bisa menjadi hujan
yang akhirnya menciptakan garam
teruslah bermimpi
lalu tertawa lagi
biar lelahnya membangunkan kita
bahwa hati yang terpaku
bisa tercerabut
melintasi laut, hujan
meski ia tidak akan menjadi garam
ia akan berakhir pada mimpi
yang selalu kita tertawakan
*buat singiku
namun tahukah kau,
tawa mereka seperti lautan
menyisipkan kita ke palung terdalam
tapi mereka tidak paham
kita bisa menjadi hujan
yang akhirnya menciptakan garam
teruslah bermimpi
lalu tertawa lagi
biar lelahnya membangunkan kita
bahwa hati yang terpaku
bisa tercerabut
melintasi laut, hujan
meski ia tidak akan menjadi garam
ia akan berakhir pada mimpi
yang selalu kita tertawakan
*buat singiku
Pencuri
Finally, the greatest thief of all the time is....
Waktu telah mencuri semua dari manusia lalu mengembalikannya dalam bentuk kenangan. Seberapa detail, seberapa akurat pun manusia mengingat, kenangan itu tetap kenangan. Bagai jualan di etalase, jarak antara manusia dan kenangan bagai dua dimensi yang dibatasi oleh selembar kaca tebal tembus pandang. Bisa dilihat tapi tidak bisa direngkuh. Namun manusia mau saja menghabiskan uang dan hidupnya hanya demi sebuah kenangan.
Things pass, and the best we can do is to let them really go away
Waktu telah mencuri semua dari manusia lalu mengembalikannya dalam bentuk kenangan. Seberapa detail, seberapa akurat pun manusia mengingat, kenangan itu tetap kenangan. Bagai jualan di etalase, jarak antara manusia dan kenangan bagai dua dimensi yang dibatasi oleh selembar kaca tebal tembus pandang. Bisa dilihat tapi tidak bisa direngkuh. Namun manusia mau saja menghabiskan uang dan hidupnya hanya demi sebuah kenangan.
Things pass, and the best we can do is to let them really go away
25 September 2010
Membela Tuhan
Tuhan tidak pernah menginginkan makhlukNya berbuat buruk. Tuhan juga tidak menciptakan manusia tanpa pilihan bebas. Orang yang berbuat zalim terhadap sesama tidak pernah diinginkan Tuhan, hanya manusia zalim saja yang tak berbuat adil dengan apa yang sudah diberikan termasuk menggunakan tubuhnya berbuat lalim.
Mustahil Tuhan zalim pada ciptaan-Nya
Mustahil Tuhan zalim pada ciptaan-Nya
17 September 2010
Suri
What makes a man?
Kabar baik datang pagi tadi, perasaan jadi campur aduk, tiba-tiba tidak konsen mengerjakan tugas. Namun dalam hidup manusia, selalu ada yang terasa datang terlambat. Begitupun yang sedang saya alami. Sejak setahun lalu saya lulus dan belum dapat pekerjaan hingga saya memutuskan melanjutkan sekolah untuk mengisi kekosongan. Berita baik itu tiba-tiba datang.
Guundah dengan pilihan-pilihan di hadapan. Saya pernah sangat mengharapkan pekerjaan itu. Di sisi lain, kini saya sedang mempersiapkan diri meneruskan sekolah. Ya Allah, Engkau menggelitik perasaan ini. Pada akhirnya saya harus memilih, saya tetap akan menuju kolam besar itu untuk berenang.
Guundah dengan pilihan-pilihan di hadapan. Saya pernah sangat mengharapkan pekerjaan itu. Di sisi lain, kini saya sedang mempersiapkan diri meneruskan sekolah. Ya Allah, Engkau menggelitik perasaan ini. Pada akhirnya saya harus memilih, saya tetap akan menuju kolam besar itu untuk berenang.
16 September 2010
Random Notes
On your journey to your dream,
be ready to face oasis and deserts.
In both cases, don't stop (Il Grande Paulo Coelho)
I might be walking this far
But the desert is just a so-huge burning land
God, help me through out this hot bubbles
I need to believe that You will
Just a moment, this time will pass
be ready to face oasis and deserts.
