Jika bukan karena status mahasiswa, mungkin saya tidak akan pernah menginjak tanah Malino. Zaman-zaman SMP/SMA saya hanya bisa mendengar cerita teman-teman tentang pengalaman mereka di sana. Mau sekali ke sana, apalagi seorang teman duduk di SMP mengajak saya untuk melanjutkan sekolah ke salah satu sekolah favorit SMA 2 Tinggimoncong yang kami lebih kenal dengan nama SMA 2 Malino.
Saya sudah meneguhkan niat mengikuti segala proses untuk bisa sampai ke sana. Tapi takdir berkata lain. Tepat di tahun saya akan masuk SMA, kakak saya yang paling tua harus menjalani takdirnya di Saitama dan kakak kedua saya juga harus melanjutkan sekolah di kampus UH. Kata ibu, saya harus 'mengalah' dulu T_T
Kesempatan pertama saya dapat ketika saya dan teman-teman menjalani final ekskul Do Gojukai di semester I (januari 2005). Saya tidak tahu di antara rombongan tiga bus, mungkinkah saya satu-satunya yang belum pernah ke Malino. Tapi saya bahagia. Pertama kali ke sana, saya sudah mengikrarkan diri untuk selalu kembali. Dan itu memang terjadi lagi. Tepatnya ketika adik junior saya di kosmik (2005 dan 2006) mengadakan Bina Akrab. Dua kali, dan saya selalu ikut.
Entah magnet apa yang rasanya selalu menarik kaki-kaki ini menjejaki tanah Malino. Terakhir kali saya ke sana pada bulan April tahun ini saat menghadiri akikah putra pertama Ka Ishak. Saya merasakan kebahagian tersendiri melihat jalan yang berkabut hingga sulit dilalui kendaraan, heran dengan teh hangat yang tiba-tiba dingin karena suhu udara, pada pemandangan yang sangat menyejukkan mata. Berada di sana seperti berada di dimensi lain. Saya cinta pada keheningan, kesejukan, nuansa hijau, kemurnian udara, pada bunga mawar 'asli' yang tumbuh di tepi jalan, pada sinar matahari di sore hari setelah hujan, pada ketinggiannya di mana saya bisa membiarkan rasa bimbang melayang.
Saya selalu ingin kembali ke sana...
Showing posts with label cerita sederhana. Show all posts
Showing posts with label cerita sederhana. Show all posts
17 October 2010
4 October 2010
Penghuni Baru Kamarku

Sebenarnya adik saya punya tivi di kamar. Tapi sejak tiga minggu lalu tidak berfungsi jadi ia simpan saja di 'gudang. Saya lalu berinisiatif memmbawanya ke akang pemilik warung asli Sunda di sekitar kosan saya. Tiga hari kemudian saya datang lagi, ternyata mesti dicarikan spare part, pesan dari Jakarta. Soalnya TV saya itu jenis TV lama yang belum pake remote infra merah, masih pakai remote manual. Tahu kan, yang pake gagang sapu atau tongkat pramuka itu, hehe.
Si Akang minta supaya TV nya disimpan dulu biar kalo barangnya sudah ada bisa langsung diperbaiki. Saya meng-ok saja, pasrah. mau beli tivi baru dapat duit dari mana? sampai akhirnya saya berkunjung ke ramsis dan melihat monitor tabung nan cembung nganggur. Pikir-pikir daripada tidak terpakai lebih baik dibawa saja.
Saya termasuk orang yang tidak uptodate dengan menonton berita. I'm not into politic or economic. Jengah. Empat hari belakangan ini, tiap menyalakan tivi, saya langsung disuguhi adegan penyergapan ini penyergapan itu. Belum lagi kalau jelang tengah malam: makin malam makin "kuning". Waduh!!!
Tapi beda kali ya kalo tv saya bisa menangkap siaran HBO atau Star Movies, hmm... bisa-bisa saya tidak keluar kamar seharian.
Pumi dan Kuma
Wajahnya punya dua penghuni: tawa dan senyum. Terakhir kali aku melihat sipitnya bengkak ketika mamanya sedang sakit. Setelah itu tidak pernah lagi kulihat, tangis itu telah pergi. Ia selalu tertawa meski bos waktu ia bekerja pernah memarahinya. Dia suka cekikikan sendiri. Dia tidak pernah punya maksud jahat mencelakai orang di luar dirinya. Dan dia selalu ingin membuatku optimis.
Oleh karena itu saya tetap tidak bisa menangis waktu ia mau pamit bersama suitcase dan rice cooker-nya berangkat ke Jakarta. Saya mau adegan yang sedih, tapi ia terus tertawa dan cekikikan, dan itu lebih kuat pengaruhnya daripada air mata yang tertahan sejak dari tadi. Jadinya seharian saya tidak berbicara kepada siapapun. Ada yang bilang tangis yang tidak terlihat lebih perih daripada yang terlihat. Hiks hiks...
Karena dia blog ini bisa lahir. Ia sangat senang waktu saya akhirnya bikin blog juga, dua tahun setelah ia eksis duluan. Hufh, apalagi yang bisa kuceritakan tentang Pumi. Oh iya, satu hal, berteman dengannya sangat menyenangkan. Kenapa? Karena dia bisa membawa diri dengan baik, jadi saya tidak perlu susah-susah mengurusinya kalau ia menginap di kamar saya, hihi.
Pumi, maaf aku hanya bisa memberimu buku resep bekas, malah halamannya mulai terkelupas karena lembab. Aku ingat kau pernah bilang ingin memasak selama di Jakarta nanti. Semoga kau bisa bertemu dengan idolamu Dewi Lestari. Perkenankanlah saya menitip pesan buat Reza Rahadian jika kau sempat bertemu dengannya, katakanlah: Tunggu pembalasanku, Reza. Haha, tentu kau tahu apa maksudnya, Pumi.

*pumi dan kuma adalah panggilan keponakan Dwi buatnya dan buat saya
Oleh karena itu saya tetap tidak bisa menangis waktu ia mau pamit bersama suitcase dan rice cooker-nya berangkat ke Jakarta. Saya mau adegan yang sedih, tapi ia terus tertawa dan cekikikan, dan itu lebih kuat pengaruhnya daripada air mata yang tertahan sejak dari tadi. Jadinya seharian saya tidak berbicara kepada siapapun. Ada yang bilang tangis yang tidak terlihat lebih perih daripada yang terlihat. Hiks hiks...
Karena dia blog ini bisa lahir. Ia sangat senang waktu saya akhirnya bikin blog juga, dua tahun setelah ia eksis duluan. Hufh, apalagi yang bisa kuceritakan tentang Pumi. Oh iya, satu hal, berteman dengannya sangat menyenangkan. Kenapa? Karena dia bisa membawa diri dengan baik, jadi saya tidak perlu susah-susah mengurusinya kalau ia menginap di kamar saya, hihi.
Pumi, maaf aku hanya bisa memberimu buku resep bekas, malah halamannya mulai terkelupas karena lembab. Aku ingat kau pernah bilang ingin memasak selama di Jakarta nanti. Semoga kau bisa bertemu dengan idolamu Dewi Lestari. Perkenankanlah saya menitip pesan buat Reza Rahadian jika kau sempat bertemu dengannya, katakanlah: Tunggu pembalasanku, Reza. Haha, tentu kau tahu apa maksudnya, Pumi.

