28 November 2009

Midas

Suatu saat aku mendengar malaikat berbisik, "kesempatanmu lebih banyak darinya, lihat, tulang-tulangnya mulai rapuh, kulitnya bergelantungan seperti ditarik magnet bumi, tumitnya retak-retak, rambutnya berguguran... Lihat dirimu, rambut dan wajahmu berminyak oleh sel-sel tubuhmu bekerja penuh semangat dan tidak kenal putus asa, kakimu kokoh mencengkram tanah yang kau pijak, matamu melampaui masa dan semesta, dan kulitmu..., kulit yang kuambilkan untukmu dari kutub utara waktu engkau diciptakan, melekat erat di dagingmu, gravitasi tidak kuasa mengendalikannya..."

Ah, monolog apa ini? Aku tersadar saat melihat api sedang asik menjilati sebuah periuk besar berisi air.

Sepertinya malaikat numpang sesaat itu salah orang. Lebih tepat kalimat itu untuk seorang wanita di hadapanku yang berpeluk peluh. Tiap kali ia berlalu, tubuhnya meninggalkan aroma asap dari kayu lembab yang terbakar. Matanya tidak pernah lelap dan kakinya menjangkau seperti sanggup menapaki jalan puluhan kilometer.

Aku curiga sebenarnya ia adalah raja midas. Apapun yang disentuhnya akan memberi hidup dan mengundang decak kagum. Aku heran ia selalu mengeluh dengan tenaganya yang makin aus, tapi yang kulihat adalah wanita yang sama sejak aku menyadari kehadiranku di dunia. Yang berbeda kini hanya rasa masakannya yang makin kurang asin.

Selebihnya, ia masih jadi perempuan yang selalu membuatku cemburu. Orang-orang memuji ketekunan dan keuletannya, sementara aku tidak mewarisi sifat ini darinya. Dia sang raja yang perfeksionis, waktu adalah musuh yang harus ditaklukkan...Tidak seperti aku yang dengan mudahnya berdamai, bahkan walau tanpa iming-iming dari sang waktu yang sombong...

No comments: