30 January 2010

Jaring Laba-laba

Di sudut jalan sulawesi, kota berangin Sengkang, di sebuah warnet, di depan layar datar 17 inci, aku terpaku tak beranjak selama kurang lebih dua jam. Apa yang sebenarnya kucari di balik 'pintu ke mana saja' ini? Belajar tidak, kerja laporan tidak, hanya membolak-balik halaman maya, tidak jelas ke mana arahnya. Tersiksa aku lelah harus meluangkan waktuku untuk mereka yang bahkan tidak mengenalku.

Selasa lalu, Fera teramat bahagia melihat Corby Black-nya sudah bisa fesbukan. Segera setelah itu, ia beli nomor seluler baru demi mendukung kelancarannya berinteraksi dengan teman-teman yang mulai jarang ia temui. Aku bisa memahami hal ini, Fera adalah seorang karyawan eight to five, bekerja di kantor dari jam delapan hingga jam lima, bisa lebih kalau lembur.Saya pernah merasakan kondisi kerja yang ia mesti lalui tiap hari(tiba di Sengkang, saya tidak langsung ke kosan, singgah dulu di kantor, menunggu ia selesai bekerja). Duduk, melayani konsumen, mengangkat telpon, mencatat pemasukan, mencetak kwitansi, menatap perputaran detik di dinding kantor.

Bisa mengetahui kondisi jagad fesbuk di telapak tangannya, dengan sedikit sentuhan ke atas atau ke bawah pada layar hapenya, adalah kebahagiaan buat Fera. Ia bisa melupakanku ketika ia sudah terhubung ke dunia lain. Tapi sekali lagi, ini bukanlah sesuatu yang harus dimasalahkan atau ditertawakan. Aku menyayangi Fera, temanku melewati sedih dan senang.

Sebenarnya aku memaksakan diri datang ke warnet. Sekalian berjemur setelah dua hari terbenam di kasur. Lihatlah aku, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Di dunia maya, rutinitas fesbuk sudah perlahan kukurangi, status sudah jarang diperbarui, cek email juga tidak begitu mendesak karena paling isinya notifikasi dari fesbuk. Aku hanya tidak ingin menjadikan fesbuk sebagai sebuah kebutuhan baru yang menyiksa jika tidak terpenuhi, seperti rasa lapar. Aku tidak ingin rasa butuh itu beranak menjadi kebutuhan-kebutuhan lain lagi, kegelisahan-kegelisahan baru yang sebaiknya kucegah saja hari ini.

Ingin seperti Taylor Swift

Kalau bukan karena menetap di kamar kos Fera, tentu saya tidak akan begitu tertarik dengan Taylor Swift. Teori bahwa audience bisa tertarik jika dicekoki hal yang sama setiap hari, tampaknya bekerja pada diri saya. Semakin sering dilihat, semakin saya dibuat peduli (hahaha, ini teori siapa ya?)

Sebelumnya apa yang saya ketahui soal Taylor kecuali pernah 'dilecehkan' oleh Kanye West di pergelaran MTV VMA tahun lalu? Mmm...tidak begitu banyak. Melihat Taylor yang masih muda sudah merilis dua album dan di-follow oleh 2,5 juta user twitter, mengingatkan saya pada sosok populer Avril Lavigne saat pertama-pertama muncul di MTV, ketika itu saya masih SMA, saat kehebohan anti-Britney (begitulah media mencap Avril) melanda dan mengiang-ngiang hingga di tembok sekolah saya juga. Omong-omong, saya adalah penggemar lagu-lagu Av hingga hari ini (harap dicatat, lagunya, bukan tampilannya).

Kembali ke Taylor, hampir tiap hari di hadapan TV, tepatnya di Channel V saya disuguhkan tampilan si ikal pirang Taylor menyandang gitar akustik mengiringi lagu ciptaannya sendiri, semisal "You Belong With Me", "Fifteen", atau "Tim McGraw". Secara vokal, tidak ada yang istimewa, tipikal penyanyi dataran benua Amerika kebanyakan. Lalu apa yang membuat saya terpaku, menunda pekerjaan, tiap kali mendengar lagu Taylor?