*pumi dan kuma adalah panggilan keponakan Dwi buatnya dan buat saya
2 October 2010
Pizza Freak
Saya selalu bersyukur diciptakan dengan lidah yang gampang beradaptasi dengan berbagai jenis makanan. Perut saya juga bisa mencerna dengan baik makanan yang mungkin baru pertama kalinya saya cicipi. Termasuk pizza. Saya baru menyentuh makanan ini di awal tahun 2008, saat kebetulan bertemu dengan teman di MP (padahal saya sudah 4 tahun tinggal di Makassar saat itu, dari mana saja?) I love pizza. I'd die for a pan, haha...
Sayangnya, kalau salah pilih jenis pizza kolesterol saya bisa naik tanpa diminta, piuh... Makanya setiap kali beruntung (ditraktir teman atau senior), saya pasti pesan dengan kola, karena katanya kola bisa menetralkan kadar kolesterol yang baru masuk dalam tubuh. Belum dibuktikan secara medis sih, tapi saya sendiri sudah mencoba dan taraaa... saya tidak akan menolak kalau ada yang mau traktir lagi, hihihi...
Selama ini jika ada teman yang berbaik hati berbagi rezeki, pasti saya orang pertama yang menyarankan untuk ke kedai pizza saja, di mana pun itu di Makassar. Tapi sayangnya, di geng ada seorang teman yang sangat anti-pizza. Katanya tidak cocok dengan perut pribuminya, hehe. Makanya tiap kali saya bersikeras makan penganan dari negara menara miring ini, akan ada sedikit gurat-gurat keberatan di wajahnya. Mostly, saya menyerah.

Tapi waktu Iqko traktir di kedai pizza di kawasan boulevard, mau tidak mau ia harus beradaptasi. Tidak usah saya ceritakan ya bagaimana teman saya ini membelah lembar pizza dan perjuangannya menelan pizza hingga irisan terakhir. Saya tidak berhenti tertawa dan memandangi ekspresi kegundahan di wajahnya, hehe. Yang jelas, setelah satu pan personal di depannya habis dilahap, ia tiba-tiba mengajak saya bermain bola. Lho? Katanya, para pemain bola di negeri Pisa makan pizza dulu baru main bola. Huh, ada ada saja... :D
Sayangnya, kalau salah pilih jenis pizza kolesterol saya bisa naik tanpa diminta, piuh... Makanya setiap kali beruntung (ditraktir teman atau senior), saya pasti pesan dengan kola, karena katanya kola bisa menetralkan kadar kolesterol yang baru masuk dalam tubuh. Belum dibuktikan secara medis sih, tapi saya sendiri sudah mencoba dan taraaa... saya tidak akan menolak kalau ada yang mau traktir lagi, hihihi...
Selama ini jika ada teman yang berbaik hati berbagi rezeki, pasti saya orang pertama yang menyarankan untuk ke kedai pizza saja, di mana pun itu di Makassar. Tapi sayangnya, di geng ada seorang teman yang sangat anti-pizza. Katanya tidak cocok dengan perut pribuminya, hehe. Makanya tiap kali saya bersikeras makan penganan dari negara menara miring ini, akan ada sedikit gurat-gurat keberatan di wajahnya. Mostly, saya menyerah.

