29 October 2009

The Interview

Saya sering tertarik dan bersemangat mendengar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh jurnalis majalah terhadap narasumbernya. Ya, kebanyakan narasumber mereka adalah figur ternama. Saya selalu membayangkan bagaimana kira-kira jika saya disodorkan pertanyaan serupa.

Jadi, tadi malam, di sela-sela hirupan napas yang diwarnai ingus di lorong-lorong hidung akibat influenza, saya mengumpulkan beberapa pertanyaan dari beberapa edisi majalah yang telah kukumpulkan sejak kurang lebih empat tahun lalu. Hitung-hitung, tindakan ini agak daripada menghadapi ketidakpastian kapan seorang jurnalis mendatangi saya dan menginterogasi dengan segepok pertanyaans. Dan inilah dia daftar pertanyaan itu:

Apa album yang paling sering anda dengarkan?
The Resistance dan Absolution nya Muse, Hopes and Fears nya Keane, sama Avril Lavigne di album Let Go. Mantafff!!!

Siapa orang pertama yang mengatakan pada anda tulisan anda bagus?
Dian Fachriani, teman angkatan di Ilmu Komunikasi UH, Dian suka dengan cerpen pertama saya 'Mandi Hujan' yang diterbitkan di buletin Acta Diurna. Thanks Dian :)

Apa yang dulu tidak bisa dibeli, sekarang bisa dibeli?
Pake duit sendiri? Mmm..sneaker biru idaman sejak lima tahun lalu, baru bisa dibeli bulan lalu. Asiiikk!!!

Apa tulisan anda yang paling anda benci?
Saya pernah buat puisi waktu SMA, sudah lupa judulnya. Kalo dibaca lagi rasanya mau bunuh diri, heheheh, mungkin karena tidak ada pengetahuan sama sekali tentang puisi, bisa jadi itu adalah puisi pertama dan terakhir saya.

Siapa yang buat anda iri saat ini?
Yarra Aristi, mantan editor Rolling Stone Indonesia, tulisannya bagus skali sampai tidak mau baca sampai akhir, sedih juga waktu Yarra milih mengundurkan diri dari RSI sejak Agustus lalu.

Apakah anda punya bakat spesial atau aneh?
Saya bisa membungkus kado dengan rapi, dapat sabuk orange Karate Do Gojukai (wih, bangga sekali!), ahli mencukup-cukupkan ruang, dan penyanyi kamar mandi.

Salah satu momen paling bahagia dalam hidup anda?
Waktu lulus SPMB 2004, saya bisa melihat rona bahagia di wajah ibu yang langsung memeluk begitu dapat kabar kelulusan itu.

Momen terburuk?
Kelas 1 SMA, ganti merek shampoo, tidak dinyana menjadi awal kerontokan rambut saya sampai hari ini. Seandainya bisa kembali ke masa lalu, saya tidak akan ngotot meminta adik saya membelikan satu sachet shampoo 'perusak' masa depan, hahahah...

Foto apa di rumah anda yang paling anda banggakan?
Foto diri sendiri, di take saat umur 5 tahun, waktu kecil saya takut dengan blitz kamera karena menggagap bisa membutakan mata saya. Jadinya, tubuh saya sangat kaku seperti sedang menanti eksekusi. Mata melotot, kedua tangan terkulai kaku. Tapi syukurlah, foto itu sering mengundang senyum di wajah tamu yang datang berkunjung.

Lagu apa yang anda harapkan anda yang menuliskannya?
Ruled by Secrecy nya Muse, bikin merinding, susah tidur, yang tidak tahan mental bisa bunuh diri (deh, segitunya!!!)

Lagu apa sering menunda pekerjaan anda?
Dia nya Malid and The Essential, hihihi...

Salah satu busana anda yang paling berharga?
Sepotong jeans yang tidak pernah diganti, karena tidak ada duit, ckckckck...