Mungkin karena liriknya yang sangat jujur. Mendengar lagu Taylor seperti membaca diari seseorang. Ya, diari yang dilagukan. Diari seorang remaja belasan tahun menuju dewasa. Saya suka dengan kepolosan dan...kejujuran itu tadi. Taylor seperti seorang teman yang menyenangkan untuk diajak berbagi cerita. Ia bisa merefleksikan pengalaman dan renungan pribadinya pribadinya (dan teman-temannya) ke dalam lagu sederhana yang indah dan tidak membosankan.

Mendengarnya, anda bisa saja langsung mengidentikkan liriknya dengan diri anda. Inilah kekuatan Taylor, ia punya cara untuk mendekatkan diri dengan fansnya, atau menghipnotis penonton-bukan-fans seperti saya menjadi suka padanya. Oh, Taylor, belajar ilmu sihir di mana?

Saya ingin mengambil sedikit ilmu 'jujur' dari dirinya, ilmu menulis, ilmu membuat diari, seandainya bisa. Karena sekarang saya sedang dilanda malas, malas untuk jujur pada diri sendiri, malas mencatatkan sejarah hidup saya sendiri ke dalam lembaran bergaris. Karena dia berkata pada lagunya, today was a fairytale...

21 January 2010

Nonton (Lagi) The Lord of The Ring

Saya merasakan rutinitas yang berbeda selama berada di Sengkang selama dua minggu kemarin. Fera, teman masa SMA menjadi tempat berlabuh sebelum live in di rumah warga. Kamar kos itu kurang lebih seukuran kamar kos saya di Makassar. Di tempat itu saya bisa merasa tenang, betah berlama-lama. Tidak seperti suasana kamar sendiri yang bikin tidak betah dan selalu ingin keluar.

Di Makassar, boleh saja saya selalu menjauhi TV. Tapi, di kota berangin Sengkang ,jika sedang tidak ada kegiatan TV 21 inch milik Fera menyala hampir 24 jam. Akulah yang memegang 'kuasa' remote control. Saya tidak akan menonton berita, infotainment, siaran religi, dan reality show. Saya hanya akan menonton film, saluran musik, dan comedy show (kentara kan minded saya seperti apa? hehehehe).

Namun, tidak selalu yang kita idealkan bisa terwujud. saluran film yang ada (Lotus Macau), subtitlenya huruf kanji a.k.a. bahasa mandarin, saluran musiknya juga punya Cina yakni Channel V Chinese. Ya sudah, tidak mengapa, asalkan bisa memahami sedikit-sedikit gerak bibir penutur di film yang ditayangkan, daripada nonton reality show, hehehe.

Selama dua minggu itu, Lotus Macau telah mengulang trilogi The Lord Of the Ring (TLOTR) sebanyak tiga kali. satu hari, satu seri. Saya geregetan dan gemas sendiri. Belum pernah saya menonton trilogi ini secara utuh. Kini, pada saat ingin menyaksikan utuh, eh, terhambat di subtitle. Tapi sekali lagi, daripada mubazir tidak ada yang nonton, mending menebak-nebak makna tiap dialognya saja.

Mungkin saya termasuk ketinggalan dalam merasakan dan mengalami 'kedigdayaan' film ini. Tapi tidak perlu digdaya, kan, sebuah film layak ditonton? Dari dulu saya menyukai akting Elijah Wood, sejak melihat perannya sebagai Oliver Twist atau Flipper di ANTV.

Adegan-adegan heroik hampir ada di tiap film, di mana kebaikan mengalahkan kejahatan, kesabaran akan berbuah manis, dsb. Namun ada yang menggelitik hati saya melihat Frodo yang memilih bertualang bersama kaum Elf di akhir cerita, daripada hidup tenteram damai bersama saudara-saudaranya di kampung Shire. Juga tidak kalah mengharukannya bagi saya, sosok Arwen yang memilih kehidupan mortal sebagai jalan hidupnya demi hidup bersama Aragorn.