In both cases, don't stop (Il Grande Paulo Coelho)
I might be walking this far
But the desert is just a so-huge burning land
God, help me through out this hot bubbles
I need to believe that You will
Just a moment, this time will pass
11 September 2010
Lighting A Candle
Banyak alasan untuk marah, tapi lebih banyak alasan untuk meredam marah. Kira-kira inilah pelajaran moral yang selanjutnya mengantar saya pada pelajaran moral lainnya di hari ini. Saya hendak marah pada teman-teman SMA yang siang/sore tadi nyekar ke nisan salah seorang sabahat kesayangan kami, tanpa memberi kabar sedikit pun. Saya baru tahu saat secara tidak sengaja bertemu salah seorang dari mereka malam ini, di warnet ini.
Saya sedih dan marah. Jauh-jauh hari saya memang sudah meniatkan untuk ziarah kubur sahabat kami itu. Tapi yang terjadi saya merasa ditinggalkan, terlupakan. Mungkin saya marah karena alasan terakhir: merasa terlupakan oleh teman yang selama ini saling menguatkan. Hal ini makin dikukuhkan oleh kenyataan bahwa sebenarnya saya bisa pergi sendiri bersama bapak yang kebetulan berkampung tidak jauh dari lokasi makam Melisa, sahabat kami.
SMS komplain bernada 'murka' dan kecewa sudah selesai saya ketik dan siap kirim. Saya menarik napas panjang, jarang sekali saya menunjukkan amarah pada teman-teman sendiri. Akhirnya saya meletakkan hape, menatap layar komputer sembari mengumpulkan alasan-alasan kenapa saya tidak boleh marah, kenapa saya harus men-delete pesan teks itu.
Saya malu pada diri sendiri, saya marah lebih karena perasaan 'terlupakan' atau 'terabaikan'itu, bukan karena saya tidak bisa nyekar. Betapa tidak enaknya perasaan itu. Tapi pada akhirnya saya harus memaafkan dan memaklumkan kondisi ini, berusaha menyalakan lilin agar gelapnya amarah ini bisa hilang. Berusaha menenangkan pusaran ego yang meraja. Saya mestinya malu, ingin marah karena demi membela ego sendiri. I need to be stronger at this....
Saya sedih dan marah. Jauh-jauh hari saya memang sudah meniatkan untuk ziarah kubur sahabat kami itu. Tapi yang terjadi saya merasa ditinggalkan, terlupakan. Mungkin saya marah karena alasan terakhir: merasa terlupakan oleh teman yang selama ini saling menguatkan. Hal ini makin dikukuhkan oleh kenyataan bahwa sebenarnya saya bisa pergi sendiri bersama bapak yang kebetulan berkampung tidak jauh dari lokasi makam Melisa, sahabat kami.
SMS komplain bernada 'murka' dan kecewa sudah selesai saya ketik dan siap kirim. Saya menarik napas panjang, jarang sekali saya menunjukkan amarah pada teman-teman sendiri. Akhirnya saya meletakkan hape, menatap layar komputer sembari mengumpulkan alasan-alasan kenapa saya tidak boleh marah, kenapa saya harus men-delete pesan teks itu.
Saya malu pada diri sendiri, saya marah lebih karena perasaan 'terlupakan' atau 'terabaikan'itu, bukan karena saya tidak bisa nyekar. Betapa tidak enaknya perasaan itu. Tapi pada akhirnya saya harus memaafkan dan memaklumkan kondisi ini, berusaha menyalakan lilin agar gelapnya amarah ini bisa hilang. Berusaha menenangkan pusaran ego yang meraja. Saya mestinya malu, ingin marah karena demi membela ego sendiri. I need to be stronger at this....
10 September 2010
Lingkaran (Lebaran yang Sepi)

Aku bisa mendengar halus tarikan napasnya. Ia tergeletak kelelahan mempersiapkan penganan Idul Fitri hari ini. Sebenarnya aku juga sudah kelelahan. Sejak kemarin duet maut dengan ibu sudah menguras tenaga. Ya begitulah yang sering terjadi di keluarga kami. Hidangan lebaran yang biasanya siap di pagi hari sebelum shalat Ied, kami baru bisa selesaikan kurang lebih satu setengah jam setelah balik dari mesjid. Semua rasanya serba buru-buru. Tapi begitu makanan sudah siap, rasanya tidak adil saja melihat banyaknya waktu yang tersita demi waktu makan yang cuma sekitar sejam, weleh weleh... Tapi itulah ibu, beliau tidak pernah mengeluh, aku yang suka mengeluh.
