Saya pernah meng-add seorang public figure idola saya waktu usia sekolah menengah. Hingga terakhir kali saya melihat daftar teman, pada ikon fotonya masih ada tulisan ‘waiting for approval’, masih menunggu konfirmasi dari pihak bersangkutan. Kening saya berkerut menelusuri kemungkinan-kemungkinan permintaan saya belum diterima.
Saya malah jadi tertawa-tawa sendiri dengan pikiran-pikiran sinis ini: “wah, saya kan penggemar anda, kok tidak di-approve?
Apa saja kualifikasi yang harus saya miliki supaya saya bisa berteman dengan anda, tuan yang saya idolakan? Jawabannya sederhana saja, tuan idola ini tidak mengenal saya, modal ‘saya fans setia anda sejak SMP’ saja tidak cukup untuk membuat jarinya menekan ikon approve pada layar di hadapannya.
Akan halnya remove, saya pernah punya pengalaman aneh. Aneh dalam artian saya heran karena tiba-tiba di-remove oleh beberapa orang yang telah berstatus teman di Facebook. Kejadian ini bermula saat saya dengan sadar mengganti username dan foto profil saya. Tidak dalam waktu dua minggu, beberapa orang itu menghilang dari daftar teman saya.
Mungkin dengan ‘diri’ yang baru itu, saya menjelma menjadi sosok asing, tidak dikenal, berpotensi menjadi penguntit aktivitasnya di facebook, parasit info, the other yang tidak diharapkan kehadirannya di dunia Facebook, hingga akhirnya saya di-remove bahkan oleh teman yang telah mengenal saya dengan baik dalam keseharian.
Baik fasilitas approve maupun remove adalah dua kata yang sarat pertimbangan nilai dan kepentingan. Ikon budaya digital ini adalah wadah perwujudan keengganan seseorang berteman atau tetap menjadi teman orang-orang. Karena saya tidak tahu dia, dia asing, dia tidak boleh dapat informasi diri lewat profil facebook saya, saya hanya ingin bercengkrama dengan teman-teman saya, karena dia menjengkelkan, dia bukan bagian dari geng, dia bikin malu, dia membahayakan karir saya, bisa jadi alasan tersumbatnya kelangsungan hubungan.
Kita telah mengenal Facebook sebagai ruang terbuka dan menghubungkan orang-orang di seluruh dunia. Siapa yang tidak pernah mendengar jargon ini ”Give people the power to share and make the world more open and connected. Keterhubungan, siapa yang meragukan mesin deteksi Facebook? Keterbukaan, semua user bisa publikasi diri hingga terkenal lewat Facebook dan saya bisa jadi tukang gosip hanya dengan melihat dan mengamati profil atau info terbaru mereka lewat News Feed.
Namun, sadarkah Mark Zuckerberg (founder Facebook)bahwa keterbukaan yang diusungnya itu akan menjadi boomerang. Sebuah nilai jual yang menghancurkan pemahaman orang-orang mengenai konsep privat-publik dengan merubah norma-norma sosial yang dipahami sebelumnya.
Hal yang tak diperhatikan oleh jargon tersebut adalah bahwa setiap individu, kelompok atau masyarakat aneka warna memiliki cara pandang yang berbeda memaknai keterbukaan dan koneksi itu. Jauh dari keterbukaan versi pendiri Facebook. Jadi ketika jargon tersebut dihadirkan, pada saat itu juga Mark memaksakan suatu diskursus tunggal tentang keterbukaan.
Jika dunia yang lebih terbuka dan saling terhubung yang dimaksud oleh Mark adalah keterhubungan antar jaringan dan alat, maka ia sudah berhasil sejak pertama kali ia meluncurkan produk ini. Akan tetapi manusia bukanlah alat yang tidak berpikir dan tidak punya pilihan.
Hubungan antara privat dan penilaian orang-orang ‘luar’ yang melihatnya tidak dapat dipisahkan. Seseorang akan risih dan tidak nyaman dengan penilaian-penilaian budaya dan sosial hingga mempertimbangkan kembali informasi yang akan ia masukkan ke dalam akunnya.
Mark dkk memang pada akhirnya sadar. Maka yang kita lihat selama dua tahun ini adalah modifikasi tiada henti dalam hal filterisasi informasi meski akan mengikis konsep keterbukaan ala facebook itu dengan sendirinya. Siapa saja yang bisa mengakses profil, status, foto-foto, pembicaraan-pembicaraan saya, siapa saja yang bisa melihat saya sedang online, jumlah notifikasi yang masuk, bisa disaring sedemikian rupa demi kenyamanan pengguna. Jika semua filter ini belum dirasa cukup, Facebook punya fasilitas ‘remove’, daripada repot-repot men-setting privasi akun saya, mending langsung remove saja, no big deal…
Dari usaha-usaha yang terus diperbarui ini, Facebook makin menunjukkan dirinya sebagai negosiator ulung. Pernah suatu kali saya mau men-deactive kan akun saya. Tiap kali saya ingin menekan ikon deactivate, Facebook ini seperti salesman, yang tidak berhenti mempersuasi saya agar tetap menggunakan facebook dengan iming-iming privasi yang lebih tertutup, bahkan ‘mengancam’saya akan kehilangan teman-teman saya. (memang di dunia ini hanya ada Facebook saja?)
Kembali ke kedua tindakan sosial tadi, saya juga menimbang-nimbang kemungkinan alasan seseorang me-remove atau tidak meng-approve saya. Tidak ada masalah dengan hal ini. Setiap orang berhak memilih orang yang ingin dijadikan teman.
Di lain pihak Facebook telah berhasil memangkas jarak dan waktu yang selama ini jadi pagar pembatas fisik, namun apakah ia berhasil loncat pagar budaya yang lebih sering jadi ‘pengungkung’ sebuah hubungan atau interaksi. Well, Ini adalah cerita lain.
Seperti kata Mcluhan, media adalah perpanjangan tubuh manusia, tapi apakah terjadi perpanjangan budaya, apakah terjadi peleburan budaya lewat media itu, apakah sekat-sekat yang terbangun dengan sendirinya di ruang-ruang sosial ikut luruh bersama leburnya batas-batas fisik dalam dunia keseharian, adalah pertanyaan yang jawabannya ada di diri masing-masing orang yang mengalami sendiri sensasi media baru ini.
Oleh karena itu pertanyaan “kenapa saya di-remove? saya kan hanya mau berteman, ini kan situs pertemanan”, tidak akan menemukan jawaban, sama halnya jawaban yang ada tidak akan cukup memuaskan sang penanya jika tidak paham dengan pemikiran manusia yang terus bergejolak.
Untung saja sampai hari ini, News Feed tidak mengabarkan info bahwa orang ini me-remove ini, orang ini cabut dari ini ini? Wah bakal kacau jadinya…bisa-bisa terjadi keretakan-keretakan sosial yang diamati lalu digosipkan bersama-sama. Ah, ada-ada saja…
No comments:
Post a Comment