Wajahmu mirip Nia Ramadhani yang populer itu. Aku baru sadar kau mirip dengan dia kala melihat salah satu foto close up dirimu. Foto ukuran 2R berbingkai hijau. Rambutmu panjang tergerai. Mata dan hidungmu? Aku yakin waktu pembagian dua indera itu, kau dan dia mendapatnya bersamaan.
di sebelah foto itu ada dua jam pasir kecil berdampingan, pasirnya warna hijau. Di rak bawahnya sejajar bahuku, ada jam alarm dengan model unik yang tidak pernah kulihat sebelumnya, warna hijau. Tepat di sebelahnya lagi, ada mainan -pasti bukan milikmu- warnanya juga hijau. semuanya hijau. Di sana, beberapa meter di hadapanku, engkau juga berwarna hijau. Eh, maksudku, baju pengantin yang kini bungkus tubuhmu.
Aku terpaku melihatmu duduk mengipas-ngipas wajah. Sesekali tanganmu yang dilukis pacar menghapus keringat di wajahmu yang kini dibalut make up mahal. Dikelilingi ibu pengantin dan kongsi tante, engkau menanti kedatangan seorang lelaki yang tidak pernah kukenal. Di sini, aku juga sedang menunggu sampai engkau sadar aku datang.
Akhirnya lirikan itu milikku. Tapi astaga, bola matamu juga jadi hijau. Kau tersenyum, tepatnya senyum heran campur kaget, kenapa aku bisa ada di sini. Lalu dengan manja kau hantam aku dengan kipas dari kayu cendana. Sedikit tanyamu, sedikit juga jawabku. Ya ampun, kukira waktu kan hapus semua luka yang kita gores bersama. Tidak cukup tahun aku menata waktu hingga menjadi angin ribut yang sanggup runtuhkan bangunan egomu.
Hatimu tetap terbalik seperti terakhir kali kau pergi. Kau kini adalah karet gelang kehilangan daya elastis. Sikapmu tidak bisa kembali ke posisi normal yang kudamba selama ini. Senyummu kaku, tapi mungkin karena lipstik tebal itu begitu mengganggu. Dan meski begitu, parasmu masih seperti Nia Ramadhani. Ingin rasanya aku memajang foto perempuan itu berdampingan dengan fotomu, agar kau dan yang lain yakin sepertiku, tidak ada bedanya antara kau dan dia.
Begitulah, lalu kau berpaling lagi. Sebenarnya aku ingin memotret kita berdua, tapi aku terlalu malu meminta pada orang-orang di kamar pengantinmu. Aku hanya memandangi konde serta bando berkilauan tertanam di sanggulmu. Tidak ada tanda-tanda engkau akan menoleh, apalagi meminta tinggal sampai lelaki itu datang menjemput. Jadi kuhirup saja udara di ruangan ini, sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya. Suatu saat kelak, aroma ini sudah kukenal. Tiap kali aroma ini hinggap di hidungku, aku bisa mengenang masa ini.
Aku melangkah keluar berbaur dengan undangan lain. Genderang tiba-tiba ditabuh dari kejauhan. Dentumannya tidak cukup kuat runtuhkan gumpalan kecewa yang kubawa-bawa sejak keluar dari kamar itu. Selang berapa detik, kecapi dan biola mengambil alih. Lelaki yang tidak pernah kau kenalkan itu sudah datang. Seorang ibu lalu lalang dari tadi. Perempuan gelisah ini adalah ibumu. Ingatkah kau, dia tidak terima aku pernah menyakitimu. Sepertinya dia masih tidak terima kenapa aku hadir di pesta ini.
Undangan di sebelahku tidak berhenti merokok. Ia tidak sadar, bajuku jadi bau asap. Ingin aku menegur, tapi lagi-lagi aku malu menegur orang yang tidak kukenal. Kutebarkan pendangan mencari sepenggal wajah yang mungkin kukenal. Tidak ada. Semua larut dalam khidmat ikrar yang diucapkan oleh lelaki yang tidak pernah kau kenalkan itu.
Aku melihat mayamu tertempel di dinding, engkau termenung menunggu. Cuaca sedang cerah, jadi bayang dari LCD itu tidak begitu jelas. Mataku lalu menerobos kaca jendela mencari-carimu, namun sia-sia.
Itu dia, akhirnya aku melihat lelaki yang tidak pernah kau kenalkan itu. Tubuhnya juga berwarna hijau sepertimu, tapi matanya tetap hitam. Sejurus kalian berdiri menyambut tamu, berfoto bersama karena ditawari ibumu. Aku tidak paham, sedari tadi aku di sini, ia tidak sekalipun memberi sapa. Tadi aku membawa senyum dari rumah, kusiapkan khusus buat foto kita hari ini. Tapi senyum itu diambil ibumu lalu dirobek-robek. Ia menancapkan kerangkeng baja setiap kali ia melangkah. Kau tidak bisa kujangkau.
Aku pulang dengan kekecewaan yang bertambah. Kau terlalu sibuk hari ini hingga perasaanku ini bukanlah sebuah masalah. Aku harap kau bisa melihatnya di sorot mataku, saat foto kita sudah tercetak. Kalau kau atau ibumu itu tidak mau menempelnya di album pernikahanmu yang megah, tidak masalah. Memalukan memang, aku satu-satunya undangan yang tidak memakai alas kaki saat difoto.
Aku hanya minta foto itu kau pasangi bingkai hijau lalu kau pajang berdampingan dengan fotomu yang mirip Nia Ramadhani itu. Tapi maukah kau?
2 comments:
menurutku, yang menulis inilah yg mirip nia ramadhani.. :-)
hehehe, jauhnya kak, hidungnya Nia Ramadhani tiga kali hidungku, hehehe
(yang penting bisa bernafas, astagfirullah)
makasih sudah berkunjung, River's Dad
Post a Comment