Showing posts with label cerita pendek. Show all posts
Showing posts with label cerita pendek. Show all posts

11 June 2011

Jarak

ada saat jarak kita bersentuhan, kau di sana, aku di sini mengikat punggungmu dengan tatapan tanpa henti sedari tadi. apa kau merasakan jarak aman itu beririsan. Aku dapat merasakannya saat engkau makin menjauh, entah dengan beberapa langkah yang kau ambil atau dengan adegan verbal maupun non-verbal memagari ruang gerakmu dariku.


Ingatkah kau ketika kita menengadah ke langit hingga leher kita sakit memandangi ledakan kembang api di ujung desember. Kau bertanya kenapa semburannya berbentuk lingkaran, kenapa bukan persegi, oval, atau segitiga. Lalu kau menjawab sendiri, mungkin itu adalah pola alam yang tidak bisa diinterupsi manusia. Ingat jugakah kau saat malam tahun baru kau bersedih karena langit ternyata menumpahkan hujan air, bukan hujan bunga-bunga kembang api.


Aku merindukan suara gemuruh ledakan kembang api itu. mendengarnya aku sejenak tersadar dari lamunan tidak henti-hentinya tentangmu. Dentuman yang menciptakan hening sesaat dari ributnya tawa gelimu, dan bius bagi perihnya senyum itu mengiris hatiku. Ledakannya serupa lampu merah yang berhak menahan bayang-bayangmu berlalu lalang di kepala.


Saat kita bersama, waktu terasa berjalan seiring seirama, jam di handphone-mu selaras di handphone-ku, selalu menunjukkan angka yang sama. Engkau dan aku sama-sama merasakan relativitasnya waktu, melambat kala rindu mendera dan bergerak cepat saat menghabiskan waktu. Masihkah kau merasakannya, ataukah konsep waktu kita sudah berkebalikan? Kau jengah dengan pertemuan ini, waktu bagimu melambat, lalu berharap segera berlalu. Relativitas itu sudah tidak berlaku. Jarum jamku berputar ke arah kanan, sementara milikmu telah berputar ke arah kiri. Bukan lagi harmoni yang terdengar, tapi bunyi-bunyian yang bertabrakan karena nada perputaran waktu kita sudah tidak serentak.


Tatapanku pun makin lemah mengikatmu, kau beranjak tanpa menoleh. Tiada keraguan dalam setiap inci langkahmu. Aku membalikkan badan, dua lingkaran jarak kita pun menjauh. Kau telah mematahkan sayap-sayap rinduku padamu. Perlahan aku akan mencintai jarak itu, rindu tanpa harus menyatu. Karena dalam jarak yang meluruh pun saat bersamamu, aku tetap akan menutup mata, agar dapat kucipta dan kurasakan lingkaran jarakmu menyentuh jarakku.

10 February 2011

Bianglala (bab tengah)


Tidak ada yang peduli saat bulan terbit atau tenggelam, sebagian orang menganggapnya biasa-biasa saja. Dan perlahan aku pun menyadari aku seperti bulan itu, tidak penting.

Aku mencintai orang yang salah. Di film-film, mereka menyebut ini sebagai bentuk cinta yang paling kejam. Lelaki yang tidak sanggup mengucap selamat tinggal hanya karena tidak ingin dianggap buruk. Tahukah dia, bahkan Tuhan pun memberi peluang pada kita untuk berbohong. Jika Ia menginginkan para hamba jujur, mengapa ada rahasia di dunia ini. Bahkan kebaikan pun bisa menyebabkan kejahatan yang mahabesar. Mungkin karena itu Tuhan menyembunyikan hati di balik tubuh manusia. Tidak mengetahui sesuatu yang sebenarnya bisa membuatmu lebih tenang. Ingin kucongkel keluar hatinya, tapi bagaimana ia akan merasakan cinta orang-orang yang mengasihinya? Ingin sekali aku melihat sorot matanya saat itu supaya bisa kulihat caranya merangkai kebohongan.

Hujan tidak pernah datang dan pergi diam-diam, tidak seperti salju di negeri-negeri utara yang sering dia ceritakan, yang langitnya sudah begitu ramai hingga kita sudah tidak bisa membedakan bintang dengan pesawat yang kebetulan berlalu. Kau tahu kepergian terburuk adalah tanpa pamit. Selama itu aku berusaha baik, menghormati ingatan tentangnya dengan tidak memaksa memberi jawab yang memang tidak pernah berani kutanyakan. Aku mencarinya sendiri, tanganku sampai berdarah-darah mengeruk-ngeruk waktu yang menyimpan semua jawab yang kumau. aku tidak punya peta kecuali keheningan yang ia tinggal hingga membuat waktu berjalan sangat lamban. dan Dalam setahun ini, aku sudah bisa membedakan dan hapal mana hujan yang datang sejenak, mana yang akan bertahan 2 hingga 3 hari, dan kapan hujan yang terputus-putus, reda sejenak, seperti orang yang sedang menangis, diam tiba-tiba hujan lagi.

