31 August 2009

Bintang Jatuh


Pada gelap tadi aku lihat bintang jatuh. Hatiku berbunga-bunga dan jantungku segar seperti habis makan permen mint. Aku berdoa pada Tuhan "...#%%@^*#&*(_^% $@@*!!!!!++$$#%$^#@^$*(&^%&$&^...."

30 August 2009

Ira Demita, Nama yang Kurindu :'(

Tahun menunjukkan angka 2004, saat pertama kali bertemu dirinya di Kosmik. Dia senior tiga tahun di atasku. Posisi itu sedikit banyak memengaruhi cara berperilaku, aku merasa segan menyapa. Namun, perlahan aku mengenalnya sebagai kakak berkacamata yang sangat humoris, Johnny Depp die hard fan, agak maskulin, jago fotografi (there's nothing to touch you, tak ada yang mampu mengalahkanmu), dan yang paling penting Kak Ira sangat menerimaku menginap di kosannya di Wesabbe.

Tidak terhitung berapa kali aku harus meminta izin menginap pada Kak Accank, demi merasakan empuknya ranjang pegas, nikmatnya susu cokelat ala Ira di pagi hari (sambil mendengarkan pita kaset JET dan Avril Lavigne), dan mengagumi hasil jepretan kamera manual tua yang telah menemaninya sekian tahun.

Kemarin, aku dilanda de javu saat melintasi Racing Centre, tepatnya ketika melihat bangunan masjid berwarna hijau menjelang buka puasa. Ramadhan lima tahun lalu, aku ingat, lepas kuliah, aku menghampiri lalu menggelayut di pundaknya, meminta agar menemaniku belanja suvenir ulang tahun adikku di Lasinrang. Tanpa babibu, ia langsung mengiyakan sambil tersenyum-senyum menggodaku yang sedang takjub dengan ketulusannya.

Karena kelamaan cuci mata, kami terancam tidak buka puasa di rumah. Alhasil Kak Ira mentraktir minuman dingin lalu singgah sejenak di depan mesjid Lasinrang. Ternyata di masjid itu jamaah sedang berbuka. Kami berdua dipanggil-panggil masuk oleh salah seorang warga. "Wah bagaimana ini kak?" "Ayo masuk saja...".

Aku dan Kak Ira hanya bisa saling memandang saat melihat seisi rumah ibadah itu.Kami berada di antara puluhan jemaah yang semuanya laki-laki!!! Kami jadi canggung dan tidak kuasa menghabiskan penganan berbuka. Buru-buru kami keluar berwudhu dan mengasingkan diri ke lantai dua masjid yang sementara direnovasi.

Aku rindu pada Kak Ira, pada spring bed-nya, pada TV-nya, pada tumpukan kaset di lemarinya, pada foto-foto karyanya, pada sisirnya, pada cerminnya, pada dinding kamarnya yang bergaris-garis, pada langit-langit kamarnya yang bocor, bahkan pada sabun mandi cairnya yang sering kupakai.

Di mana lagi akan kutemukan kakak yang selalu kurindukan sepertimu, Kak Ira?

Melawan Kantuk

Aku selalu berjanji pada Tuhan, akan bangun lebih pagi, berjuang melawan kebiasaan memulai hari pada jam 10 siang yang telah kuidap sekian tahun ini. Niat luhur yang baru bisa kupenuhi kala fajar tadi, Ramadhan hari ke 9. Di luar kebiasaan terlelap setelah sahur, aku mendapati diri sedang duduk di atap rumah Arya, menunggu sapaan matahari. Di udara, suara penceramah masjid beradu dengan suara burung-burung dari berbagai arah.

Ah, pagi yang indah... Mengapa baru kali ini aku menyadarinya. Kurebahkan punggung pada genteng atap. Mataku tertuju pada kelip bintang yang makin lama makin padam oleh semburat jingga sang mentari.

29 August 2009

Barisan Fans Sakit Hati

Muse: Stephenie Meyers' Sparkly Vampires?

Saya yakin Matthew Bellamy juga akan senyum-senyum membaca judul di atas. Inspirasi tulisan kali ini melintas setelah saya membaca sebuah postingan di portal mtv.com, mengenai rencana Muse tampil live di hajatan tahunan MTV Video Music Award 2009, 13 September mendatang. Kemudian saya membaca link postingan-postingan tema sejenis dan akhirnya saya mulai paham apa yang sebenarnya sedang terjadi, perang dingin antara dua kubu fans idola masa kini.