Tapi waktu Iqko traktir di kedai pizza di kawasan boulevard, mau tidak mau ia harus beradaptasi. Tidak usah saya ceritakan ya bagaimana teman saya ini membelah lembar pizza dan perjuangannya menelan pizza hingga irisan terakhir. Saya tidak berhenti tertawa dan memandangi ekspresi kegundahan di wajahnya, hehe. Yang jelas, setelah satu pan personal di depannya habis dilahap, ia tiba-tiba mengajak saya bermain bola. Lho? Katanya, para pemain bola di negeri Pisa makan pizza dulu baru main bola. Huh, ada ada saja... :D
4 June 2010
Mental Block
Tadi saya dapat tugas wawancara dengan Harwan Jaya, HRD bosowa investama. Awalnya saya agak canggung bertemu apalagi bertanya banyak mengenai program beasiswa prestasi Bosowa yang kini tengah memasuki tahap akhir. Sebelumnya saya mencari tahu dulu pada kak najab, ka wawan, ka odha, dan ka ome. Dari mereka saya adi tahu, Pak Harwan sangat low profile dan down to earth, serta mudah diajak berdiskusi.
Bermodal field of experience itulah, ditambah usaha mencairkan es keadaan dengan membuatkannya kopi, saya menghadap Pak Harwan. Awalnya kupikir ia akan pelit informasi. Sebisa mungkin saya mengendalikan wawancara agar lebih santai dan saya tidak mati kutu mencari pertanyaan yang berbobot dan tidak monoton. Beberapa kali saya berhasil membuatnya tertawa hingga terbahak-bahak, sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya. Saya juga heran dengan respon itu, atau mungkin karena ia paham maksud celetukan-celetukan saya. Pak Harwan sangat cermat dan bisa menerjemahkan bahasa verbal atau non-verbal yang saya sampaikan.
Saya memang dikenal sulit tertawa dengan orang yang baru saya temui. Namun ternyata dari pengalaman tadi saya jadi tahu kalau saya bisa membuat orang 'asing' tertawa. Saya jadi ingat waktu saya diwawancara oleh perusahaan asing di kawasan Kima. Dua orang WNA asal amerika di depanku senyum-senyum bahkan tertawa dengan jawaban yang kuberikan, saya rasa itu bukan tawa yang meremehkan, karena memang saya berusaha untuk mencairkan hati saya yang tegang menghadapi wawancara bahasa inggris pertama saya. Saya senang bisa melewati wawancara, saya memang tidak lolos, tapi saya senang berhasil membuatnya tersenyum apalagi waktu salah satu di antara mereka bertanya kenapa saya bisa aksen amerika, wkwkwkwkwk, rasanya tidak percaya, itu lebih dari sekedar lulus kali ya?
Dari pak harwan, saya juga jadi familiar dengan beberapa istilah psikologi kejiwaan, misalnya mental block. Mental block semacam kondisi di mana superego telah begitu lama menahan id agar tidak tersalurkan. Kondisi ini kemudian menjadi penghalang bagi seseorang dalam melihat sesuatu yang bertentangan dengan superego dan pemendaman hasrat lainnya. Akhirnya orang tersebut cenderung berkata ‘tidak’ dan menunjukkan sikap ‘ragu-ragu’.
Saya lalu menghubungkan kondisi itu dengan keadaan saya sekarang. Kesempatan ini saya gunakan untuk konsultasi colongan, menanyakan apakah saya berpotensi menjadi orang gila, hehehehe. Saya mengaku kalo saya mengalami mental disorder yakni kecemasan berlebihan. Ia tertawa lalu berkata, mungkin saja. Ia lalu berkata ‘jangan mendahului takdir’, tidak perlu cemas terhadap apa yang akan terjadi. Tanpa ditanya saya berkata kalau saya ingin sekali menginjakkan kaki ke new Zealand. Alasan saya karena ingin melihat wellington, tempat pengambilan sebagian besar scene di The Lord of The Rings. Saat itulah ia tertawa terbahak, apalagi waktu saya bilang, siapa tahu saya bertemu bangsa elf dan hobbit di sana, hehe… Masalahnya ternyata apakah saya percaya bisa atau tidak?
Akhirnya saya mempertimbangkan untuk menempel poster film kolosal itu saja dulu di dinding kamar baruku.
May 6th
Bermodal field of experience itulah, ditambah usaha mencairkan es keadaan dengan membuatkannya kopi, saya menghadap Pak Harwan. Awalnya kupikir ia akan pelit informasi. Sebisa mungkin saya mengendalikan wawancara agar lebih santai dan saya tidak mati kutu mencari pertanyaan yang berbobot dan tidak monoton. Beberapa kali saya berhasil membuatnya tertawa hingga terbahak-bahak, sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya. Saya juga heran dengan respon itu, atau mungkin karena ia paham maksud celetukan-celetukan saya. Pak Harwan sangat cermat dan bisa menerjemahkan bahasa verbal atau non-verbal yang saya sampaikan.
Saya memang dikenal sulit tertawa dengan orang yang baru saya temui. Namun ternyata dari pengalaman tadi saya jadi tahu kalau saya bisa membuat orang 'asing' tertawa. Saya jadi ingat waktu saya diwawancara oleh perusahaan asing di kawasan Kima. Dua orang WNA asal amerika di depanku senyum-senyum bahkan tertawa dengan jawaban yang kuberikan, saya rasa itu bukan tawa yang meremehkan, karena memang saya berusaha untuk mencairkan hati saya yang tegang menghadapi wawancara bahasa inggris pertama saya. Saya senang bisa melewati wawancara, saya memang tidak lolos, tapi saya senang berhasil membuatnya tersenyum apalagi waktu salah satu di antara mereka bertanya kenapa saya bisa aksen amerika, wkwkwkwkwk, rasanya tidak percaya, itu lebih dari sekedar lulus kali ya?
Dari pak harwan, saya juga jadi familiar dengan beberapa istilah psikologi kejiwaan, misalnya mental block. Mental block semacam kondisi di mana superego telah begitu lama menahan id agar tidak tersalurkan. Kondisi ini kemudian menjadi penghalang bagi seseorang dalam melihat sesuatu yang bertentangan dengan superego dan pemendaman hasrat lainnya. Akhirnya orang tersebut cenderung berkata ‘tidak’ dan menunjukkan sikap ‘ragu-ragu’.
Saya lalu menghubungkan kondisi itu dengan keadaan saya sekarang. Kesempatan ini saya gunakan untuk konsultasi colongan, menanyakan apakah saya berpotensi menjadi orang gila, hehehehe. Saya mengaku kalo saya mengalami mental disorder yakni kecemasan berlebihan. Ia tertawa lalu berkata, mungkin saja. Ia lalu berkata ‘jangan mendahului takdir’, tidak perlu cemas terhadap apa yang akan terjadi. Tanpa ditanya saya berkata kalau saya ingin sekali menginjakkan kaki ke new Zealand. Alasan saya karena ingin melihat wellington, tempat pengambilan sebagian besar scene di The Lord of The Rings. Saat itulah ia tertawa terbahak, apalagi waktu saya bilang, siapa tahu saya bertemu bangsa elf dan hobbit di sana, hehe… Masalahnya ternyata apakah saya percaya bisa atau tidak?
Akhirnya saya mempertimbangkan untuk menempel poster film kolosal itu saja dulu di dinding kamar baruku.
May 6th
29 April 2010
Komedo
Mungkin karena saya jarang bercermin, saya jadi tidak sadar kalau komedo di wajah ini ternyata sudah menjamur. Saya lalu tergoda dengan produk pengangangkat komedo yang sering lalu lalang di tivi. Sebenarnya saya kapok dengan produk-produk yang menawarkan ini itu setelah insiden ganti sampo yang bikin volume rambut saya berkurang setengahnya.
seorang teman beberapa tahun lalu juga pernah mengingatkan, hati-hati menggunakan pengangkat komedo (semacam plester yang dipasang dihidung). Katanya, komedo malah makin bertambah. saat itu saya tidak terlalu peduli, mengingat komedo belum singgah di wajah saya.
Bermodal edukasi iklan pencuci wajah itu, akhirnya saya membeli satu tube 50 ml. Di produknya tertulis 'buktikan dalam waktu seminggu'. Seminggu berlalu, perubahannya memang ada. Bukannya berkurang, komedo-komedo nakal itu akhirnya menghuni bagian wajah yang sebelumnya sehat-sehat saja. pemakaian masih saya lanjutkan, berharap itu hanya efek awal penggunaan.
Ternyata, saya 'kecapean' menunggu. Tube kedua tidak sanggup saya habiskan. Saya hanya bisa meringis lebay "kenapa ini harus terjadi????"
"Awas kak nanti infeksi", kata Wani, peserta mata kuliah ekskul jurnalistik (belum genap sebulan saya masuk jadi kopel, hehe). Ia tersenyum-senyum melihat sedari tadi saya mengorek-ngorek kulit wajah area bawah mata. "Habis mau diapa lagi", jawab saya tanpa melihat ke arahnya. Seumur hidup, rasanya baru kali ini saya mengobrol tanpa bahasa verbal yang menunjukkan perhatian pada lawan bicara.
Entah sejak kapan masalah kulit wajah menjadi momok buat saya. Komedo ini begitu mengganggu. Saya jadi berpikir untuk menggunakan sticky tape (bahasa keren dari isolasi) supaya komedonya bisa terangkat (walau perih). Atau ada saran lain barangkali? Hehehe
Please komedo, leave my face alone..
seorang teman beberapa tahun lalu juga pernah mengingatkan, hati-hati menggunakan pengangkat komedo (semacam plester yang dipasang dihidung). Katanya, komedo malah makin bertambah. saat itu saya tidak terlalu peduli, mengingat komedo belum singgah di wajah saya.
Bermodal edukasi iklan pencuci wajah itu, akhirnya saya membeli satu tube 50 ml. Di produknya tertulis 'buktikan dalam waktu seminggu'. Seminggu berlalu, perubahannya memang ada. Bukannya berkurang, komedo-komedo nakal itu akhirnya menghuni bagian wajah yang sebelumnya sehat-sehat saja. pemakaian masih saya lanjutkan, berharap itu hanya efek awal penggunaan.
Ternyata, saya 'kecapean' menunggu. Tube kedua tidak sanggup saya habiskan. Saya hanya bisa meringis lebay "kenapa ini harus terjadi????"
"Awas kak nanti infeksi", kata Wani, peserta mata kuliah ekskul jurnalistik (belum genap sebulan saya masuk jadi kopel, hehe). Ia tersenyum-senyum melihat sedari tadi saya mengorek-ngorek kulit wajah area bawah mata. "Habis mau diapa lagi", jawab saya tanpa melihat ke arahnya. Seumur hidup, rasanya baru kali ini saya mengobrol tanpa bahasa verbal yang menunjukkan perhatian pada lawan bicara.