Sejak kecil aku dibuat percaya, bahwa bahkan daun tidak akan jatuh tanpa izinNya. Dan ada yang bilang jika engkau menganggap hidupmu adalah tragedi dan musibah, maka Tuhan akan memberi ganjaran akan kesabaranmu di kehidupan selanjutnya. Engkau akan menjadi orang yang tertawa memandang mereka yang selalu kau cemburui di dunia karena selalu meraih apa yang mereka mau, ujung-ujungnya tidak mendapatkan apa-apa. Kata ibuku, mereka tidak bisa menuntut apa yang sudah Tuhan berikan.

Beberapa orang percaya hidup bisa ditaklukkan, yang lain mendapat peran sebagai penunggu. Aku ingin melupakannya, bahkan rasa kehilangan itupun aku mau lupa. Ingatan kadang bisa menjelma menjadi bumerang*. Kau melemparnya sekuat tenaga sejauh mungkin, namun pada akhirnya pasti akan kembali ke arahmu. Ingatan tentangnya tidak sampai berlembar-lembar, namun ketika dihantamkan ke wajahku, itu sangat menyakitkan. Sayangnya saat itu tidak ada cermin tepat di hadapanku sehingga aku bisa sejenak lupa sakit, menertawai kepura-puraan yang setia menghuni wajahku.

*sebuah dialog dalam film Little Black Book starring Brittany Murphy

Bianglala (bag.II)


Aku memutuskan pulang meski diantar tatapan mengejek sang penjaga bianglala. Aku mengutuk dalam hati, semoga hujan segera turun. Kau tidak pernah ragu pulang, karena kau sudah hapal arahnya hingga tidak akan tersesat. perjalanan pulang terasa lebih singkat dibanding saat engkau meninggalkannya.

Mataku tidak lepas dari kaca mobil angkot bagian belakang yang menyuguhkanku pemandangan jalanan yang masih basah. Aku sengaja memilih duduk di pojok, tempat favoritku di mana aku bisa memandang strategis ke mana pun aku mau. Kutukanku ternyata bekerja, hujan mulai turun membentuk cincin-cincin air di permukaan beton berlapis aspal.

Dalam kisah sang alkemis , ada sebuah kisah tentang raja salem yang perisai dadanya terbuat dari emas. Raja salem yang bijak. Ia tidak ragu mengubah dirinya menjadi batu bergulir ketika seorang pencari batu mulia mulai lelah dengan pencariannya. keletihan membuatnya menyerah padahal ia tidak tahu hanya perlu sekali kais lagi ia menemukan apa yang ia cari. Raja Salem sangat gemas. Ia mengubah dirinya menjadi batu berlian itu lalu menggelinding ke kaki sang pencari itu.

Aku penasaran apakah Raja Salem benar-benar ada dan kapan ia akan menjadi batu yang menggelinding ke arahku. Sekedar untuk menyadarkan tidak ada yang sia-sia dengan kesungguhan dan ketulusanku dan bilakah sudah saatnya aku harus berhenti mencari.

Hujan makin deras menerjang, sopir angkot sambil mengomel menyuruh kami merapatkan jendela mobilnya yang sulit tertutup. Mobil melaju mengurangi kecepatan, genangan air yang belum juga surut, makin menjadi-jadi. Aku menopang dagu, memandang jalan yang sudah mulai kabur oleh derasnya hujan, hanya lampu mercuri yang bisa menerobosnya. aku berusaha mengenali hujan riuh ini, ketika tiba-tiba samar-samar kudengar handphone ku berbunyi. Tidak ada satupun penumpang yang terganggu atau menyadarinya, semua resah terjebak di kotak berjalan berwarna biru muda. Aku meraih dari kantong jeans hitamku yang mulai pudar. Mendadak Aku merasakan hujan darah di dalam tubuhku kala melihat nama yang tertera di layarnya. Perutku tanpa menunggu perintah bergejolak lagi.