Sebelum aku melangkah ke warnet, teman sekamar Ilham di Makassar, Hendra, datang berkunjung. Dari cerita-cerita mereka aku bisa menangkap sebuah pesan yang sebenarnya mungkin tengah menimpa diriku, atau mungkin orang lain di luar sana. "Nda tahu mau kunjungi siapa", kata Hendra. Lah, aku baru saja memikirkannya tadi pagi. Teori Lingkaran itu mungkin memang ada benarnya. Aku merasa lingkaran sosialnya perlahan mengkerut. Teman yang dulu slalu menyita waktuku di rumah, kini seperti menghilang, sibuk dengan keluarga masing-masing, urusan masing-masing, dsb dsb.
Aku juga sibuk dengan kesendirianku. Entah mengapa tiba-tiba aku jadi malas bertemu dengan orang-orang. Setelah ibadah Ied tadi, aku buru-buru meninggalkan mesjid, di mana jemaah tengok kiri kanan mencari wajah-wajah familiar. Aku malah mempercepat langkah, menghindari bertemu mata dengan teman-teman TPA semasa kecil, menyembunyikan wajah dengan sengaja menutup mulut pura-pura menghalangi debu asap kendaraan yang tidak begitu ramai saat itu.
Beberapa teman SMA yang kebetulan berkumpul di momen tahunan belum kukabari juga, kecuali mengirimkan pesan template berisi ucapan selamat hari raya. Duniaku sedang malas tapi kadang aku suka...
Anyway, I didn't mean to screw this Holy Day. Aku hanya tidak menyangka perasaan seperti ini bisa saja datang tiba-tiba. Let me 're-tweet' a tweet of Paulo Coelho, dan semoga doa-doa yang terpanjat hari ini menjadi doaku juga, Amin. Allah Bless You, Eid Mubarak, everybody...
Eid Mubarak! May Allah protect our dreams; to dream is a way of praying (Paulo Coelho, 10:44 PM Sep 8th)
4 September 2010
Jelang Lebaran Kali Ini
Hari ini hari sabtu, Rabu depan sudah lebaran. Kuliah memang belum libur, tapi hasrat mudik tidak dapat dibendung. Jadilah, sebagian kalangan mahasiswa memilih pulang kampung, menambah jatah libur yang tidak lebih seminggu. Hasrat ingin pulang itu juga menghampiriku. Aku jadi tidak konsentrasi mengerjakan tugas-tugas yang selama ini telah menahanku di Makassar.
Pada Ramadhan tahun-tahun kemarin, setiap 10 hari jelang Idul Fitri, ibu atau bapak pasti akan menelpon meminta aku pulang membantu pekerjaan rumah. Ya macam-macam, dari pel lantai, membersihkan langit-langit dari jaring laba-laba yang menjamur, cuci gorden, dan bikin kue. Kali ini aku belum menerima titah pulang. Terakhir kali ibu menelpon, ia malah bertanya “Lebaran di Bone ji to?” Aduh, sebegitu sibuknya-kah aku hingga tidak bisa melewatkan Idul Fitri di kampung sendiri?
Aku belum sempat menanyakan kabar kue-kue lebaran ibu. Mungkin sudah selesai. Beliau sangat telaten, rajin, dan punya perencanaan. Meski sudah berumur, ia masih bisa mengerjakan tugas rumah tangga sendirian. Kadang kesal juga kenapa saudaraku laki-laki semua, tidak bisa diharapkan menangani pekerjaan dapur (sorry, gentlemen).
Pada Ramadhan tahun-tahun kemarin, setiap 10 hari jelang Idul Fitri, ibu atau bapak pasti akan menelpon meminta aku pulang membantu pekerjaan rumah. Ya macam-macam, dari pel lantai, membersihkan langit-langit dari jaring laba-laba yang menjamur, cuci gorden, dan bikin kue. Kali ini aku belum menerima titah pulang. Terakhir kali ibu menelpon, ia malah bertanya “Lebaran di Bone ji to?” Aduh, sebegitu sibuknya-kah aku hingga tidak bisa melewatkan Idul Fitri di kampung sendiri?
Aku belum sempat menanyakan kabar kue-kue lebaran ibu. Mungkin sudah selesai. Beliau sangat telaten, rajin, dan punya perencanaan. Meski sudah berumur, ia masih bisa mengerjakan tugas rumah tangga sendirian. Kadang kesal juga kenapa saudaraku laki-laki semua, tidak bisa diharapkan menangani pekerjaan dapur (sorry, gentlemen).