Entah sejak kapan masalah kulit wajah menjadi momok buat saya. Komedo ini begitu mengganggu. Saya jadi berpikir untuk menggunakan sticky tape (bahasa keren dari isolasi) supaya komedonya bisa terangkat (walau perih). Atau ada saran lain barangkali? Hehehe
Please komedo, leave my face alone..
26 March 2010
Meniru Tuhan*
Tuhan adalah pelayan sesungguhnya. Ia melayani kebutuhan-kebutuhan ciptaan-Nya. Dalam tidur Ia menjaga, dalam berdoa Ia menyimak, dalam ketakutan Ia menenangkan, dalam lapar Ia memberi makan. Hanya saja Ia bekerja melalui tangan-tangan tidak terlihat, melalui tangan-tangan manusia yang mencintai.
Love is to serve. Melayani adalah ketundukan ego paling tinggi yang dilakoni oleh umat manusia. Melayani membuat kita mendahulukan kebutuhan orang lain dibanding kebutuhan sendiri. Melayani adalah memuliakan. Ingatkah kawan pada Mustapha Chamran yang membereskan tempat tidur sang isteri lalu membuatkannya kopi, di mana hal itu ia lakukan setiap pagi tiba. Atau ketika Rasul menggelar sorban seketika untuk ibu menyusunya, Halimah yang datang mengunjunginya, sejak dari kejauhan. Atau akan Nabi Isa yang membasuh kaki para muridnya?

Tuhan selalu menyimak seberapa banyak yang kawan beri untuk insan yang kawan cintai, bukan seberapa yang kawan terima. Seberapa banyak memaafkan, bukan seberapa kali menyakiti hati saudara. Seberapa kawan merelakan waktu menunaikan hajat orang-orang kesusahan di sekitar. Seberapa banyak tangan kawan merawat pasien yang antriannya masih panjang, meski lelah telah mendera, meski dalam sanubari terdalam, kawan juga menginginkan pelayanan dari orang lain, meski kita selalu ingin dipahami.
Manusia memang bukan Tuhan yang tidak pernah lelah melayani. Kawan juga bukan Rasul yang sempurna akhlaknya. Tapi tidakkah Tuhan akan cemburu, di tengah keterbatasannya, di tengah lelah yang menggoyahkan langkah kaki, manusia masih bersemangat memuliakan orang lain?
24 December 2009
Kartu Ucapan yang Tidak Sempat Terkirim
Malam Natal sebentar lagi akan merayapi hari. . .
Masih dari kardus bekas tempat dispenser yang aku ceritakan kemarin-kemarin, aku juga menemukan plastik bening berisi amplop warna-warni beagam ukuran. Di dalam keenam amplop tersebut berisi kartu ucapan selamat Hari Natal. Ya, aku ingat, kartu-kartu itu semestinya aku berikan di perayaan Natal tiga tahun lalu, kepada Ka Vic, Ka Sandy, Mamar, Pamela, Nasha, dan Jenny.
Aku sudah lupa kenapa kartu-kartu itu tidak pernah terkirim. Teman-temanku itu kini sudah berpencar jauh dariku. Mungkin, karena saat ini versi digitalnya sudah tersedia dan aku bisa mengirimnya kapan saja. Atau mungkin karena ada yang bilang niat memberi ucapan itu jauh lebih bermakna dari bentuk visualnya. Kartu itu kembali kusimpan di tempat aku menemukannya.
Semoga mengucapkan selamat di blog ini tidak mengurangi kebahagianku untuk teman-teman yang sedang merayakan Natal.

Selamat Hari Natal, damai di bumi, damai di hati...

Aku sudah lupa kenapa kartu-kartu itu tidak pernah terkirim. Teman-temanku itu kini sudah berpencar jauh dariku. Mungkin, karena saat ini versi digitalnya sudah tersedia dan aku bisa mengirimnya kapan saja. Atau mungkin karena ada yang bilang niat memberi ucapan itu jauh lebih bermakna dari bentuk visualnya. Kartu itu kembali kusimpan di tempat aku menemukannya.
Semoga mengucapkan selamat di blog ini tidak mengurangi kebahagianku untuk teman-teman yang sedang merayakan Natal.

Selamat Hari Natal, damai di bumi, damai di hati...
21 December 2009
Adrenalin Rush
Seminggu tidak posting rasanya mau gila (aih, lebay). So lets just see what I've been through this past week, mmm...nonton Sang Pemimpin yang proses mewujudkan keinginan untuk itu saya harus mengalami 'rusuh adrenalin', beberapa malam dengan lagu-lagu 90 an (ih sampai merinding), dan nonton film gila berjudul L'Appartement.


.jpg)
14 December 2009
Panggil Aku Donald Duck


Pertama kali membaca kisah-kisah tokoh transnasional produksi Walt Disney saat itu, aku langsung mengidentikkan diriku dengan karakter Donald Bebek. Pemalas, seniman tidak karuan, suka berleha-leha, bersantai-santai, susah bangun pagi, dan gampang marah. Membaca kisahnya lagi di tiga malam belakangan ini, mendorongku mengidentikkan ulang karakter-karakter itu, dan hasilnya memang masih sama, hehehehe... Maaf ya kalau ada yang mengeluh dengan sifat-sifatku..

