21 January 2010

Nonton (Lagi) The Lord of The Ring

Saya merasakan rutinitas yang berbeda selama berada di Sengkang selama dua minggu kemarin. Fera, teman masa SMA menjadi tempat berlabuh sebelum live in di rumah warga. Kamar kos itu kurang lebih seukuran kamar kos saya di Makassar. Di tempat itu saya bisa merasa tenang, betah berlama-lama. Tidak seperti suasana kamar sendiri yang bikin tidak betah dan selalu ingin keluar.

Di Makassar, boleh saja saya selalu menjauhi TV. Tapi, di kota berangin Sengkang ,jika sedang tidak ada kegiatan TV 21 inch milik Fera menyala hampir 24 jam. Akulah yang memegang 'kuasa' remote control. Saya tidak akan menonton berita, infotainment, siaran religi, dan reality show. Saya hanya akan menonton film, saluran musik, dan comedy show (kentara kan minded saya seperti apa? hehehehe).

Namun, tidak selalu yang kita idealkan bisa terwujud. saluran film yang ada (Lotus Macau), subtitlenya huruf kanji a.k.a. bahasa mandarin, saluran musiknya juga punya Cina yakni Channel V Chinese. Ya sudah, tidak mengapa, asalkan bisa memahami sedikit-sedikit gerak bibir penutur di film yang ditayangkan, daripada nonton reality show, hehehe.

Selama dua minggu itu, Lotus Macau telah mengulang trilogi The Lord Of the Ring (TLOTR) sebanyak tiga kali. satu hari, satu seri. Saya geregetan dan gemas sendiri. Belum pernah saya menonton trilogi ini secara utuh. Kini, pada saat ingin menyaksikan utuh, eh, terhambat di subtitle. Tapi sekali lagi, daripada mubazir tidak ada yang nonton, mending menebak-nebak makna tiap dialognya saja.

Mungkin saya termasuk ketinggalan dalam merasakan dan mengalami 'kedigdayaan' film ini. Tapi tidak perlu digdaya, kan, sebuah film layak ditonton? Dari dulu saya menyukai akting Elijah Wood, sejak melihat perannya sebagai Oliver Twist atau Flipper di ANTV.

Adegan-adegan heroik hampir ada di tiap film, di mana kebaikan mengalahkan kejahatan, kesabaran akan berbuah manis, dsb. Namun ada yang menggelitik hati saya melihat Frodo yang memilih bertualang bersama kaum Elf di akhir cerita, daripada hidup tenteram damai bersama saudara-saudaranya di kampung Shire. Juga tidak kalah mengharukannya bagi saya, sosok Arwen yang memilih kehidupan mortal sebagai jalan hidupnya demi hidup bersama Aragorn.

Jika Lord Elrond meminta Arwen melakukan perjalanan ke Undying Land, pulau keabadian, di mana tidak ada kematian di sana, maka Gandalf the White tidak ragu dengan kematian. Kematian hanyalah sebuah fase perjalanan hidup yang harus dihadapi oleh setiap manusia, kata Gandalf kepada Pippin Took, Hobbit yang takut luar biasa kala pasukan Sauron mulai mendobrak benteng terakhir kota Minas Tirith.

Kebaikan memang pada akhirnya akan menang, seperti kata Samwise Gamgee, if we keep holding on to something. Berpegang pada apa? That there is good in this life, Mr. Frodo. Sebuah kalimat yang bagi saya adalah klise, sesuatu yang telah kita pahami bersama. Namun adakah jawaban lain untuk pertanyaan Frodo itu? Ataukah memang hanya ada satu jawaban untuk setiap hal yang kita perjuangkan. Tapi satu saja yang pasti, saya belum nonton film ini secara utuh. Hufh!!!

1 comment:

Yusran Darmawan said...

tampilan blog berubah lagi. jadi lebih modis dan menarik mata. setelah lama menanti, akhirnya ada lagi tulisan baru di sini. nice story...