Karena Tuhan selalu Memberi Peluang yang Sama
Tiap pagi jelang siang, saat saya masih mengumpulkan nyawa yang beterbangan selepas tidur, ia akan mengeluarkan suara penanda bahwa ia telah datang. Suaranya nyaring, tidak berteriak tapi powerful. Ia adalah penjual sayur keliling langganan ibu-ibu dan mahasiswa di sepanjang jalan sahabat dan jalan sejati di mana saya tinggal hamper lima tahun lamanya.
Saya baru sekali membeli dagangannya, saya tidak begitu familiar dengan wajahnya. Yang sepat terekam, kedua lengan dan kakinya legam tersiram matahari. Tiap kali dia berlalu di depan kosan saya, dia pasti turun dari sepeda kumbangnya, sekedar jaga-jaga siapa tahu calon pembeli terlambat memanggil. Di kepalanya setia bertengger caping pelindung ganasnya panas matahari Makassar yang makin hari makin membara. Dia tidakmengenakan celana panjang, dia memakai celana selutut lalu dibungkus dengan sarung.
Ada juga penjual ikan, jadwal berjualannya hampir menjelang tengah hari. Saya pernah beli ikan padanya waktu saya masih semangat-semangatnya masak di kosan. Mungkin karena saya yang tidak jeli memilih ikan, atau karena ikannya terlalu lama terkena sinar matahari sepanjang perjalan sang penjual, ikan yang saya masak jadinya tidak sesuai harapan, mau dibuang juga takabbur. Sejak itu saya keukeuh tidak mau lagi membeli ikan-ikan jualannya lagi. Saya merasa egois sendiri, Daeng itu sudah jauh-jauh datang dari Pampang lalu ke pelelangan ikan hingga sampai ke Tamalanrea, sementara saya untuk mendapatkan makanan tinggal keluar rumah, pilih, lalu bayar. Rasanya sangat tidak adil.
Sebut saja mereka Pak Sayur dan Daeng Penjual Ikan. Mereka tidak pernah belajar motivasi hidup, tapi jam 4 pagi sudah bergegas mencari dagangan untuk kemudian dijual kembali. Mereka tidak perlu membaca untuk tahu kenapa orang mesti mensyukuri hidup, kenapa manusia tidak boleh menyerah. Saya kasihan tiap kali salah satu dari mereka berlalu, saya bisa melihat sayur dedaunan mulai layu atau ikan-ikan mulai tidak segar.
Satu hal yang sering membuat saya tertegun, tiap kali saya bertanya mengenai persaingan dengan sesama penjual. Mereka akan selalu menjawab: Semua orang punya rezekinya masing-masing. Tiada keluhan, tiada saling sikut. Sungguh sebuah keyakinan yang telah membuat mereka bertahan dengan mata pencarian itu, meski begitu melelahkan . Peluang itu selalu ada, tinggal bagaimana mencarinya. Sebuah keyakinan yang telah membuat kulit-kulit mereka gosong, kaki-kaki mereka seperti batu-batu retak, dan sepeda kumbang andalan yang peleknya mulai bengkok.
Saya lalu teringat ucapan salah seorang senior seperti ini: “kau lihat pedagang koran di perempatan? Biar sudah sore dia tetap tawarkan korannya, biar peluangnya orang mau beli itu sedikit sekali. Tapi mereka percaya pasti akan ada yang beli.” Sementara saya, kesempatan itu jelas di pelupuk mata, saya malah membiarkannya terbang. Siapakah sebenarnya yang lebih kuat?
Tuhan tidak bisa dijangkau dengan pikiran
“Tuhan hanya memberi apa yang kita usahakan,” kata Yuyu, adik juniorku di kampus. Kata-kata ini merasuk dengan cepat seperti kecepatan cahaya. Seperti baru disambar petir. Saya jadi teringat dengan sebuah kalimat “Jika engkau berjalan selangkah ke arah Tuhan, maka Dia akan berjalan 1000 langkah ke arahmu.”
Bagaimana mau mendekat, saya belum membuat langkah apapun.
Saya baru sekali membeli dagangannya, saya tidak begitu familiar dengan wajahnya. Yang sepat terekam, kedua lengan dan kakinya legam tersiram matahari. Tiap kali dia berlalu di depan kosan saya, dia pasti turun dari sepeda kumbangnya, sekedar jaga-jaga siapa tahu calon pembeli terlambat memanggil. Di kepalanya setia bertengger caping pelindung ganasnya panas matahari Makassar yang makin hari makin membara. Dia tidakmengenakan celana panjang, dia memakai celana selutut lalu dibungkus dengan sarung.