13 December 2009
Moody...???
Cuaca hari ini sangat bersahabat, sudah jam 12 siang tapi suasanya masih seperti jam 8 pagi. Mendung tergantung di tiap sudut langit. Ini mengingatkanku pada Idul Fitri yang pernah tiba di akhir-akhir tahun, di mana ketika aku kembali ke Makassar, aku disambut tanah yang basah dan langit yang kelabu.
Aku teringat tadi malam, saat sedang on the line, seorang adik yang kukenal di kosmik bertanya: "kak, kenapa belum pulang tengah malam begini? nda dicari ji ki mama ta?" Tawa meledak dari mulutku (lebay) karena pertanyaan yang kuanggap sangat polos ini. Ia masih penasaran, jadi kujawab saja apa adanya, kalau di Makassar, aku tidak tinggal dengan orang tua.
Sampai siang ini, deadline masih memburuku, tapi dasar aku ini katanya adalah pribadi seniman, pemalas dan sangat penunggu momen tertentu ketika mood mulai berayun lagi. Aku juga sering ketakutan dengan respon orang-orang tentang tabiatku ini. Sejauh ini, mereka masih dalam takaran santai, meski ada beberapa juga yang menegur keras. Mmm,,, kadang aku membutuhkannya, tapi kenapa masih sering mengeluh ya tiap kali kena teguran??? Aneh...
Sampai siang ini, deadline masih memburuku, tapi dasar aku ini katanya adalah pribadi seniman, pemalas dan sangat penunggu momen tertentu ketika mood mulai berayun lagi. Aku juga sering ketakutan dengan respon orang-orang tentang tabiatku ini. Sejauh ini, mereka masih dalam takaran santai, meski ada beberapa juga yang menegur keras. Mmm,,, kadang aku membutuhkannya, tapi kenapa masih sering mengeluh ya tiap kali kena teguran??? Aneh...

10 December 2009
You did it, guys!!!

Selamat ya teman-teman, aku pasti berbahagia dengan apa yang kalian raih. Lebih bahagia lagi kiranya aku dan teman-teman lain yang belum bekerja bisa kecipratan rejeki juga tiap bulan, hehehe (ini dibilang bahagianya tidak tulus, hehehe). Apapun bentuknya, bekerja itu menyehatkan lho, teman-teman, dan yang pasti Tuhan memberkati orang-orang yang bekerja (asal halal jeung-jeung)..Semangat!!!
28 November 2009
Mencoba Kue Keberuntungan

Random fortunes, do you believe?
Mari kita menengok seorang filsuf kontemporer asal Prancis, Alain du Botton. Dalam novelnya Tentang Cinta (On Love), ia menerapkan teori probabilitas dalam percintaan tokoh utama (yang tidak disebutkan namanya) dengan Chloe. Keduanya tidak sengaja bertemu di sebuah pesawat terbang. Apakah mereka benar-benar berjodoh ditakdirkan untuk bersama? Inilah yang dihitung matang-matang oleh sang pria ke dalam rumus-rumus statistik rumit. Hasil perhitungan menunjukkan kecilnya kemungkinan pertemuan itu, tapi mereka memang benar-benar bertemu dan menjalin cerita.
Seperti itulah kira-kira jika saya ingin menganggap semua bentuk kebetulan. Pada akhirnya, kata 'kebetulan' ini diganti dengan kata 'kejutan' mengingat nilai 'tidak ada yang namanya kebetulan', hehehe... Termasuk ketika saya mengenal sebuah aplikasi bernama fortune cookies (kue keberuntungan) yang dapat dilihat di facebook. Syahdan, dengan mengklik aplikasi ini kita akan mendapatkan sebuah kalimat bijak, petuah, keberuntungan, atau apa yang akan kita alami hari ini.
Melihat fortune cookie, saya jadi teringat film-film Asia Timur di mana terdapat adegan-adegan ritus keagamaan, di mana salah seorang jamaah mengocok semacam gelas bambu berisi stik-stik bertuliskan keberuntungan atau kesialan yang akan dihadapi dalam waktu dekat. Layaknya arisan, stik yang jatuh dari wadah tadi akan menjadi 'milik' orang tersebut. Ada yang percaya, ada pula yang tertawa setelah membacanya.

Haruskah kita juga menerapkan teori probabilitas dan kelayakan untuk ini? Hahaha...saya nyaris tidak punya waktu untuk menghitung, meski dalam sehari rutinitas saya hanya tidur, makan, dan berangan-angan. Namun tidak ada salahnya yakin, apalagi terhadap persangkaan-persangkaan baik mengenai diri kita yang terdapat dalam fortune cookie itu, hehehe..
Bon Appetite!!!
10 November 2009
Diskotek Berjalan
Empat jam perjalanan pulang ke Makassar terasa sangat menyiksa. Semua berawal dari salah perhitungan oleh sang supir Panther yang terus menerima pesanan nomor kursi. Sebenarnya tidak masalah jika angkutan yang tersedia cukup. Lah ini, gara-gara sesuatu dan lain hal yang tidak diantisipasi sebelumnya, salah satu mobil divonis 'dalam proses perbaikan'. Akibatnya saya dan penumpang lain harus jadi korban, diperlakukan bak barang-barang yang bisa diatur tempatnya dan dimuat-muatkan ke dalam satu mobil.
Sesak minta ampun. Seperti yang sering saya alami jika ke Makassar atau ke Bone, tempat duduk saya lebih sering di kursi paling belakang. Barang-barang di bagasi bertumpuk hingga posisi sandaran kursi hampir tegak lurus. Karena di belakang kami duduk berempat, saya tidak dapat bagian untuk bersandar. Ya Allah, kapan saya bisa menikmati perjalanan dengan santai. Apalagi, seorang ibu paruh baya di depanku tidak berhenti mengomel dengan situasi ini.
Sepanjang jalan, saya menahan posisi tubuh agar tidak ke mana-mana. Kalau seperti begini keadaannya, saya tidak bisa tidur sama sekali selama perjalanan. Penderitaan saya bertambah, ketika Pak Supir menyetel keras sound-sound menghentak sampai ke jantung ala ala tripping diskotek kampung. Hiks...hiks...sempurnalah perjalanan empat jamku.
Saya tidak tahan lagi, tapi apa bisa dikata, Si Supir jadinya ngantuk kalau tidak ada musik pengusik jantung. Keselamatan kami bagaimana pun berada di tangannya...Daripada dia menyuruh kami turun di lokasi antah berantah di tengah malam, lebih baik merecap pengalaman sekali-sekali ini, meski dengan suasana hati yang tidak enak. Sejak mobil meninggalkan kantor agen hingga ke halte perhentian saya, sound-sound itu terus berkumandang, mengejek-ejek saya yang berani mencoba pengalaman baru dalam lembaran sejarah saya bab bolak balik Makassar-Bone.
Sesak minta ampun. Seperti yang sering saya alami jika ke Makassar atau ke Bone, tempat duduk saya lebih sering di kursi paling belakang. Barang-barang di bagasi bertumpuk hingga posisi sandaran kursi hampir tegak lurus. Karena di belakang kami duduk berempat, saya tidak dapat bagian untuk bersandar. Ya Allah, kapan saya bisa menikmati perjalanan dengan santai. Apalagi, seorang ibu paruh baya di depanku tidak berhenti mengomel dengan situasi ini.
Sepanjang jalan, saya menahan posisi tubuh agar tidak ke mana-mana. Kalau seperti begini keadaannya, saya tidak bisa tidur sama sekali selama perjalanan. Penderitaan saya bertambah, ketika Pak Supir menyetel keras sound-sound menghentak sampai ke jantung ala ala tripping diskotek kampung. Hiks...hiks...sempurnalah perjalanan empat jamku.