Penulis yang membuat anda menulis?
Diah Kalsitorini, penulis serial 'Zahara' di majalah Aneka Yess.

Siapa yang anda harapkan jadi endorser untuk tulisan anda?
Fanny Jonathan Poyk, Nukila Amal, Yarra Aristi, Susanna Tamaro.. (amiiin)


Got any own? so why don't write down yours, guys?!!! :)

20 October 2009

Chaos

Kita tidak pernah tahu apa yang sedang direncanakan oleh ketidakteraturan dan kebetulan-kebetulan yang kadang kita anggap sebagai kerikil dalam langkah yang telah terhitung dengan pasti. Aku masih seperti dulu, seekor kepompong yang nyaman dengan rumahnya, sebentuk mutiara yang tertidur pulas di antara katup kerang. Kapan aku bisa menantang tantangan, aku tidak tahu.. dan semoga aku tidak jadi orang yang tidak mau tahu...

18 October 2009

Adu Nyali di Malam Minggu (Ala Darma)

Rencananya malam ini kami hanya menghadiri sebuah acara kuliah umum di salah satu sekolah tinggi ekonomi di Makassar. Kedatangan kami adalah mencari sang pemberi kuliah umum yang bukan kebetulan seorang bos besar perusahaan di kota ini untuk keperluan wawancara. Setelah ganti angkot (karena salah arah), saya menghampiri Darma, yang bukan kebetulan juga adalah pentolan persekongkolan naga di kampus.

Malam mulai melahap hari, saat kami melintasi Abd. Daeng Sirua (seorang ibu paruh baya dan seorang perempuan muda mengeluh akan kelakuan supir angkot yang suka ngetem tiba-tiba dalam waktu yang -menurut mereka- sangat lama). Sepanjang perjalanan, kami bercerita soal Nanang yang pernah melakukan kesalahan fatal dalam urusan pengangkutan.

Setibanya di sana, kami langsung menuju lantai dua gedung yang lebih mirip supermarket dibanding ruang berbau akademik. Kami lalu mendapati aula yang suasanya juga lebih mirip acara kawinan (pake elekton segala), bukan atmosfir ruang kuliah seperti dalam bayangan saya. Belum lagi ketika paduan suara mengambil alih acara, gendang telinga saya rasanya mau pecah keluar berhamburan.

Orang yang dinanti pun tiba telat setengah jam dari jadwal. Di sepanjang acara, saya dan Darma malah asik ngobrol berdua tidak menaruh perhatian. Satu setengah jam kemudian, tepatnya jan 9 malam, the big boss mengakhiri tatap muka dan diskusi. Segera saja kami menghampiri, berharap dianya punya waktu untuk wawancara. Dan ternyata...tidak bisa, doski kelelahan, "besok aja di rumahnya, lowong kok waktunya", begitu kata orang dekatnya, tentu dengan santainya.

Ya, kedatangan kami sia-sia saja, jauh-jauh kami datang dari Tamalanrea, hanya untuk melihat pengukuhan mahasiswa baru. Darma lalu mengajak saya ke warung tenda Ka Ilo. Dari irama suaranya, aku mendapati ia begitu 'bahagia' bisa melalui malam minggu yang panjang. Namun di balik kebahagiaannya itu, tahu-tahu ada rencana 'besar' di benaknya.

Jam menunjukkan pukul 22.30, mustahil menemukan angkot jurusan kampus Unhas. Saya sudah memberi solusi naik taksi, aman dan terkendali. Namun ia bersikeras naik angkot, meski harus nyambung berkali-kali. Katanya kapan lagi menikmati Makassar di malam minggu.

***

Di tanganku, aku memegang minyak telon ajaib (karena mempertemukan kami dengan Nire dengan tiba-tiba di sebuah mall) penawar masuk angin yang menimpaku. Aku masih di bawah pengaruh mabuk naik lift di gedung kuliah umum tadi. Pijakanku rasanya lembek seperti spring bed. Sementara jantungku berdebar-debar menanti angkot yang tak kunjung menampakkan diri. Sepertinya, inilah rencana 'besar' itu. Harus kuakui, ia benar-benar perempuan tangguh.

