...Waktu kita di bumi ini sakral adanya, dan kita seharusnya merayakan tiap detiknya...
Perlu dua hari bagi saya menyelesaikan novel terakhir Paulo Coelho ini. Meski pada lembar-lembar awalnya saya masih harus beradaptasi akibat sudah terlalu lama tidak baca buku, pada akhirnya Paulo selalu memenuhi ekspektasi pembacanya, entah ide cerita yang selalu unik, atau tebaran kata-kata sakti yang bisa ditemui di tiap halaman.
Tokoh utama kali ini adalah Athena (entah mengapa Paulo selalu memilih perempuan), perempuan Romania yang diadopsi sebuah keluarga di Lebanon. Sejak kecil, Athena yang bernama lengkap Sherina Khalil ini sudah bisa melihat dunia 'lain' yang dianggap tidak wajar oleh orang di luar dirinya, termasuk ketika ia mengaku melihat sosok Bunda Maria, patung-patung gereja yang hidup dalam pikirannya, serta jalan penuh darah yang ternyata menjadi pertanda perang saudara berkepanjang di Lebanon.
Berada dalam situasi mencekam tak berkesudahan, ia sekeluarga memutuskan melanjutkan hidup di kota London. Pada usia 19 tahun, ia mewujudkan hidup terpisah dengan ayah ibunya, dengan menikahi mahasiswa senior di kampusnya. Namun tidak berapa lama setelah ia memperoleh anak, suaminya menceraikan dirinya. Athena lalu berjuang sendiri membesarkan anak lelakinya, Viorell.
Perjalan spiritual Athena semakin menunjukkan cahaya terang ketika ia bertemu sesama pelarian, seorang penyewa apartemen tempat ia menyandarkan malam-malamnya. Perlahan namun pasti, Athena menjelma menjadi seorang 'penyihir'. Athena menjadi tokoh sentral di komunitasnya bahkan di sepanjang jalan Portobello, tempat ia melakukan ritual penyembahan pada Ibu Agung setiap hari senin malam. Termasuk ketika komunitas mereka dituding sesat dan menyebarkan ajaran setan, Athena-lah yang berada di daftar urut pertama menjadi sasaran 'tembak' kelompok penghujat
Apakah yang terjadi selanjutnya pada Athena, sudah bisa diketahui pada halaman awal, namun di sinilah kekuatan gaya penceritaan Paulo kali ini. Ia memutar balik setting waktunya, hingga sensasi signifikan akan terasa jika membaca ulang novel ini dibanding pada saat pertama kali membacanya (gaya penulisan serupa dapat ditemui dalam Seratus Tahun Kesunyian).
Uniknya, tokoh Athena diceritakan dari berbagai sudut pandang orang-orag yang pernah bertemu dengannya, dari ibu angkat yang sangat menyayanginya, aktris, wartawan, pastor yang menolak memberikan hosti, guru spiritual, mantan suami, pemilik apartemen, hingga seorang polisi berkebangsaan Skotlandia. Pada akhir cerita, anda juga akan mendapatkan siapa sebenarnya yang tengah mengumpulkan data 'wawancara' dari berbagai narasumber di atas.
Seperti biasanya, kehadiran novel ini makin menegaskan Paulo sebagai seorang pagan (jika bisa dibilang demikian). Hampir di tiap novelnya ia selalu menghadirkan sosok feminin Tuhan dalam wujud Ibu Agung.Tidak ketinggalan, gairah akan mimpi-mimpi manusia yang selalu bisa terwujud jika yakin dan percaya. Jadi, formula novel kali ini adalah: Sang Alkemis + Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Tersedu = Kehilangan adalah impian.
....Siapapun yang kebetulan menyadari talentanya dan berani mengungkapkan kelebihannya, lebih sering dihadapkan pada ketidakpercayaan...
Tokoh utama kali ini adalah Athena (entah mengapa Paulo selalu memilih perempuan), perempuan Romania yang diadopsi sebuah keluarga di Lebanon. Sejak kecil, Athena yang bernama lengkap Sherina Khalil ini sudah bisa melihat dunia 'lain' yang dianggap tidak wajar oleh orang di luar dirinya, termasuk ketika ia mengaku melihat sosok Bunda Maria, patung-patung gereja yang hidup dalam pikirannya, serta jalan penuh darah yang ternyata menjadi pertanda perang saudara berkepanjang di Lebanon.
Berada dalam situasi mencekam tak berkesudahan, ia sekeluarga memutuskan melanjutkan hidup di kota London. Pada usia 19 tahun, ia mewujudkan hidup terpisah dengan ayah ibunya, dengan menikahi mahasiswa senior di kampusnya. Namun tidak berapa lama setelah ia memperoleh anak, suaminya menceraikan dirinya. Athena lalu berjuang sendiri membesarkan anak lelakinya, Viorell.
Perjalan spiritual Athena semakin menunjukkan cahaya terang ketika ia bertemu sesama pelarian, seorang penyewa apartemen tempat ia menyandarkan malam-malamnya. Perlahan namun pasti, Athena menjelma menjadi seorang 'penyihir'. Athena menjadi tokoh sentral di komunitasnya bahkan di sepanjang jalan Portobello, tempat ia melakukan ritual penyembahan pada Ibu Agung setiap hari senin malam. Termasuk ketika komunitas mereka dituding sesat dan menyebarkan ajaran setan, Athena-lah yang berada di daftar urut pertama menjadi sasaran 'tembak' kelompok penghujat
Apakah yang terjadi selanjutnya pada Athena, sudah bisa diketahui pada halaman awal, namun di sinilah kekuatan gaya penceritaan Paulo kali ini. Ia memutar balik setting waktunya, hingga sensasi signifikan akan terasa jika membaca ulang novel ini dibanding pada saat pertama kali membacanya (gaya penulisan serupa dapat ditemui dalam Seratus Tahun Kesunyian).
Uniknya, tokoh Athena diceritakan dari berbagai sudut pandang orang-orag yang pernah bertemu dengannya, dari ibu angkat yang sangat menyayanginya, aktris, wartawan, pastor yang menolak memberikan hosti, guru spiritual, mantan suami, pemilik apartemen, hingga seorang polisi berkebangsaan Skotlandia. Pada akhir cerita, anda juga akan mendapatkan siapa sebenarnya yang tengah mengumpulkan data 'wawancara' dari berbagai narasumber di atas.
Seperti biasanya, kehadiran novel ini makin menegaskan Paulo sebagai seorang pagan (jika bisa dibilang demikian). Hampir di tiap novelnya ia selalu menghadirkan sosok feminin Tuhan dalam wujud Ibu Agung.Tidak ketinggalan, gairah akan mimpi-mimpi manusia yang selalu bisa terwujud jika yakin dan percaya. Jadi, formula novel kali ini adalah: Sang Alkemis + Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Tersedu = Kehilangan adalah impian.
....Siapapun yang kebetulan menyadari talentanya dan berani mengungkapkan kelebihannya, lebih sering dihadapkan pada ketidakpercayaan...
No comments:
Post a Comment