Ada juga penjual ikan, jadwal berjualannya hampir menjelang tengah hari. Saya pernah beli ikan padanya waktu saya masih semangat-semangatnya masak di kosan. Mungkin karena saya yang tidak jeli memilih ikan, atau karena ikannya terlalu lama terkena sinar matahari sepanjang perjalan sang penjual, ikan yang saya masak jadinya tidak sesuai harapan, mau dibuang juga takabbur. Sejak itu saya keukeuh tidak mau lagi membeli ikan-ikan jualannya lagi. Saya merasa egois sendiri, Daeng itu sudah jauh-jauh datang dari Pampang lalu ke pelelangan ikan hingga sampai ke Tamalanrea, sementara saya untuk mendapatkan makanan tinggal keluar rumah, pilih, lalu bayar. Rasanya sangat tidak adil.
Sebut saja mereka Pak Sayur dan Daeng Penjual Ikan. Mereka tidak pernah belajar motivasi hidup, tapi jam 4 pagi sudah bergegas mencari dagangan untuk kemudian dijual kembali. Mereka tidak perlu membaca untuk tahu kenapa orang mesti mensyukuri hidup, kenapa manusia tidak boleh menyerah. Saya kasihan tiap kali salah satu dari mereka berlalu, saya bisa melihat sayur dedaunan mulai layu atau ikan-ikan mulai tidak segar.
Satu hal yang sering membuat saya tertegun, tiap kali saya bertanya mengenai persaingan dengan sesama penjual. Mereka akan selalu menjawab: Semua orang punya rezekinya masing-masing. Tiada keluhan, tiada saling sikut. Sungguh sebuah keyakinan yang telah membuat mereka bertahan dengan mata pencarian itu, meski begitu melelahkan . Peluang itu selalu ada, tinggal bagaimana mencarinya. Sebuah keyakinan yang telah membuat kulit-kulit mereka gosong, kaki-kaki mereka seperti batu-batu retak, dan sepeda kumbang andalan yang peleknya mulai bengkok.

Tuhan tidak bisa dijangkau dengan pikiran
“Tuhan hanya memberi apa yang kita usahakan,” kata Yuyu, adik juniorku di kampus. Kata-kata ini merasuk dengan cepat seperti kecepatan cahaya. Seperti baru disambar petir. Saya jadi teringat dengan sebuah kalimat “Jika engkau berjalan selangkah ke arah Tuhan, maka Dia akan berjalan 1000 langkah ke arahmu.”
Bagaimana mau mendekat, saya belum membuat langkah apapun.
Denting

Aku sengaja menutup wajah dengan kedua tangan, mungkinkah ia mengenali hanya dengan melihat raut tubuh yang dibungkus kain pemberiannya. Ia menarik kedua tangan itu lalu merangkulku hati-hati. Ada yang salah, baju pengantin dari kain satin itu sangat mengganggu, licin. Dan masih dalam pelukan itu telingaku mendengar anting panjang menjuntai yang ia kenakan berdentang sekian kali. Merdu ditambah bebunyian hiasan-hiasan lain, kalung, gelang, dan hiasan rambut. Mudah sekali mengenali suara perhiasan pengantin yang saling beradu.
Sepuluh tahun lalu aku bertemu dengannya. Dipertemukan di sebuah ajang pencarian siswa SMP berprestasi, kami mewakili sekolah masing-masing. Ia duduk di bangku paling depan sementara aku di belakang. Ia selalu mengatakan saat itu aku sangat cantik dengan rambut wavy-ku, sambil memainkan jari mengikuti pola spiral. Ah dia bohong, dia yang paling cantik di kelas itu.
Saat itu ia pasti tidak menyangka akan menikah sepuluh tahun ke depan. Dan saya ada di hari bahagia itu, apalagi bertindak sebagai anggota persekutuan pembawa cincin, cincin seukuran jari tengahku hadiah pernikahan untuknya.