Nada deringnya masih mengalun berbaur dengan anggukan ritmis penumpang di depanku dengan headset di telinga, kakinya mengentak-entak pelan tapi tidak seribut kaki hujan yang menginjak-injak angkot ini yang mulai seirama dengan detak jantungku. Entah dari mana datangnya, aku merasa sesuatu merayapi hati. Sejenak aku mau percaya dengan tulus ada hal yang memang layak terjadi di dunia ini, tanpa harus menunggu datangnya kehidupan lain. aku mengenali hujan ini. Nama itu masih berkedip-kedip seperti mengetuk-ngetuk layar monokromku. Aku menarik napas… hujan tampaknya tidak akan berhenti sampai pagi.

21 July 2010

Earthquake

"...Agni, kini kau tahu bagaimana rasanya lupa. Itu yang sedang kau lakukan padaku. Aku merasakan diri ini perlahan-lahan terkelupas dari dinding ingatanmu. Aku harus apa? Kadang aku merasa ada yang tidak beres dengan tatanan waktu. Ternyata masih banyak hal yang tidak bisa dikompromikan dengannya. Ia terasa begitu cepat namun terlalu sering ada masa yang tidak tepat. waktu tidak benar-benar berlari. Ada cinta dan benci yang datang terlambat. Tapi bukan tugas kita menyalahkan. Sekali-kali kasihanlah padanya. ia adalah makhluk yang paling tidak dipahami di dunia ini.

Tidak seharusnya menyesalkan apa yang sudah berlalu. Seperti sebuah tanya yang pernah kusodorkan: apakah kau bahagia? aku telah berani merendahkan kuasa waktu menjungkirbalikkan kehendak hati. harusnya aku beriman pada nasihat yang turut serta dalam perjalanan doa memanjati langit. pada akhirnya aku mengalah, waktu telah menjelma menjadi lem perekat paling mujarab bagi retakan hati oleh gempa emosi, yang getarkan lempengan rapuh jiwa manusia. Retakan itu telah sembuh, tapi tidak mungkin lagi melangkah di permukaan.

aku sudah bahagia memiliki rasa kehilangan ini sejak lama, Agni. Janganlah kau bawa pergi juga bersamamu. Biar itu jadi punyaku, satu-satunya yang tersisa darimu. Tidak akan kutukar dengan segala bentuk hadirmu. Aku lebih bahagia dan aku yakin, kini kau tahu rasanya bahagia tanpaku. Semoga ini jawab yang kau tunggu...(Siloh)"

cerita pendek di 20.07.10

27 April 2010

My Friend's getting married

You'll never know how time do your life. Maaf kalo tata bahasanya salah. saya hendak berkata, betapa waktu sanggup menyimpan ragam misteri dan kejutan tak terduga. Waktu mampu melunakkan badai, apapun (walau Amy Lee berkata 'there's just too much that time can not erase'. Dengan adanya waktu, Tuhan ingin perlihatkan betapa hati manusia dapat berubah, entah itu butuh waktu lama ataupun dalam hitungan kedipan jantung.

Salah seorang teman SMA, yang dulunya tidak begitu akrab, mengabariku bahwa ia akan segera menikah. Saya pernah agak sakit hati waktu ia tidak mau menerima ucapan selamat ulang tahun dariku. Pengalaman itu sudah aus oleh waktu, kini saya senyum-senyum saja jika mengingatnya. Ya, bagaiamana pun, kenangan lebih indah dalam ingatan.

I didn't know what time hide from me. Saya tidak tahu apa yang disembunyikan oleh waktu, hingga saat saya bertemu lagi setelah kurang lebih enam tahun tidak bersua. Kami bisa akrab, persis teman lama yang tidak pernah bertemu. Semoga saya bisa menghadiri pernikahannya, Mei ini

22 April 2010

horizon

dirimu seperti malam yang menelan matahari
dengan lahap engkau habiskan sedihku yang berlimpah-limpah

11 April 2010

Kamar Pengantin

Wajahmu mirip Nia Ramadhani yang populer itu. Aku baru sadar kau mirip dengan dia kala melihat salah satu foto close up dirimu. Foto ukuran 2R berbingkai hijau. Rambutmu panjang tergerai. Mata dan hidungmu? Aku yakin waktu pembagian dua indera itu, kau dan dia mendapatnya bersamaan.

di sebelah foto itu ada dua jam pasir kecil berdampingan, pasirnya warna hijau. Di rak bawahnya sejajar bahuku, ada jam alarm dengan model unik yang tidak pernah kulihat sebelumnya, warna hijau. Tepat di sebelahnya lagi, ada mainan -pasti bukan milikmu- warnanya juga hijau. semuanya hijau. Di sana, beberapa meter di hadapanku, engkau juga berwarna hijau. Eh, maksudku, baju pengantin yang kini bungkus tubuhmu.