Gerak tubuhku sedari tadi mengisyaratkan gelisah tak berkesudahan. Namun, ibu yang satu ini malah tertawa melihat penderitaanku. Rasanya seperti adu nyali di tivi-tivi, di mana penonton disuguhi ekspresi ketakutan si peserta. Akulah pesertanya, Darma-lah penontonnya. Akhirnya, pete-pete IKIP mengakhiri adu nyali ini, dengan resiko kami harus nyambung angkot lagi.

Tapi tahukah anda, malam ini duit kami seperti habis hanya untuk ongkos angkot. Kami salah jurusan, saudara-saudara!!! Padahal malam sudah dalam taraf larut. Kami hanya bisa saling menertawai lalu menyalahkan sang big boss yang menolak diwawancara. Ya, tidak ada yang perlu disesalkan, rasanya. Ia membawa kami ke pengalaman baru yang bisa ditertawakan Toh, besok tidak ada ospek yang mengharuskan kami bangun subuh, lalu berdandan ala The Crow dengan perasaan terpaksa.

17 October 2009

Hijrah yang Bikin Encok

Kamarku sudah memenuhi syarat untuk ditinggalkan. Tikus-tikus yang berseliweran makin nakal, pipis sembarangan, bahkan sudah berani membawa lari perkakas dapurku, dari dua buah sendok makan stainless steel, hingga sendok nasi besar. Belum lagi aroma lembab yang membuatku tidak pede jika ada tamu yang datang berkunjung.

Jadi, destinasi berikutnya adalah kamar sebelah yang baru saja ditinggalkan oleh penghuninya yang melanjutkan sekolah di tempat lain. Keadaannya sedikit jauh lebih baik dibanding kamarku, setidaknya tikus-tikusnya tidak segahar dan senorak yang di kamarku. Aku memperhatikan barang-barang yang mesti kupindahkan. Banyak sekali ternyata, sampai harus menelpon adikku agar membantu.

Baru setengah jalan, badanku sudah menangis-nangis. Aku kecapaian bukan main. Mana barang-barang urgent belum terangkut semua. Tiba-tiba aku mengalami encok berat. Buru-buru aku minta soft drink Ilham sisa semalam, ternyata sudah habis. Aduh... Aku hanya bisa rebahan sambil sekali sekali mengecek surat masuk di hape.

"Em, saya sudah mau berangkat ke Makassar, nanti saya kabari lagi kalo sudah di pintu satu." Ah, janji wawancara dengan bos besar perusahaan di Makassar, aku tidak lupa. Aku meringis, mataku sudah terlanjur berat, badan rasanya sudah tidak utuh lagi. Tapi aku harus memaksakan diri. Persoalan hijrah ditinggalkan dulu, toh besok bisa lanjut lagi.

Seperti biasa, keluar dari area pondokan sensasinya seperti naik gunung, mendaki terus. Aku senyum-senyum saja menikmati 'penderitaan' ini, sebelum saya ditimpa keteledoran lain, naik angkot 02, padahal arah tujuanku bersama Darma adalah jalan Alauddin. Ckckckck... Biarlah, aku masih selalu bisa fleksibel dengan hal-hal ini, termasuk encok yang menyiksaku...

13 October 2009

The Power of Blue Sneakers

Ini impianku sejak lima tahun lalu, memiliki sneaker sendiri yang bisa kupakai ke kampus. Namun, entah mengapa keinginan itu susah sekali terwujud. Aku yang tidak pernah menyisihkan uang ataukah aku yang tidak punya waktu untuk memikirkannya. Hingga kemarin, saat rutinitas kuliah sudah berakhir sejak empat bulan lalu, baru aku bisa membawanya pulang, membelai, menyentuhkan kakiku, dan mengenalkan ia pada teman-temanku. Kini ia akan jadi temanku juga, menjadi 'tanah' yang kupijak ketika mengejar matahari dan mimpi-mimpiku.