9 November 2009
The Wedding
Saya terkaget-kaget melihat harga barang-barang di City One, masya Allah mahalnya (beginilah manusia dunia ketiga, kaget melihat barang mahal, heheheh). Bersama Were, saya sedang hunting kado pernikahan buat teman yang telah hidup bersamaku selama sebulan di dunia KKN desa Matajang, pertengahan 2007 silam.
"Buat koki tercantik di dunia: Time Flies, but Love is Another Story", begitulah kalimat yang kusematkan buat Kiky, sang pengantin. Dan begitu kado itu menemui tuannya, saya harus memastikan bahwa dia sendiri yang harus membukanya.
***
Entah ini pernikahan ke berapa yang saya hadiri tahun ini. Desy, Rani, Nita, Faika, Andi Bio, Kiki, belum lagi attending mewakili ibu kalau sedang sakit. Saya senang jika diundang dan lebih bersemangat lagi menghadirinya. Saya rela pulang balik Makassar-Bone, berdesak-desakan di mobil panther, demi melihat cahaya kebahagiaan di mata mereka. Mungkin buat beberapa orang apalah arti sebuah kunjungan, tapi menurut saya itulah bentuk pengejawantahan perhatian dan penghargaan bagi teman atau sahabat.
Tak terbayang kebahagiaan yang akan melanda saya jika teman-teman yang saya undang menyempatkan diri menghadiri pernikahan saya kelak (amin :). Bagi saya pernikahan tidak hanya menyatukan dua keluarga yang baru saling mengenal, namun juga wahana menyambung silaturahmi yang telah terputus selama bertahun-tahun (ini di luar kenikmatan sajian gratis makanan aneka rasa). Dan saya bahagia jika bertemu dengan orang-orang yang sadar ataupun tidak sadar telah bersama-sama saling merajut makna dan memberi arti...
Asa yang Berlari
16 lagu di kepalaku terus berotasi melalui pemutar musik hape di pangkuanku. Dan di kepalaku hanya ada tiga pikiran yang terus saling beradu. Besok berkas lamaran harus dimasukkan, bayar hutang, dan bertemu keponakanku. Namun, pada poin ketiga inilah tujuan utamaku pulang ke Bone. Aku rindu sekali padanya.
Suaraku membahana memanggilnya. Ia tidak mau melepaskan diri dari buaian sang ibu ketika aku datang. Betapa aku ingin sekali melihat dia berjalan. Beberapa minggu lalu ibu mengabarkan berita gembira itu. Kerinduanku akhirnya mencair juga melihat ia tersenyum, walau masih ragu menghampiriku.
Agak khawatir juga dengan posisi berjalannya yang belum seimbang benar. Kalau dia berjalan, kakinya tidak menghadap ke depan, tapi terbuka ke arah luar tubuhnya yang masih rapuh. Sesekali ia memegang sesuatu sebagai penyeimbang, entah mainan, tas kantor ibunya, atau sapu lidi.
Agak khawatir juga dengan posisi berjalannya yang belum seimbang benar. Kalau dia berjalan, kakinya tidak menghadap ke depan, tapi terbuka ke arah luar tubuhnya yang masih rapuh. Sesekali ia memegang sesuatu sebagai penyeimbang, entah mainan, tas kantor ibunya, atau sapu lidi.
Sebentar sekali aku bisa mencairkan gunung es rindu, malam ini aku harus pulang lagi ke Makassar. Tapi tidak apa-apa, kusimpan saja lelehan-lelehan itu agar membeku kembali, agar aku bisa pulang dan membawakannya mainan dan sepatu-sepatu lucu yang sering kulihat di pusat-pusat belanja.
So, Run Asa!!!! Run!!!
6 November 2009
Dua Puluh Satu Ilham