*dan sebulan lalu aku menulis ini tapi baru bisa diposting :) Maaf telat Dwi
21 July 2010
Earthquake
"...Agni, kini kau tahu bagaimana rasanya lupa. Itu yang sedang kau lakukan padaku. Aku merasakan diri ini perlahan-lahan terkelupas dari dinding ingatanmu. Aku harus apa? Kadang aku merasa ada yang tidak beres dengan tatanan waktu. Ternyata masih banyak hal yang tidak bisa dikompromikan dengannya. Ia terasa begitu cepat namun terlalu sering ada masa yang tidak tepat. waktu tidak benar-benar berlari. Ada cinta dan benci yang datang terlambat. Tapi bukan tugas kita menyalahkan. Sekali-kali kasihanlah padanya. ia adalah makhluk yang paling tidak dipahami di dunia ini.
Tidak seharusnya menyesalkan apa yang sudah berlalu. Seperti sebuah tanya yang pernah kusodorkan: apakah kau bahagia? aku telah berani merendahkan kuasa waktu menjungkirbalikkan kehendak hati. harusnya aku beriman pada nasihat yang turut serta dalam perjalanan doa memanjati langit. pada akhirnya aku mengalah, waktu telah menjelma menjadi lem perekat paling mujarab bagi retakan hati oleh gempa emosi, yang getarkan lempengan rapuh jiwa manusia. Retakan itu telah sembuh, tapi tidak mungkin lagi melangkah di permukaan.
aku sudah bahagia memiliki rasa kehilangan ini sejak lama, Agni. Janganlah kau bawa pergi juga bersamamu. Biar itu jadi punyaku, satu-satunya yang tersisa darimu. Tidak akan kutukar dengan segala bentuk hadirmu. Aku lebih bahagia dan aku yakin, kini kau tahu rasanya bahagia tanpaku. Semoga ini jawab yang kau tunggu...(Siloh)"
cerita pendek di 20.07.10
Tidak seharusnya menyesalkan apa yang sudah berlalu. Seperti sebuah tanya yang pernah kusodorkan: apakah kau bahagia? aku telah berani merendahkan kuasa waktu menjungkirbalikkan kehendak hati. harusnya aku beriman pada nasihat yang turut serta dalam perjalanan doa memanjati langit. pada akhirnya aku mengalah, waktu telah menjelma menjadi lem perekat paling mujarab bagi retakan hati oleh gempa emosi, yang getarkan lempengan rapuh jiwa manusia. Retakan itu telah sembuh, tapi tidak mungkin lagi melangkah di permukaan.
aku sudah bahagia memiliki rasa kehilangan ini sejak lama, Agni. Janganlah kau bawa pergi juga bersamamu. Biar itu jadi punyaku, satu-satunya yang tersisa darimu. Tidak akan kutukar dengan segala bentuk hadirmu. Aku lebih bahagia dan aku yakin, kini kau tahu rasanya bahagia tanpaku. Semoga ini jawab yang kau tunggu...(Siloh)"
cerita pendek di 20.07.10
29 June 2010
Pilihanku
Big girls don't cry. Tapi tadi malam aku menangis di tengah suara ibu yang sedang menelponku. Sebenarnya ini tangisan yang terencana. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, ibu tiba-tiba bertanya tentang pilihan hidupku. Sejak aku menunjukkan tanda fisik perempuan akil balig hingga tadi malam, aku tidak pernah bercerita pada ibu tentang masalah keseharian pergaulanku. Aku sedang bertengkar dengan siapa? Aku sedang menyukai siapa? Bagiku itu adalah hal yang sensitif untuk diceritakan, khususnya kepada orang tua yang sedikit konservatif. Aku suka mengubur dalam-dalam perasaanku sendiri.
Hingga tadi malam ia bertanya. Entah, kenapa aku memaksa diri menangis. Aku bercerita seperlunya, sembari sesekali mengalihkan pembicaraan. Tembok maya pembatas perasaan ibu dan anak itu masih kokoh berdiri. Surely, I didn't see it coming. This is just too sentimental.
Hingga tadi malam ia bertanya. Entah, kenapa aku memaksa diri menangis. Aku bercerita seperlunya, sembari sesekali mengalihkan pembicaraan. Tembok maya pembatas perasaan ibu dan anak itu masih kokoh berdiri. Surely, I didn't see it coming. This is just too sentimental.