Penyihir dari Portobello

Ketika Penyihir Bertemu Ibu Agung

...Waktu kita di bumi ini sakral adanya, dan kita seharusnya merayakan tiap detiknya...
Perlu dua hari bagi saya menyelesaikan novel terakhir Paulo Coelho ini. Meski pada lembar-lembar awalnya saya masih harus beradaptasi akibat sudah terlalu lama tidak baca buku, pada akhirnya Paulo selalu memenuhi ekspektasi pembacanya, entah ide cerita yang selalu unik, atau tebaran kata-kata sakti yang bisa ditemui di tiap halaman.

Tokoh utama kali ini adalah Athena (entah mengapa Paulo selalu memilih perempuan), perempuan Romania yang diadopsi sebuah keluarga di Lebanon. Sejak kecil, Athena yang bernama lengkap Sherina Khalil ini sudah bisa melihat dunia 'lain' yang dianggap tidak wajar oleh orang di luar dirinya, termasuk ketika ia mengaku melihat sosok Bunda Maria, patung-patung gereja yang hidup dalam pikirannya, serta jalan penuh darah yang ternyata menjadi pertanda perang saudara berkepanjang di Lebanon.

Berada dalam situasi mencekam tak berkesudahan, ia sekeluarga memutuskan melanjutkan hidup di kota London. Pada usia 19 tahun, ia mewujudkan hidup terpisah dengan ayah ibunya, dengan menikahi mahasiswa senior di kampusnya. Namun tidak berapa lama setelah ia memperoleh anak, suaminya menceraikan dirinya. Athena lalu berjuang sendiri membesarkan anak lelakinya, Viorell.

Perjalan spiritual Athena semakin menunjukkan cahaya terang ketika ia bertemu sesama pelarian, seorang penyewa apartemen tempat ia menyandarkan malam-malamnya. Perlahan namun pasti, Athena menjelma menjadi seorang 'penyihir'. Athena menjadi tokoh sentral di komunitasnya bahkan di sepanjang jalan Portobello, tempat ia melakukan ritual penyembahan pada Ibu Agung setiap hari senin malam. Termasuk ketika komunitas mereka dituding sesat dan menyebarkan ajaran setan, Athena-lah yang berada di daftar urut pertama menjadi sasaran 'tembak' kelompok penghujat

Apakah yang terjadi selanjutnya pada Athena, sudah bisa diketahui pada halaman awal, namun di sinilah kekuatan gaya penceritaan Paulo kali ini. Ia memutar balik setting waktunya, hingga sensasi signifikan akan terasa jika membaca ulang novel ini dibanding pada saat pertama kali membacanya (gaya penulisan serupa dapat ditemui dalam Seratus Tahun Kesunyian).

Uniknya, tokoh Athena diceritakan dari berbagai sudut pandang orang-orag yang pernah bertemu dengannya, dari ibu angkat yang sangat menyayanginya, aktris, wartawan, pastor yang menolak memberikan hosti, guru spiritual, mantan suami, pemilik apartemen, hingga seorang polisi berkebangsaan Skotlandia. Pada akhir cerita, anda juga akan mendapatkan siapa sebenarnya yang tengah mengumpulkan data 'wawancara' dari berbagai narasumber di atas.

Seperti biasanya, kehadiran novel ini makin menegaskan Paulo sebagai seorang pagan (jika bisa dibilang demikian). Hampir di tiap novelnya ia selalu menghadirkan sosok feminin Tuhan dalam wujud Ibu Agung.Tidak ketinggalan, gairah akan mimpi-mimpi manusia yang selalu bisa terwujud jika yakin dan percaya. Jadi, formula novel kali ini adalah: Sang Alkemis + Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Tersedu = Kehilangan adalah impian.