Sebelumnya saya ingin bertanya, apa yang ada di kepala anda jika mendengar kata Muse? Live act, Inggris, festival, progressive rock, experimental rock, radiohead, devon, showbiz, origin of symmetry? Oke, bisa diterima. Tapi tanyakanlah pada publik Amerika, dengarlah, jawaban mereka hanya akan berkisar pada tiga hal: Stephenie Meyers, Twilight, dan Adam Lambert.

Maka kecewalah para Muse die hard fans, yang telah menemani perjalanan band ini sejak tahun 1999. Yang mengenal band ini sebagai band underground (hingga Chris Martin memperkenalkan mereka di hadapan puluhan ribu penonton Reading Fest sambil mengenakan hoods), sebuah band aternatif yang mencoba progresif, eksperimental, hingga jauh kesan easy listening, sebuah band kaliber dunia yang awalnya hanya di kenal di Inggris, Prancis, dan Jepang, sebuah band dengan kualitas live mumpuni dan telah ditahbiskan oleh sosok James Hetfield, Omar Rodriguez, hingga Chester Bennington.

Penggemar terlanjur fanatik dan berlomba-lomba menunjukkan "saya-lah yang lebih dulu menemukan band ini" dengan penuh elukan dan rasa bangga. Dengan setia mereka menjaga dan mengawal imej infamous itu hingga semuanya tiba-tiba porak poranda ketika salah satu hits Muse mengisi film remaja asal Amerika "Twilight".

Twilighters (sebutan bagi penggemar Twilight) memancing emosi fans setia band asal Devon ini. Alasannya sederhana saja. Banyak di antara Twilighters kemudian menyukai Muse setelah menonton Twilight, hanya setelah mendengarkan sepenggal lagu Supermassive Black Hole. Nah, di sinilah akar 'konflik' sebenarnya. Bagi fans Muse, Twilight tidak lebih dari sekedar film tidak bermutu, payah, memalukan, dan dianggap berdosa atas munculnya remaja-remaja ingusan yang mengaku penggemar berat namun ternyata tidak tahu apa-apa tentang Muse. Tidak heran jika kemudian muncul puluhan grup Facebook yang menyatakan perlawanan terhadap serangan Twilight.

Belum lagi kekesalan mereka memuncak, kala infotainment AS senantiasa menghubungkan Muse dengan Stephenie Meyers dan Adam Lambert, selain Twilight. Coba simak judul ini "Twilight" Fans Rejoice: Muse To Perform at the VMA. Dunia hiburan AS seperti tidak punya bahan pembicaraan selain ketiga hal di atas. Ulah mereka seumpama menaruh garam di atas luka yang makin menganga, seiring dengan berembusnya isu Muse diminta kembali mengisi film New Moon, sekuel Twilight.

Saya baru mendengarkan lagu Muse empat tahun lalu (teman saya ada yang mendengarkan debut mereka sepuluh tahun silam). Saya juga menonton film Twilight hingga hampir delapan kali, dan saya tidak malu mengakuinya. Yang saya herankan adalah, mengapa mereka tidak protes pada Warner Music selaku pihak label yang memberi izin pemakaian lagu? Atau pada Matthew Bellamy sendiri selaku kuasa akhir pemberi izin hak cipta? Mungkin ini adalah bentuk penghargaan Matt terhadap Meyers yang juga ternyata penggemar berat.

Namun peringatan buat infotainment Amerika, berhentilah tampak bodoh karena tidak punya referensi selain wikipedia dalam membuat tulisan-tulisan kalian!!!

Main Rahasia

Jangan pernah bermain dengan rahasia, kawan. Ia seperti kotak pandora, sekali terbuka, tersingkaplah semua keburukan...

Mungkin engkau tidak percaya lagi dengan kami. Ya, kami paham itu. Tapi setidaknya kami bisa memuji keberanianmu dan mendoakan kebaikan buatmu. Terima kasih telah membuat kami merasa tidak berarti. Sekarang kami hanya bisa berpikir positif tentang peristiwa ini sambil tetap memanjatkan doa dari kejauhan.