15 June 2010
Buat Emma
Tough, you think you've got the stuff
you're telling me and everyone
you're hard enough
You don't have to put up a fight
you don't have to always be right
let me take some of the punches
for you tonight
U2/sometimes you can't make it on your own
25 May 2010
Good Medicine
when you try your best but you don't succeed
when you get what you want but not what you need
when you feel so tired but you can't sleep
stuck in reverse
when the tears come streamin' down your face
when you lose something you can't replace
when you want someone but it goes to waste
could it be worse
sometimes you can't make it on your own, itu kata Bono dkk. mengapa hidup ini selalu dipenuhi kejutan? one minute you're happy, the other you were sad (kalau ini kata The Moffats). bagaimana dengan paranormal yang katanya mengetahui masa depan, adakah kejutan dalam hidup mereka?
Tuhan, aku tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan terhadap hidupku. Jika langkah ini mesti tertahan, aku akan ikhlas. Tiada yang sia-sia dengan kehendakmu, demikian juga tabungan kata-kataku selama ini. Semoga itu tidak menjadi doa, karena aku tidak mungkin mengharapkan keadilanmu. Ampunilah jika aku begitu. Izinkan aku mengiba kasih sayangmu. Aku tidak butuh surgamu, aku hanya ingin Engkau cinta. Sambutlah aku, pendosa yang hanya datang saat butuh, mengingatmu dengan malas hanya pada ujung malam, yang terhijabi oleh kebodohan.
Lights will guide you home
and ignite your bones
I will try to fix you...
when you get what you want but not what you need
when you feel so tired but you can't sleep
stuck in reverse
when the tears come streamin' down your face
when you lose something you can't replace
when you want someone but it goes to waste
could it be worse
sometimes you can't make it on your own, itu kata Bono dkk. mengapa hidup ini selalu dipenuhi kejutan? one minute you're happy, the other you were sad (kalau ini kata The Moffats). bagaimana dengan paranormal yang katanya mengetahui masa depan, adakah kejutan dalam hidup mereka?
Tuhan, aku tidak tahu apa yang sedang kau rencanakan terhadap hidupku. Jika langkah ini mesti tertahan, aku akan ikhlas. Tiada yang sia-sia dengan kehendakmu, demikian juga tabungan kata-kataku selama ini. Semoga itu tidak menjadi doa, karena aku tidak mungkin mengharapkan keadilanmu. Ampunilah jika aku begitu. Izinkan aku mengiba kasih sayangmu. Aku tidak butuh surgamu, aku hanya ingin Engkau cinta. Sambutlah aku, pendosa yang hanya datang saat butuh, mengingatmu dengan malas hanya pada ujung malam, yang terhijabi oleh kebodohan.
Lights will guide you home
and ignite your bones
I will try to fix you...
5 May 2010
Sunburnt
Tuhan, kaulah yang tahu apa yang tidak dapat diungkap oleh lidahku
engkau lihat apa yang kusaksikan
kaulah yang paham kenapa satu demi satumimpi-mimpiku hangus terbakar
kau tahu di mana kaki gunung es yang telah kucari selama ini
aku selalu alpa memujimu, aku melupakanmu sepanjang hari
sementara, bibir ini hanya bisa meminta maaf dengan malas
di ujung lelah sebelum meninggalkan malam
kau memintaku agar tidak putus asa
tapi aku lebih percaya pada dunia di kepalaku
that dreams dont belong here, in this world
janganlah lama-lama meninggalkanku, Tuhan
tolonglah aku dari himpitan palung jiwa ini
engkau lihat apa yang kusaksikan
kaulah yang paham kenapa satu demi satumimpi-mimpiku hangus terbakar
kau tahu di mana kaki gunung es yang telah kucari selama ini
aku selalu alpa memujimu, aku melupakanmu sepanjang hari
sementara, bibir ini hanya bisa meminta maaf dengan malas
di ujung lelah sebelum meninggalkan malam
kau memintaku agar tidak putus asa
tapi aku lebih percaya pada dunia di kepalaku
that dreams dont belong here, in this world
janganlah lama-lama meninggalkanku, Tuhan
tolonglah aku dari himpitan palung jiwa ini
14 April 2010
Blackout
Taken from Absolution, better listened in the dead of night ;)
don't kid yourself
and don't fool yourself
this love's too good to last
and i'm too old to dream
don't grow up too fast
and don't embrace the past
this life's too good to last
and i'm too young to care
don't kid yourself
and don't fool yourself
this life could be the last and we're too young to see

and don't fool yourself
this love's too good to last
and i'm too old to dream
don't grow up too fast
and don't embrace the past
this life's too good to last
and i'm too young to care
don't kid yourself
and don't fool yourself
this life could be the last and we're too young to see
Subscribe to:
Posts (Atom)