....Siapapun yang kebetulan menyadari talentanya dan berani mengungkapkan kelebihannya, lebih sering dihadapkan pada ketidakpercayaan...

11 October 2009

Maaf, Ini Soal Selera

Hari ini masih ada yang menertawakan ST12, Kangen Band, Wali? Well, maaf jika anda salah satu di antara barisan orang-orang yang memicingkan matan pada mereka. Dulu, saya memang pernah jadi 'penyelamat' selera musik seorang teman, tetapi kini saya tidak melihatnya sebagai sebuah tindakan yang bijak.

Cerita ini agak berbeda dengan paragraf di atas, namun sama dalam cara pandang kami melihat seorang idola. Kata 'kami' merujuk pada percakapan tiga orang, antara aku, Ifzan, dan Doddy. Tanpa pendekar awan dan angin, tiba-tiba ada komentar yang membuat saya dongkol. Toh saya tidak pernah sama sekali meremehkan idolanya dan idola siapapun di depannya. Entah kedongkolan ini gara-gara ego berlebihan karena merasa 'terhina'. Padahal sebenarnya yang ia rujuk adalah frontman favorit saya, Matt Bellamy, bukan diri saya pribadi.

"Matt tidak punya skill gitar sama sekali, kecuali dengan bantuan perangkat digital dan lirik yang keren". Come on!!! Saya tidak tahu apakah adik-adik ini sudah mendengar seluruh lima albumnya dan menyaksikan video-video amatir konser band Matt. Atau bagaimana media-media indie atau mainstream memposisikan dia sebagai seorang instrumentalis. Sebenarnya respon "oh begitu ya, saya baru tahu kalo dia tidak begitu hebat bermain gitar, nanti saya sampaikan padanya" atau "kalo hanya urusan skil dan keahlian mengendalikan gitar, Matt sudah kenyang, cuma dia berani meninggalkannya demi eksplorasi musik yang lebih dalam" sudah cukup untuk meladeni kalimat yang benar-benar provokatif tadi.

Tapi atas nama fans, saya berusaha menyerang balik, walau pada akhirnya yang terjadi adalah parade kalimat-kalimat egoik satu sama lain yang mengatasnamakan band-band favorit kami. Saya paham, baik Matt dan ikon-ikon lainnya tidak pernah mengenal kami dan sia-sia saja sebenarnya usaha kami saling menyerang. Tiba-tiba kami jadi sok tahu dan untuk sejenak menjelma menjadi jubir idola kami.

Namun, setidaknya dari peristiwa ini saya bisa berpikir ulang soal segmentasi genre musik yang dilakukan oleh media pada umumnya hingga mempengaruhi penilaian saya. Sebenarnya apa syarat sebuah musik disebut rock? Apakah ada indikator khusus? Lalu saya tersenyum-senyum mengingat tulisan di kostum salah seorang pemusik "Say No to False Rock!" Rock mana yang dia maksud sebenarnya?

Kembali ke paragraf pertama, bagaimana band-band yang katanya meminjam sound melayu sering menjadi objek serangan orang-orang yang mengaku kreatif dan seni tinggi dalam bermusik(Untuk hal ini, saya melepaskan faktor industri tempat mereka bernaung). Apakah dengan mengandung 'melayu' dalam musik, mereka sah-sah saja mendapat stigma sebagai band kampung? Lalu bagaimana dengan band-band lain yang terlampau amat memakai banyak bebunyian ala western? Apakah dengan begitu mereka layak mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya, khususnya oleh majalah-majalah tukang kritik terbitan ibukota? Padahal keduanya berada pada posisi yang sama, serupa tindakan meminjam sound asing.