Oh, ternyata sudah tanggal 6, tidak ada yang berarti pertama kali aku melihat layar. Namun angka ini tiba-tiba membawa ingatan dari dua kamar sebelah, adik saya Ilham hari ini tepat berusia 21 tahun. Rencananya, saya mau menaruh kemalasan pada momen ini. Tidak perlu repot-repot bilang selamat.
Hufh...saya teringat tahun lalu di 22-ku. Ia membawakan kue berlilin dengan sebungkus kado. Ingatan yang menuntun jari-jari malas saya menekan tuts huruf yang akhirnya terangkai menjadi kalimat "HEPI BDAY", singkat, padat, dan malas....Malas juga rasanya, waktu ia mengirim pesan balasan "makasih, ih senangku"....
Asaku, cepat-cepatlah selesai kuliah, itu TV kalau malam tolong volumenya dikurangi, soalnya saya jadi insomniac mendengar tayangan-tayangan berita. Terakhir, jangan pernah mengeluh kalau dimintai tolong, ya!!!
5 November 2009
Eksperimentasi
Ide ancur ini berawal dari matahari yang tiba-tiba bersinar dengan cerahnya. Mumpung cahaya sedang bagus-bagusnya layak soft box, saya meminta ka harwan mengabadikan beberapa saat. Harap diingat tidak ada satupun pose di atas yang natural, semuanya terorientasi dengan sangat disengaja, mafhum wajah ini tidak mirip kamera a.k.a. tidak camera face. Tapi bolehlah, buat katalog produk distro darimanaaaa gitu?!! Hehehe, saya tidak keberatan jika anda tersenyum, ngakak, atau kening anda jadi berkerut.
Model: Erato Kleio
Fotografer: Harwan Sang Alang
Penata Gaya: Harwan Sang Alang
Lighting: Victor Lingka
Lokasi: Pondok Rahmat
Jilbab: Paris MTC
Baju: Airwalk Cap Karung
Jeans: WR
Sepatu: Cafu
Tas: Export
Kamera: Sony Ericsson K530i 2 MP
Fotografer: Harwan Sang Alang
Penata Gaya: Harwan Sang Alang
Lighting: Victor Lingka
Lokasi: Pondok Rahmat
Jilbab: Paris MTC
Baju: Airwalk Cap Karung
Jeans: WR
Sepatu: Cafu
Tas: Export
Kamera: Sony Ericsson K530i 2 MP
29 October 2009
The Interview
.gif)
Jadi, tadi malam, di sela-sela hirupan napas yang diwarnai ingus di lorong-lorong hidung akibat influenza, saya mengumpulkan beberapa pertanyaan dari beberapa edisi majalah yang telah kukumpulkan sejak kurang lebih empat tahun lalu. Hitung-hitung, tindakan ini agak daripada menghadapi ketidakpastian kapan seorang jurnalis mendatangi saya dan menginterogasi dengan segepok pertanyaans. Dan inilah dia daftar pertanyaan itu:
Apa album yang paling sering anda dengarkan?
The Resistance dan Absolution nya Muse, Hopes and Fears nya Keane, sama Avril Lavigne di album Let Go. Mantafff!!!
Siapa orang pertama yang mengatakan pada anda tulisan anda bagus?
Dian Fachriani, teman angkatan di Ilmu Komunikasi UH, Dian suka dengan cerpen pertama saya 'Mandi Hujan' yang diterbitkan di buletin Acta Diurna. Thanks Dian :)
Apa yang dulu tidak bisa dibeli, sekarang bisa dibeli?
Pake duit sendiri? Mmm..sneaker biru idaman sejak lima tahun lalu, baru bisa dibeli bulan lalu. Asiiikk!!!
Apa tulisan anda yang paling anda benci?
Saya pernah buat puisi waktu SMA, sudah lupa judulnya. Kalo dibaca lagi rasanya mau bunuh diri, heheheh, mungkin karena tidak ada pengetahuan sama sekali tentang puisi, bisa jadi itu adalah puisi pertama dan terakhir saya.
Siapa yang buat anda iri saat ini?
Yarra Aristi, mantan editor Rolling Stone Indonesia, tulisannya bagus skali sampai tidak mau baca sampai akhir, sedih juga waktu Yarra milih mengundurkan diri dari RSI sejak Agustus lalu.
Apakah anda punya bakat spesial atau aneh?
Saya bisa membungkus kado dengan rapi, dapat sabuk orange Karate Do Gojukai (wih, bangga sekali!), ahli mencukup-cukupkan ruang, dan penyanyi kamar mandi.
Salah satu momen paling bahagia dalam hidup anda?
Waktu lulus SPMB 2004, saya bisa melihat rona bahagia di wajah ibu yang langsung memeluk begitu dapat kabar kelulusan itu.
Momen terburuk?
Kelas 1 SMA, ganti merek shampoo, tidak dinyana menjadi awal kerontokan rambut saya sampai hari ini. Seandainya bisa kembali ke masa lalu, saya tidak akan ngotot meminta adik saya membelikan satu sachet shampoo 'perusak' masa depan, hahahah...
Foto apa di rumah anda yang paling anda banggakan?
Foto diri sendiri, di take saat umur 5 tahun, waktu kecil saya takut dengan blitz kamera karena menggagap bisa membutakan mata saya. Jadinya, tubuh saya sangat kaku seperti sedang menanti eksekusi. Mata melotot, kedua tangan terkulai kaku. Tapi syukurlah, foto itu sering mengundang senyum di wajah tamu yang datang berkunjung.
Lagu apa yang anda harapkan anda yang menuliskannya?
Ruled by Secrecy nya Muse, bikin merinding, susah tidur, yang tidak tahan mental bisa bunuh diri (deh, segitunya!!!)
Lagu apa sering menunda pekerjaan anda?
Dia nya Malid and The Essential, hihihi...
Salah satu busana anda yang paling berharga?
Sepotong jeans yang tidak pernah diganti, karena tidak ada duit, ckckckck...
Penulis yang membuat anda menulis?
Diah Kalsitorini, penulis serial 'Zahara' di majalah Aneka Yess.
Siapa yang anda harapkan jadi endorser untuk tulisan anda?
Fanny Jonathan Poyk, Nukila Amal, Yarra Aristi, Susanna Tamaro.. (amiiin)
Got any own? so why don't write down yours, guys?!!! :)
The Resistance dan Absolution nya Muse, Hopes and Fears nya Keane, sama Avril Lavigne di album Let Go. Mantafff!!!
Siapa orang pertama yang mengatakan pada anda tulisan anda bagus?
Dian Fachriani, teman angkatan di Ilmu Komunikasi UH, Dian suka dengan cerpen pertama saya 'Mandi Hujan' yang diterbitkan di buletin Acta Diurna. Thanks Dian :)
Apa yang dulu tidak bisa dibeli, sekarang bisa dibeli?
Pake duit sendiri? Mmm..sneaker biru idaman sejak lima tahun lalu, baru bisa dibeli bulan lalu. Asiiikk!!!
Apa tulisan anda yang paling anda benci?
Saya pernah buat puisi waktu SMA, sudah lupa judulnya. Kalo dibaca lagi rasanya mau bunuh diri, heheheh, mungkin karena tidak ada pengetahuan sama sekali tentang puisi, bisa jadi itu adalah puisi pertama dan terakhir saya.
Siapa yang buat anda iri saat ini?
Yarra Aristi, mantan editor Rolling Stone Indonesia, tulisannya bagus skali sampai tidak mau baca sampai akhir, sedih juga waktu Yarra milih mengundurkan diri dari RSI sejak Agustus lalu.
Apakah anda punya bakat spesial atau aneh?
Saya bisa membungkus kado dengan rapi, dapat sabuk orange Karate Do Gojukai (wih, bangga sekali!), ahli mencukup-cukupkan ruang, dan penyanyi kamar mandi.
Salah satu momen paling bahagia dalam hidup anda?
Waktu lulus SPMB 2004, saya bisa melihat rona bahagia di wajah ibu yang langsung memeluk begitu dapat kabar kelulusan itu.
Momen terburuk?
Kelas 1 SMA, ganti merek shampoo, tidak dinyana menjadi awal kerontokan rambut saya sampai hari ini. Seandainya bisa kembali ke masa lalu, saya tidak akan ngotot meminta adik saya membelikan satu sachet shampoo 'perusak' masa depan, hahahah...
Foto apa di rumah anda yang paling anda banggakan?
Foto diri sendiri, di take saat umur 5 tahun, waktu kecil saya takut dengan blitz kamera karena menggagap bisa membutakan mata saya. Jadinya, tubuh saya sangat kaku seperti sedang menanti eksekusi. Mata melotot, kedua tangan terkulai kaku. Tapi syukurlah, foto itu sering mengundang senyum di wajah tamu yang datang berkunjung.