Aku terpaku melihatmu duduk mengipas-ngipas wajah. Sesekali tanganmu yang dilukis pacar menghapus keringat di wajahmu yang kini dibalut make up mahal. Dikelilingi ibu pengantin dan kongsi tante, engkau menanti kedatangan seorang lelaki yang tidak pernah kukenal. Di sini, aku juga sedang menunggu sampai engkau sadar aku datang.

Akhirnya lirikan itu milikku. Tapi astaga, bola matamu juga jadi hijau. Kau tersenyum, tepatnya senyum heran campur kaget, kenapa aku bisa ada di sini. Lalu dengan manja kau hantam aku dengan kipas dari kayu cendana. Sedikit tanyamu, sedikit juga jawabku. Ya ampun, kukira waktu kan hapus semua luka yang kita gores bersama. Tidak cukup tahun aku menata waktu hingga menjadi angin ribut yang sanggup runtuhkan bangunan egomu.

Hatimu tetap terbalik seperti terakhir kali kau pergi. Kau kini adalah karet gelang kehilangan daya elastis. Sikapmu tidak bisa kembali ke posisi normal yang kudamba selama ini. Senyummu kaku, tapi mungkin karena lipstik tebal itu begitu mengganggu. Dan meski begitu, parasmu masih seperti Nia Ramadhani. Ingin rasanya aku memajang foto perempuan itu berdampingan dengan fotomu, agar kau dan yang lain yakin sepertiku, tidak ada bedanya antara kau dan dia.

Begitulah, lalu kau berpaling lagi. Sebenarnya aku ingin memotret kita berdua, tapi aku terlalu malu meminta pada orang-orang di kamar pengantinmu. Aku hanya memandangi konde serta bando berkilauan tertanam di sanggulmu. Tidak ada tanda-tanda engkau akan menoleh, apalagi meminta tinggal sampai lelaki itu datang menjemput. Jadi kuhirup saja udara di ruangan ini, sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya. Suatu saat kelak, aroma ini sudah kukenal. Tiap kali aroma ini hinggap di hidungku, aku bisa mengenang masa ini.

Aku melangkah keluar berbaur dengan undangan lain. Genderang tiba-tiba ditabuh dari kejauhan. Dentumannya tidak cukup kuat runtuhkan gumpalan kecewa yang kubawa-bawa sejak keluar dari kamar itu. Selang berapa detik, kecapi dan biola mengambil alih. Lelaki yang tidak pernah kau kenalkan itu sudah datang. Seorang ibu lalu lalang dari tadi. Perempuan gelisah ini adalah ibumu. Ingatkah kau, dia tidak terima aku pernah menyakitimu. Sepertinya dia masih tidak terima kenapa aku hadir di pesta ini.

Undangan di sebelahku tidak berhenti merokok. Ia tidak sadar, bajuku jadi bau asap. Ingin aku menegur, tapi lagi-lagi aku malu menegur orang yang tidak kukenal. Kutebarkan pendangan mencari sepenggal wajah yang mungkin kukenal. Tidak ada. Semua larut dalam khidmat ikrar yang diucapkan oleh lelaki yang tidak pernah kau kenalkan itu.

Aku melihat mayamu tertempel di dinding, engkau termenung menunggu. Cuaca sedang cerah, jadi bayang dari LCD itu tidak begitu jelas. Mataku lalu menerobos kaca jendela mencari-carimu, namun sia-sia.

Itu dia, akhirnya aku melihat lelaki yang tidak pernah kau kenalkan itu. Tubuhnya juga berwarna hijau sepertimu, tapi matanya tetap hitam. Sejurus kalian berdiri menyambut tamu, berfoto bersama karena ditawari ibumu. Aku tidak paham, sedari tadi aku di sini, ia tidak sekalipun memberi sapa. Tadi aku membawa senyum dari rumah, kusiapkan khusus buat foto kita hari ini. Tapi senyum itu diambil ibumu lalu dirobek-robek. Ia menancapkan kerangkeng baja setiap kali ia melangkah. Kau tidak bisa kujangkau.

Aku pulang dengan kekecewaan yang bertambah. Kau terlalu sibuk hari ini hingga perasaanku ini bukanlah sebuah masalah. Aku harap kau bisa melihatnya di sorot mataku, saat foto kita sudah tercetak. Kalau kau atau ibumu itu tidak mau menempelnya di album pernikahanmu yang megah, tidak masalah. Memalukan memang, aku satu-satunya undangan yang tidak memakai alas kaki saat difoto.

Aku hanya minta foto itu kau pasangi bingkai hijau lalu kau pajang berdampingan dengan fotomu yang mirip Nia Ramadhani itu. Tapi maukah kau?