11 October 2009

Maaf, Ini Soal Selera

Hari ini masih ada yang menertawakan ST12, Kangen Band, Wali? Well, maaf jika anda salah satu di antara barisan orang-orang yang memicingkan matan pada mereka. Dulu, saya memang pernah jadi 'penyelamat' selera musik seorang teman, tetapi kini saya tidak melihatnya sebagai sebuah tindakan yang bijak.

Cerita ini agak berbeda dengan paragraf di atas, namun sama dalam cara pandang kami melihat seorang idola. Kata 'kami' merujuk pada percakapan tiga orang, antara aku, Ifzan, dan Doddy. Tanpa pendekar awan dan angin, tiba-tiba ada komentar yang membuat saya dongkol. Toh saya tidak pernah sama sekali meremehkan idolanya dan idola siapapun di depannya. Entah kedongkolan ini gara-gara ego berlebihan karena merasa 'terhina'. Padahal sebenarnya yang ia rujuk adalah frontman favorit saya, Matt Bellamy, bukan diri saya pribadi.

"Matt tidak punya skill gitar sama sekali, kecuali dengan bantuan perangkat digital dan lirik yang keren". Come on!!! Saya tidak tahu apakah adik-adik ini sudah mendengar seluruh lima albumnya dan menyaksikan video-video amatir konser band Matt. Atau bagaimana media-media indie atau mainstream memposisikan dia sebagai seorang instrumentalis. Sebenarnya respon "oh begitu ya, saya baru tahu kalo dia tidak begitu hebat bermain gitar, nanti saya sampaikan padanya" atau "kalo hanya urusan skil dan keahlian mengendalikan gitar, Matt sudah kenyang, cuma dia berani meninggalkannya demi eksplorasi musik yang lebih dalam" sudah cukup untuk meladeni kalimat yang benar-benar provokatif tadi.

Tapi atas nama fans, saya berusaha menyerang balik, walau pada akhirnya yang terjadi adalah parade kalimat-kalimat egoik satu sama lain yang mengatasnamakan band-band favorit kami. Saya paham, baik Matt dan ikon-ikon lainnya tidak pernah mengenal kami dan sia-sia saja sebenarnya usaha kami saling menyerang. Tiba-tiba kami jadi sok tahu dan untuk sejenak menjelma menjadi jubir idola kami.

Namun, setidaknya dari peristiwa ini saya bisa berpikir ulang soal segmentasi genre musik yang dilakukan oleh media pada umumnya hingga mempengaruhi penilaian saya. Sebenarnya apa syarat sebuah musik disebut rock? Apakah ada indikator khusus? Lalu saya tersenyum-senyum mengingat tulisan di kostum salah seorang pemusik "Say No to False Rock!" Rock mana yang dia maksud sebenarnya?

Kembali ke paragraf pertama, bagaimana band-band yang katanya meminjam sound melayu sering menjadi objek serangan orang-orang yang mengaku kreatif dan seni tinggi dalam bermusik(Untuk hal ini, saya melepaskan faktor industri tempat mereka bernaung). Apakah dengan mengandung 'melayu' dalam musik, mereka sah-sah saja mendapat stigma sebagai band kampung? Lalu bagaimana dengan band-band lain yang terlampau amat memakai banyak bebunyian ala western? Apakah dengan begitu mereka layak mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya, khususnya oleh majalah-majalah tukang kritik terbitan ibukota? Padahal keduanya berada pada posisi yang sama, serupa tindakan meminjam sound asing.

Saya heran dengan jurnalis musik Indonesia yang sepertinya tidak punya bahan dalam menulis. Selalu saja melibatkan komparasi antara musik mainstream dan 'kreatif'. Jika ada sebuah band baru yang menentang arus, pasti langsung dihubungkan dengan kondisi musik Indonesia yang katanya carut marut. Apalagi jika selera musik kemudian dihubungkan dengan kadar intelektual seseorang. Nyambung di mana? Di mana otak Ahmad Dhani ketika dia dengan semangatnya berkata, "Saya ingin mencerdaskan selera musik warga Indonesia." Juga di mana kepekaan dia waktu menyebut pasar RBT sekarang adalah golongan pekerja dan para buruh?

Menginvasi selera seseorang sama mustahilnya dengan mengajak ia pindah agama. Mengapa mesti menaklukkan wilayah paling privat orang lain, padahal bisa saja kita yang sedang ditaklukan oleh tangan-tangan tidak terlihat.

1 comment:

harwan ak said...

hahaha nanti saya omeli itu ely sama doddy sampai botak...tapi hmmm tulisannya bagus...