Jangan sekali-kali memainkan hasrat ingin tahu. Tidakkah kau ingat kejatuhan Adam? Tidakkah kau bergidik mengenang hukuman bagi Prometheus?

*buat seorang teman

28 August 2009

Sebelum Alba Pergi...

"Ya, saya persilakan teman-teman yang ingin memberikan testimoni..."
"Mmm...apa yang paling berkesan tentang Alba, mmm..."





Matahari sedang kalem-kalemnya memamerkan perona jingga di wajahnya, saat saya dan teman-teman
ngabuburit di salah satu titik di jalan Pengayoman. Butuh perjuangan dan kesabaran ekstra untuk bisa tiba di sana. Saya juga sih yang tidak mempertimbangkan jam macet di sepanjang jalan protokol di kota ini.

Dua hari yang lalu, sebuah pesan masuk ke inbox email saya, seorang teman berniat pamit pulang ke Ternate. Wah, refleks jempol saya memencet nomor Iqko buat merencanakan sebuah farewell party kecil-kecilan. Lokasi dan waktu deal, bikin templet lalu saya kirim massal ke 28 nomor teman angkatan 04, yang diduga masih beromisili di Makassar.

Kaki saya tidak henti bergoyang tatkala angkot IKIP yang saya tumpangi tidak kunjung melaju. Sementara tangan saya bergetar oleh sms Ka Ilo mengirim kabar teman-teman sudah pada ngumpul di TKP. "Em, teman-temanmu sudah datang, terambat kowww..!" Ah, kota Makassar ini makin padat dan makin gerah saja, saat supir beberapa kali harus menginjak rem saking macetnya.

"Dua tahun ke depan, kira-kira tampilan kita seperti apa ya?"
(Untuk direnungkan..)

Langit sore tersapu malam, penantian saya dan Iqko berakhir. Dari 28 orang calon undangan, tercatat hanya 10 orang yang bisa hadir. Fahri, Keda, Yusran, Iqko, Wuri, Icha, Patrick, dan Alba sendiri. Wiwie (yang selalu ingin kami boikot) dan Foe hadir belakangan, saat kami sedang dalam sesi foto terakhir menjelang bubaran. Namun karena Wiwie memelas dan yang utama karena dia adalah makhluk paling manis di angkatan, kami memutuskan untuk tinggal sejenak barang 60 menit.

"Yang paling saya ingat dari Alba,... saat dia kedapatan nda ikut pra-ospek, padahal dia yang jadi ketua kelas waktu itu, kedapatan lagi di mal, hahahaha...," ungkap Patrick tidak kuasa menahan tawa, menyegarkan ingatan kami lima tahun lalu saat pertama kali bertemu dengan Alba.

"Saya tidak bisa bilang banyak, yang paling kukenang, adalah ketika kami hampir membuat Alba terusir dari kosannya, muahahahah...,"testi Iqko sambil meninjukan tangan ke udara diikuti derai tawa yang lain. Kali ini kami kembali berada di awal tahun 2007, di mana saat itu teman-teman membuat "heboh" suatu hari di rumah kost Alba. Mengingat vokal teman-teman angkatan berdesibel tinggi alias bising dan gaduh, sang pemilik kost keesokan harinya menempel pengumuman daftar larangan, dan semuanya ternyata merujuk pada ulah teman-teman saat itu.

"Alba, saya masih simpan pemberianmu...," sebenarnya kalimat ini sangat standar, namun karena berasal dari Wiwie dan diungkapkan penuh perasaan, kegaduhan tak terhindarkan, bahkan Alba sampai berpikir ulang untuk tinggal di Makassar saja, haaaa...haaa....haaa...

Satu persatu melontarkan perpisahan buat Alba. Tak dapat kubaca tanda di wajahnya. Namun yang pasti ia hanya bisa menjadi pendengar setia saat kami ribut merencakan sahur bareng di rumah Wuri, satu minggu setelah keberangkatannya ke Ternate.

Tidak henti-henti blitz kamera menghantam wajah kami. Beberapa potong kenangan buat Alba, hanya itu yang bisa kami berikan untuknya. Asa kami hanyalah agar ada saat dalam kehidupanmu kelak untuk menginjakkan kaki sejenak pada tanah yang pernah kita pijaki bersama dan pada rumah kosmik yang pernah kita singgahi bersama.


