Selasa lalu, Fera teramat bahagia melihat Corby Black-nya sudah bisa fesbukan. Segera setelah itu, ia beli nomor seluler baru demi mendukung kelancarannya berinteraksi dengan teman-teman yang mulai jarang ia temui. Aku bisa memahami hal ini, Fera adalah seorang karyawan eight to five, bekerja di kantor dari jam delapan hingga jam lima, bisa lebih kalau lembur.Saya pernah merasakan kondisi kerja yang ia mesti lalui tiap hari(tiba di Sengkang, saya tidak langsung ke kosan, singgah dulu di kantor, menunggu ia selesai bekerja). Duduk, melayani konsumen, mengangkat telpon, mencatat pemasukan, mencetak kwitansi, menatap perputaran detik di dinding kantor.
Bisa mengetahui kondisi jagad fesbuk di telapak tangannya, dengan sedikit sentuhan ke atas atau ke bawah pada layar hapenya, adalah kebahagiaan buat Fera. Ia bisa melupakanku ketika ia sudah terhubung ke dunia lain. Tapi sekali lagi, ini bukanlah sesuatu yang harus dimasalahkan atau ditertawakan. Aku menyayangi Fera, temanku melewati sedih dan senang.
Sebenarnya aku memaksakan diri datang ke warnet. Sekalian berjemur setelah dua hari terbenam di kasur. Lihatlah aku, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Di dunia maya, rutinitas fesbuk sudah perlahan kukurangi, status sudah jarang diperbarui, cek email juga tidak begitu mendesak karena paling isinya notifikasi dari fesbuk. Aku hanya tidak ingin menjadikan fesbuk sebagai sebuah kebutuhan baru yang menyiksa jika tidak terpenuhi, seperti rasa lapar. Aku tidak ingin rasa butuh itu beranak menjadi kebutuhan-kebutuhan lain lagi, kegelisahan-kegelisahan baru yang sebaiknya kucegah saja hari ini.
No comments:
Post a Comment