Saya heran dengan jurnalis musik Indonesia yang sepertinya tidak punya bahan dalam menulis. Selalu saja melibatkan komparasi antara musik mainstream dan 'kreatif'. Jika ada sebuah band baru yang menentang arus, pasti langsung dihubungkan dengan kondisi musik Indonesia yang katanya carut marut. Apalagi jika selera musik kemudian dihubungkan dengan kadar intelektual seseorang. Nyambung di mana? Di mana otak Ahmad Dhani ketika dia dengan semangatnya berkata, "Saya ingin mencerdaskan selera musik warga Indonesia." Juga di mana kepekaan dia waktu menyebut pasar RBT sekarang adalah golongan pekerja dan para buruh?

Menginvasi selera seseorang sama mustahilnya dengan mengajak ia pindah agama. Mengapa mesti menaklukkan wilayah paling privat orang lain, padahal bisa saja kita yang sedang ditaklukan oleh tangan-tangan tidak terlihat.

Perih

Without being rude my friends, saya sedang giat-giatnya mendengarkan lagu ini. Terlepas dari spekulasi bahwa band ini susah tampil 'live', plagiat, kasus foto-foto syur Widi di dunia maya, dan semacamnya, mereka bisa menghasilkan karya-karya segar, salah satunya 'Perih' ini, yang harmoni nadanya mampu meliuk-liukkan emosi. Oleh karena itu, semestinya saya melampirkan partiturnya, bukan malah lirik dan foto para personalnya. Biarlah liriknya menjadi milik anak-anak muda angkatan mereka atau siapapun yang mengasosiasikan diri dengannya, saya hanya menikmati lagu dan vokal manja Widi, sang vokalis.

Dirimu…
tak pernah menyadari
semua…
yang telah kau miliki
kau buang aku, tinggalkan diriku

kau… hancurkan aku seakan ku tak pernah ada

Aku kan bertahan
meski takkan mungkin
menerjang kisahnya
walau perih… walau perih…

salahkah…
aku terlalu cinta
berharap..
semua kan kembali
kau buang aku,tinggalkan diriku
kau.. hancurkan aku

seakan ku tak pernah ada

Aku kan bertahan
meski takkan mungkin
menerjang kisahnya
walau perih… walau perih…

8 October 2009

Melancholia Paranoia

Yeah, we live in the age of fear, panic is in the air. Kita hidup dalam abad penuh ketakutan, di mana ketegangan sosial berada di ujung tanduk, sedikit lagi ia akan jatuh pecah menjadi perang. Sebuah abad, di mana bom bunuh diri tengah berdetak tanpa kita ketahui siapa yang memegang detonatornya. Kita menghirup udara dari sebuah masa di mana hidup tidak lebih dari sekedar menunggu hukuman dan kematian mengambil alih.

Tuhan telah meninggalkan kita dalam ketidakberdayaan, dalm bencana yang tak kunjung usai. Kita benci pada waktu yang menggulirkan kita ke jalan yang penuh amarah, dendam, dan sakit yang teramat perih.

I can't get it right since I met you. Semua menjadi gelap ketika engkau datang. Aku bisa melihat kematian diriku di hadapanku sendiri, and the end is all I can see, pada hentakan jarum jam yang tidak lelah berotasi. Aku menyaksikan dunia yang telah kubangun dengan rakusnya engkau lahap, bebintang yang kupasang dengan susah payah, kini jatuh berguguran. Engkau meniuppadamkan cahaya kecil dalam hatiku. Begitu lemahnya-kah aku hingga satu kata pun tentangmu membuatku histeris dan penuh amarah menggugat Tuhan yang telah melahirkanku ke masa ini. Mengapa aku ada di sini, mengapa mesti hari ini?

Kadang aku tidak paham dengan rencanamu, mungkin terlalu kalis bagi orang tolol sepertiku. Katamu aku adalah api yang membakar, namun aku terbakar oleh diriku sendiri. Lalu engkau meralat bahwa aku adalah kayu kering melepuh yang mudah terbakar habis dalam sekedipan denyut jantung. Aku tidak berguna kecuali hanya menambah panas, lalu baranya habis menjelma abu ringan beterbangan oleh udaramu yang dengki. Aku benci menjadi kayu yang rapuh...

071009