Finger crossed...

11 August 2009

Mr. Big Milik Siapa?

Ki-ka: Paul Gilbert, Eric Martin, Pat Torpey, Billy Sheehan

Suatu hari saya melintas di depan sebuah warung internet di lokasi SPBU Pertamina. Dari balik kaca saya bisa melihat tiga poster raksasa terpasang di setiap sisi dindingnya. Ada The Beatles, Queen, dan Metallica. Lama berpikir barulah saya paham pemilihan imaji-imaji itu. Ketiga grup tersebut adalah ikon musik rock di era mereka masing-masing. Beatles ikon era 60-an, Queen penanda era 70-an, dan Metallica akan selalu dikenang oleh generasi 80-an.


Lalu siapa kira-kira wakil generasi 90? Sejenak saya kembali ke satu dekade lalu bersama Kak Harwan, lalu jatuhlah nama pemenang 'arisan' itu: Mr.Big.


Saya termasuk beruntung masih bisa menikmati remah-remah sejarah karya Mr.Big, sisa-sisa makanan utama yang telah dihabiskan oleh para penggemar setia band asal Amerika ini. Pertama kali mendengar lagu Wild World di TVRI, kala berlalu lalang di depan tivi, keluar masuk rumah untuk bermain dengan teman-teman. Atau saya hanya tertarik pada cover album Big, Bigger, Biggest, tanpa niat mendengarkan lagu hingga pita kaset tersangkut di bagian akhir.


Baru kemudian, mesin waktu membawa saya ke masa sekarang, saya melintas di depan distro yang memutar lagu Not One Night. Indah sekali suara Eric Martin, menyihir langkah saya agar berhenti hingga lagu itu berakhir. Selanjutnya, segera saja lagu itu masuk ke playlist hape saya selama berminggu-minggu, tiada bosan-bosan mendengarnya.


Saya pengagum vokal Chris Martin, Thom York, Matt Bellamy, dan Tom Chaplin. Namun jangan sekali-kali menyebut nama Eric sebagai pembanding nama-nama itu (meski memang mereka tidak bisa dibandingkan).


Dan lagi-lagi saya harus berterima kasih pada teknologi yang berhasil menggali artefak-artefak sejarah Mr.Big dan mengirinya ke dalam komputer saya, meski generasi 90 tetaplah pemilik paten Mr.Big dan nuansa fandom yang saya rasakan tidak sama dengan penggemar setiaPaul Gilbert dkk di era itu.

Tiga Ibu Hamil


Pagi ini saat baru membuka mata, entah mengapa aku langsung teringat pada Nita, teman semasa SMA. Langsung saja aku menghubunginya melalui hape. Sambutannya tetap hangat, masih mampu mengimbangi leluconku yang mungkin agak kasar baginya. April lalu saat ia menikah, aku tidak sempat hadir. Ada kejutan listrik rasanya di jantungku mendengar ia tengah hamil. Puji Tuhan...

Nita, Nida, dan Rani, tiga perempuan paling bahagia saat ini. Pada tubuh mereka ada sebuah kehidupan menunggu dilahirkan. Aku teringat dengan cerita Echy ketika ia wawancara dengan seorang tatoo artist. Katanya, gambar bumi di salah satu bagian tubuh sang seniman ternyata punya arti yang sangat indah. Tattoo itu ia rajah di tubuhnya saat ia sedang mengandung. "Saat hamil, rasanya sudah memiliki seluruh isi dunia...", katanya pada Echy. Wow, sedemikian luar biasanya sensasi yang bisa dijangkau oleh seorang perempuan.

Selamat dariku kepada mereka yang tengah merasakan indahnya memiliki dunia. Rahim kalian adalah tempat yang dipercayakan oleh-Nya untuk menjaga kelangsungan generasi bumi. Selamat menjadi rumah pertama bagi kehidupan selanjutnya.