Jika Lord Elrond meminta Arwen melakukan perjalanan ke Undying Land, pulau keabadian, di mana tidak ada kematian di sana, maka Gandalf the White tidak ragu dengan kematian. Kematian hanyalah sebuah fase perjalanan hidup yang harus dihadapi oleh setiap manusia, kata Gandalf kepada Pippin Took, Hobbit yang takut luar biasa kala pasukan Sauron mulai mendobrak benteng terakhir kota Minas Tirith.

Kebaikan memang pada akhirnya akan menang, seperti kata Samwise Gamgee, if we keep holding on to something. Berpegang pada apa? That there is good in this life, Mr. Frodo. Sebuah kalimat yang bagi saya adalah klise, sesuatu yang telah kita pahami bersama. Namun adakah jawaban lain untuk pertanyaan Frodo itu? Ataukah memang hanya ada satu jawaban untuk setiap hal yang kita perjuangkan. Tapi satu saja yang pasti, saya belum nonton film ini secara utuh. Hufh!!!

17 January 2010

B D O

Judul di atas adalah singkatan dari Big Day Out, salah satu festival musik tahunan terbesar di benua Australia. Pertama kali mendengarnya sejak kelas tiga SMP lewat majalah HAI bercover Chris Martin nya Coldplay yang kala itu menjadi salah satu pengisi acara. BDO lebih dahulu saya kenal jauh sebelum Glastonbury.

Saya senang dengan konser. Tapi selama hidupku belum pernah saya melihat konser besar, meski pada akhir 2005 di Makassar digelar soundrenalin. Belum terlalu menarik minatku waktu itu. Konser, sebuah konsumsi musik yang belum bisa kunikmati hingga hari ini.

Tahun ini pernah terbetik niat menyisihkan uang agar kelak sudah cukup saya bisa bertandang ke ibukota menyaksikan penampil-penampil dari benua seberang Asia. Niat ini sudah saya susutkan sedemikian rupa dari niat awal yang jauh lebih besar, berada di Glastonbury, V Festival, Reading Festival, Rock AM Ring, Rock IM Park, dan Big Day Out.

Pertangahan Januari ini, Big Day Out diadakan kembali. Oktober tahun lalu saya hanya bisa membayangkan berada di sana. Hari ini pun saya masih tetap hanya membayangkannya saja.

16 January 2010

A little prayer

Life doesn't always go our way. Hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan dan rancangan-rancangan kita. God is the best planner, the best designer.

Aku teringat dengan doaku semalam, sebelum mengakhiri hubungan dengan malam. Aku sering bingung memilih di antara dua lafal ini:
1. Tuhan, jadilah rencana-Mu padaku karena Engkaulah yang paling tahu yang terbaik untukku. Berilah aku rasa ikhlas menjalani setiap kehendak-Mu
2. Tuhan, jauhkanlah aku dari ketakutanku, jauhkanlah aku dari keburukan yang memburuku setiap saat. Jauhkanlah aku dari segala ketakutan yang akan membuatku menjauhi-Mu.

Terkadang, aku merasa lebih tahu, Tuhan hanya harus mendengar saja. Namun pada akhirnya, aku akan tersadar untuk kesekian kalinya, betapa cerdas Dia sebenarnya.

Tuhan, sanggupkah aku bertahan dengan keyakinanku hari ini. Sanggupkah aku menahan beban setiap engkau menguji imanku. Mampukah aku mempertahankan keyakinanku setiap engkau memberi cobaan. Janganlah engkau jauhkan aku darimu dengan cobaan yang Kau berikan. Janganlah engkau mengujiku dengan sesuatu yang aku tidak sanggup padanya. Tuhan, engkaulah yang paling tahu yang paling baik untukku. engkau yang paling tahu batas kuasaku.

I wonder, are you working on my destiny?

but I get to know, You are...
please show me the light... That's all I need.