Lagu apa yang anda harapkan anda yang menuliskannya?
Ruled by Secrecy nya Muse, bikin merinding, susah tidur, yang tidak tahan mental bisa bunuh diri (deh, segitunya!!!)
Lagu apa sering menunda pekerjaan anda?
Dia nya Malid and The Essential, hihihi...
Salah satu busana anda yang paling berharga?
Sepotong jeans yang tidak pernah diganti, karena tidak ada duit, ckckckck...
Penulis yang membuat anda menulis?
Diah Kalsitorini, penulis serial 'Zahara' di majalah Aneka Yess.
Siapa yang anda harapkan jadi endorser untuk tulisan anda?
Fanny Jonathan Poyk, Nukila Amal, Yarra Aristi, Susanna Tamaro.. (amiiin)
Got any own? so why don't write down yours, guys?!!! :)
18 October 2009
Adu Nyali di Malam Minggu (Ala Darma)
Rencananya malam ini kami hanya menghadiri sebuah acara kuliah umum di salah satu sekolah tinggi ekonomi di Makassar. Kedatangan kami adalah mencari sang pemberi kuliah umum yang bukan kebetulan seorang bos besar perusahaan di kota ini untuk keperluan wawancara. Setelah ganti angkot (karena salah arah), saya menghampiri Darma, yang bukan kebetulan juga adalah pentolan persekongkolan naga di kampus.
Malam mulai melahap hari, saat kami melintasi Abd. Daeng Sirua (seorang ibu paruh baya dan seorang perempuan muda mengeluh akan kelakuan supir angkot yang suka ngetem tiba-tiba dalam waktu yang -menurut mereka- sangat lama). Sepanjang perjalanan, kami bercerita soal Nanang yang pernah melakukan kesalahan fatal dalam urusan pengangkutan.
Setibanya di sana, kami langsung menuju lantai dua gedung yang lebih mirip supermarket dibanding ruang berbau akademik. Kami lalu mendapati aula yang suasanya juga lebih mirip acara kawinan (pake elekton segala), bukan atmosfir ruang kuliah seperti dalam bayangan saya. Belum lagi ketika paduan suara mengambil alih acara, gendang telinga saya rasanya mau pecah keluar berhamburan.
Orang yang dinanti pun tiba telat setengah jam dari jadwal. Di sepanjang acara, saya dan Darma malah asik ngobrol berdua tidak menaruh perhatian. Satu setengah jam kemudian, tepatnya jan 9 malam, the big boss mengakhiri tatap muka dan diskusi. Segera saja kami menghampiri, berharap dianya punya waktu untuk wawancara. Dan ternyata...tidak bisa, doski kelelahan, "besok aja di rumahnya, lowong kok waktunya", begitu kata orang dekatnya, tentu dengan santainya.
Ya, kedatangan kami sia-sia saja, jauh-jauh kami datang dari Tamalanrea, hanya untuk melihat pengukuhan mahasiswa baru. Darma lalu mengajak saya ke warung tenda Ka Ilo. Dari irama suaranya, aku mendapati ia begitu 'bahagia' bisa melalui malam minggu yang panjang. Namun di balik kebahagiaannya itu, tahu-tahu ada rencana 'besar' di benaknya.
Jam menunjukkan pukul 22.30, mustahil menemukan angkot jurusan kampus Unhas. Saya sudah memberi solusi naik taksi, aman dan terkendali. Namun ia bersikeras naik angkot, meski harus nyambung berkali-kali. Katanya kapan lagi menikmati Makassar di malam minggu.
Malam mulai melahap hari, saat kami melintasi Abd. Daeng Sirua (seorang ibu paruh baya dan seorang perempuan muda mengeluh akan kelakuan supir angkot yang suka ngetem tiba-tiba dalam waktu yang -menurut mereka- sangat lama). Sepanjang perjalanan, kami bercerita soal Nanang yang pernah melakukan kesalahan fatal dalam urusan pengangkutan.
Setibanya di sana, kami langsung menuju lantai dua gedung yang lebih mirip supermarket dibanding ruang berbau akademik. Kami lalu mendapati aula yang suasanya juga lebih mirip acara kawinan (pake elekton segala), bukan atmosfir ruang kuliah seperti dalam bayangan saya. Belum lagi ketika paduan suara mengambil alih acara, gendang telinga saya rasanya mau pecah keluar berhamburan.
Orang yang dinanti pun tiba telat setengah jam dari jadwal. Di sepanjang acara, saya dan Darma malah asik ngobrol berdua tidak menaruh perhatian. Satu setengah jam kemudian, tepatnya jan 9 malam, the big boss mengakhiri tatap muka dan diskusi. Segera saja kami menghampiri, berharap dianya punya waktu untuk wawancara. Dan ternyata...tidak bisa, doski kelelahan, "besok aja di rumahnya, lowong kok waktunya", begitu kata orang dekatnya, tentu dengan santainya.
Ya, kedatangan kami sia-sia saja, jauh-jauh kami datang dari Tamalanrea, hanya untuk melihat pengukuhan mahasiswa baru. Darma lalu mengajak saya ke warung tenda Ka Ilo. Dari irama suaranya, aku mendapati ia begitu 'bahagia' bisa melalui malam minggu yang panjang. Namun di balik kebahagiaannya itu, tahu-tahu ada rencana 'besar' di benaknya.
Jam menunjukkan pukul 22.30, mustahil menemukan angkot jurusan kampus Unhas. Saya sudah memberi solusi naik taksi, aman dan terkendali. Namun ia bersikeras naik angkot, meski harus nyambung berkali-kali. Katanya kapan lagi menikmati Makassar di malam minggu.
***
Di tanganku, aku memegang minyak telon ajaib (karena mempertemukan kami dengan Nire dengan tiba-tiba di sebuah mall) penawar masuk angin yang menimpaku. Aku masih di bawah pengaruh mabuk naik lift di gedung kuliah umum tadi. Pijakanku rasanya lembek seperti spring bed. Sementara jantungku berdebar-debar menanti angkot yang tak kunjung menampakkan diri. Sepertinya, inilah rencana 'besar' itu. Harus kuakui, ia benar-benar perempuan tangguh.
Gerak tubuhku sedari tadi mengisyaratkan gelisah tak berkesudahan. Namun, ibu yang satu ini malah tertawa melihat penderitaanku. Rasanya seperti adu nyali di tivi-tivi, di mana penonton disuguhi ekspresi ketakutan si peserta. Akulah pesertanya, Darma-lah penontonnya. Akhirnya, pete-pete IKIP mengakhiri adu nyali ini, dengan resiko kami harus nyambung angkot lagi.
Tapi tahukah anda, malam ini duit kami seperti habis hanya untuk ongkos angkot. Kami salah jurusan, saudara-saudara!!! Padahal malam sudah dalam taraf larut. Kami hanya bisa saling menertawai lalu menyalahkan sang big boss yang menolak diwawancara. Ya, tidak ada yang perlu disesalkan, rasanya. Ia membawa kami ke pengalaman baru yang bisa ditertawakan Toh, besok tidak ada ospek yang mengharuskan kami bangun subuh, lalu berdandan ala The Crow dengan perasaan terpaksa.
Gerak tubuhku sedari tadi mengisyaratkan gelisah tak berkesudahan. Namun, ibu yang satu ini malah tertawa melihat penderitaanku. Rasanya seperti adu nyali di tivi-tivi, di mana penonton disuguhi ekspresi ketakutan si peserta. Akulah pesertanya, Darma-lah penontonnya. Akhirnya, pete-pete IKIP mengakhiri adu nyali ini, dengan resiko kami harus nyambung angkot lagi.
Tapi tahukah anda, malam ini duit kami seperti habis hanya untuk ongkos angkot. Kami salah jurusan, saudara-saudara!!! Padahal malam sudah dalam taraf larut. Kami hanya bisa saling menertawai lalu menyalahkan sang big boss yang menolak diwawancara. Ya, tidak ada yang perlu disesalkan, rasanya. Ia membawa kami ke pengalaman baru yang bisa ditertawakan Toh, besok tidak ada ospek yang mengharuskan kami bangun subuh, lalu berdandan ala The Crow dengan perasaan terpaksa.

Subscribe to:
Posts (Atom)