Ibuku yang Sunyi

Tiap kali ia terbatuk, tiap itu pula jantungku robek-robek. Sudah dua hari ini ia menderita batuk flu. Terpaksa dua acara kawinan ia serahkan padaku. "Tidak ada hubungannya dengan kolesterol kan, Ma'?" Oh Tuhan, pertanyaan bodoh macam apa lagi yang kulontarkan kali ini? Semoga saja ia tidak membaca maksudku dalam-dalam, bahwa aku tidak perlu khawatir kalo hanya sekedar batuk. Hanya gumaman yang kudengar di tengah kesibukannya membersihkan sisik-sisik ikan di hadapannya.


Sejak si bungsu, Ilham, hijrah ke Makassar, otomatis ibu dan bapakku tinggal berdua di rumah. Tiba-tiba semuanya terasa sunyi, jauh dari bayangan ketika kami bersaudara masih menjalani wajib 9 tahun. Kala itu, hampir tidak ada pagi tanpa kerutan di wajah ibu, kerepotan mengurus keperluan anak-anaknya.


Tiga tahun ini berusaha ia bunuh dengan hobinya, merajut dan menyulam. Pernah sekali, saat aku pulang berkunjung, ia minta diajarkan memainkan salah satu game di handphone pemberian bapak. Ternyata itu kemudian menjadi hobi utamanya belakangan ini. Saat ia dengan bahagia menceritakan skornya-lah yang paling tinggi, saat itu pula hatiku merasa ngilu. Saat aku mendapati ia sedang berada di depan tivi sambil memegang handphone, saat itu juga aku meringis dalam hati, betapa kesepiannya Ibu selama ini.


Kesepian yang tidak pernah ia bagi padaku. Tidak pernah ia mau merepotkan, meski ia sedang sakit. Aku pernah 'marah' saat ia masuk rumah sakit tanpa sepengetahuanku. Ia hanya tersenyum kala mendengarku tersedu-sedu di telpon.


Laju darahku seakan berhenti saat ibu berkata tidak ingin jauh-jauh dariku, sebulan kemarin. Sebuah syarat keridhaan ibu dari calon mata pencarianku kelak. Aku dilanda kebingungan, benarkah ibu meniatkan perkataannya? Benarkah setiap perkataan seorang ibu adalah doa? Telah dua kali ia ucapkan, dan makin teriris saja hatiku. Entah sedih karena kesunyian ibu ataukah pada cita-cita yang terus-menerus memanggilku ke arahnya. Masih kudengar ia terbatuk-batuk dalam tidurnya kala aku sedang asyik menyusun mimpi-mimpiku..

10 August 2009

Maaf, Sheera...

Sheera yang terhormat...

Sebelumnya, maafku atas kesombonganku, tidak menegurmu padahal aku tahu engkau ada di sana. Aku memang tidak mengharapkan kehadiranmu, apalagi ibumu. Sengaja kubertahan di kursi pengunjung acara kawinan itu, agar kita berdua tidak bertemu muka. Kutunggu hingga engkau yang terlebih dahulu pergi dari ruangan itu.


Berat bila harus berbasa-basi denganmu. Tidak ingin aku melihat rona merendahkan di mata ibumu. Engkau masih seperti dulu yang kukenal, tidak bisa mengambil keputusan dengan kemerdekaanmu sendiri. Apa yang kurang dari dirimu, Sheera, jika harta bukanlah apa-apa bagimu?


Engkau tidak pernah merasakan rindu...Engkau miskin rasa...Engkau tidak pernah butuh pada siapapun...Engkau hidup dalam pagar menjulang buatan ibumu...Pagar di antara aku dan engkau...Aku benci dia...


Tidak perlu kau sadarkan betapa kurangnya aku, karena kau tahu tidak ada yang bisa kubanggakan dari diriku. Bersenang-senanglah dengan pikiranmu sendiri. Tertawailah pakaian yang kukenakan, make up murahan di wajahku, dan sepatu kekecilan di kakiku yang semakin mekar ini.

Sheera, bukan maksud menolakmu, tidak ingin kupaksakan senyum di hadapanmu, sahabatku. Aku hanya ingin senyum terindah untukmu, bahagiaku dengan keadaanmu, saat aku tahu malaikat kecil kini menghuni tubuhmu.


Tanpaku tidak ada ruginya bagimu, ruang kosong itu tidak akan pernah ada, hanya sisa ingatan yang selalu bisa kau tertawai dan kau sesali...
Maafkan aku, Sheera...