15 January 2010

Another T.R.Y

semoga pintu di hadapanku ini akan membawaku ke dunia recapan lain
merasakan pengalaman baru

I'll do whatever it takes
meski aku ketakutan setengah mati

11 January 2010

My Muse

Rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput halaman sendiri. Idiom ini mungkin tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Aku lebih sering meyakini isi kepala orang daripada isi kepalaku sendiri. Well dalam konteks tertentu, hal ini dianjurkan.

Tapi, jika pada konteks yang lebih pribadi seperti keyakinan, mengapa aku tidak bisa percaya dan mempertahankan keyakinanku. Mengapa aku tidak bisa menjaga dan merawat 'anak' pikiranku?


Aku ingin yakin bahwa manusia hanya punya keyakinan, di saat semua harapan telah dicerabut dari akar jiwa, bahwa selalu ada kupu-kupu harapan yang mendatangi Gandalf saat ia mulai kehilangan asa. Ajarkanlah aku untuk terus yakin.

Mengingat OLENKA

Untuk memulai, terkadang saya harus mengingat terlebih dahulu. kali ini saya mengingat kisah di balik layar OLENKA, karya Budi Darma. Katanya, inspirasi menulis novel itu datang saat ia 'kebetulan' berada satu lift dengan seorang ibu dan tiga anak kecil. Lepas dari lift itu, Budi Darma bagai kesurupan, atau tepatnya kebelet oleh kata-kata yang muncul tiba-tiba setelah bertemu perempuan itu.

Dalam tiga minggu, selesailah novel itu. Saya bisa membayangkan bagaimana kekuatan kata-kata di kepalanya-lah, yang bergejolak, yang sebenarnya menggerakkan Budi Darma, bukan sebaliknya yang selalu ingin saya terapkan: mengendalikan kata-kata, setiap saat. ya, mungkin ada yang akan bilang saya pemalas, atau menjadikan pengalaman Budi Darma itu sebagai pembelaan dari kemalasan saya yang makin menjadi-jadi. Saja kemudian ingat lagi dengan kepribadian malas semacam itu yang diterjemahkan ke dalam istilah "tipe seniman".


What is wrong with being an artist, anyway? leave the question to me..

Mari lupakan soal 'seniman' dan mari mengingat kembali. Saya sangat menyenangi novel OLENKA, novel katarsis, menggemaskan. Ka Harwan yang membelikan saya, awal 2008 lalu di sebuah toko buku tua di kawasan cendrawasih. Buku itu terendap selama kurang lebih 1,5 tahun baru saya menaruh hati untuk membacanya.


Membaca OLENKA yang bersetting Bloomington USA, seperti melihat bule yang berkepribadian Indonesia, melihat orang asing yang berbahasa Indonesia, dan melihat orang asing menghadapi masalah secara "Indonesia". Saya senang dengan tokoh Wayne Danton yang kerjanya setiap hari hanya merenung, meragu, dan ada segudang 'entahlah' di kepalanya. Ia suka bertanya pada nurani namun tidak pernah bisa mengurai jawab.


mengingat OLENKA membuat saya menghamburkan pakaian-pakaian malas yang menimbun harapan saya untuk seperti Budi Darma. By the way, saya masih belajar untuk yakin. Saya ingin memulai yakin dengan mengingat OLENKA.

flickring

semoga berhasil!!!!

5 January 2010

Janji


Aku berjanji, akan mencarikanmu handphone yang ada game-nya yang biasa kau mainkan, supaya engkau tidak kesepian lagi membunuh hari...

Santa Ana Wind

Sudah pernah nonton The Holiday?
ada sebuah dialog antara Iris (Kate Winslet) dan Miles (Jack Black) ketika mereka pertama kali bertemu. angin sedang bertiup kencang kala itu, Iris tiba-tiba kelilipan, lalu Miles berusaha 'mengangkat' sesuatu dari mata Iris.

"Ini angin Santa Ana, anything can happen", kata Miles

Anything can happen...Apapun bisa terjadi, yang tidak saya duga, yang saya rencanakan, yang sangat saya harapkan, atau malah yang saya takutkan. Tapi kesemuanya punya probabilitas yang sama. Jadi kenapa tidak berharap yang baik-baik saja yang akan terjadi pada diri kita?