9 November 2009

Asa yang Berlari

Mataku terlelap, tubuhku tersandar, setiap kali ban mobil menggilas permukaan kasar, tubuh dan mata itu akan tersentak. Aku berada di antara tiga penumpang mobil lainnya. Semuanya perempuan, dua di antaranya dengan ukuran agak jumbo, membuat jok paling belakang panther ini terasa sangat sempit. Badanku rasanya terjepit hingga aku lebih sering memilih posisi tidak sandar.

16 lagu di kepalaku terus berotasi melalui pemutar musik hape di pangkuanku. Dan di kepalaku hanya ada tiga pikiran yang terus saling beradu. Besok berkas lamaran harus dimasukkan, bayar hutang, dan bertemu keponakanku. Namun, pada poin ketiga inilah tujuan utamaku pulang ke Bone. Aku rindu sekali padanya.

Suaraku membahana memanggilnya. Ia tidak mau melepaskan diri dari buaian sang ibu ketika aku datang. Betapa aku ingin sekali melihat dia berjalan. Beberapa minggu lalu ibu mengabarkan berita gembira itu. Kerinduanku akhirnya mencair juga melihat ia tersenyum, walau masih ragu menghampiriku.

Agak khawatir juga dengan posisi berjalannya yang belum seimbang benar. Kalau dia berjalan, kakinya tidak menghadap ke depan, tapi terbuka ke arah luar tubuhnya yang masih rapuh. Sesekali ia memegang sesuatu sebagai penyeimbang, entah mainan, tas kantor ibunya, atau sapu lidi.

Sebentar sekali aku bisa mencairkan gunung es rindu, malam ini aku harus pulang lagi ke Makassar. Tapi tidak apa-apa, kusimpan saja lelehan-lelehan itu agar membeku kembali, agar aku bisa pulang dan membawakannya mainan dan sepatu-sepatu lucu yang sering kulihat di pusat-pusat belanja.

So, Run Asa!!!! Run!!!

No comments: