Rencananya malam ini kami hanya menghadiri sebuah acara kuliah umum di salah satu sekolah tinggi ekonomi di Makassar. Kedatangan kami adalah mencari sang pemberi kuliah umum yang bukan kebetulan seorang bos besar perusahaan di kota ini untuk keperluan wawancara. Setelah ganti angkot (karena salah arah), saya menghampiri Darma, yang bukan kebetulan juga adalah pentolan persekongkolan naga di kampus.
Malam mulai melahap hari, saat kami melintasi Abd. Daeng Sirua (seorang ibu paruh baya dan seorang perempuan muda mengeluh akan kelakuan supir angkot yang suka ngetem tiba-tiba dalam waktu yang -menurut mereka- sangat lama). Sepanjang perjalanan, kami bercerita soal Nanang yang pernah melakukan kesalahan fatal dalam urusan pengangkutan.
Setibanya di sana, kami langsung menuju lantai dua gedung yang lebih mirip supermarket dibanding ruang berbau akademik. Kami lalu mendapati aula yang suasanya juga lebih mirip acara kawinan (pake elekton segala), bukan atmosfir ruang kuliah seperti dalam bayangan saya. Belum lagi ketika paduan suara mengambil alih acara, gendang telinga saya rasanya mau pecah keluar berhamburan.
Orang yang dinanti pun tiba telat setengah jam dari jadwal. Di sepanjang acara, saya dan Darma malah asik ngobrol berdua tidak menaruh perhatian. Satu setengah jam kemudian, tepatnya jan 9 malam, the big boss mengakhiri tatap muka dan diskusi. Segera saja kami menghampiri, berharap dianya punya waktu untuk wawancara. Dan ternyata...tidak bisa, doski kelelahan, "besok aja di rumahnya, lowong kok waktunya", begitu kata orang dekatnya, tentu dengan santainya.
Ya, kedatangan kami sia-sia saja, jauh-jauh kami datang dari Tamalanrea, hanya untuk melihat pengukuhan mahasiswa baru. Darma lalu mengajak saya ke warung tenda Ka Ilo. Dari irama suaranya, aku mendapati ia begitu 'bahagia' bisa melalui malam minggu yang panjang. Namun di balik kebahagiaannya itu, tahu-tahu ada rencana 'besar' di benaknya.
Jam menunjukkan pukul 22.30, mustahil menemukan angkot jurusan kampus Unhas. Saya sudah memberi solusi naik taksi, aman dan terkendali. Namun ia bersikeras naik angkot, meski harus nyambung berkali-kali. Katanya kapan lagi menikmati Makassar di malam minggu.
Malam mulai melahap hari, saat kami melintasi Abd. Daeng Sirua (seorang ibu paruh baya dan seorang perempuan muda mengeluh akan kelakuan supir angkot yang suka ngetem tiba-tiba dalam waktu yang -menurut mereka- sangat lama). Sepanjang perjalanan, kami bercerita soal Nanang yang pernah melakukan kesalahan fatal dalam urusan pengangkutan.
Setibanya di sana, kami langsung menuju lantai dua gedung yang lebih mirip supermarket dibanding ruang berbau akademik. Kami lalu mendapati aula yang suasanya juga lebih mirip acara kawinan (pake elekton segala), bukan atmosfir ruang kuliah seperti dalam bayangan saya. Belum lagi ketika paduan suara mengambil alih acara, gendang telinga saya rasanya mau pecah keluar berhamburan.
Orang yang dinanti pun tiba telat setengah jam dari jadwal. Di sepanjang acara, saya dan Darma malah asik ngobrol berdua tidak menaruh perhatian. Satu setengah jam kemudian, tepatnya jan 9 malam, the big boss mengakhiri tatap muka dan diskusi. Segera saja kami menghampiri, berharap dianya punya waktu untuk wawancara. Dan ternyata...tidak bisa, doski kelelahan, "besok aja di rumahnya, lowong kok waktunya", begitu kata orang dekatnya, tentu dengan santainya.
Ya, kedatangan kami sia-sia saja, jauh-jauh kami datang dari Tamalanrea, hanya untuk melihat pengukuhan mahasiswa baru. Darma lalu mengajak saya ke warung tenda Ka Ilo. Dari irama suaranya, aku mendapati ia begitu 'bahagia' bisa melalui malam minggu yang panjang. Namun di balik kebahagiaannya itu, tahu-tahu ada rencana 'besar' di benaknya.
Jam menunjukkan pukul 22.30, mustahil menemukan angkot jurusan kampus Unhas. Saya sudah memberi solusi naik taksi, aman dan terkendali. Namun ia bersikeras naik angkot, meski harus nyambung berkali-kali. Katanya kapan lagi menikmati Makassar di malam minggu.
***
Di tanganku, aku memegang minyak telon ajaib (karena mempertemukan kami dengan Nire dengan tiba-tiba di sebuah mall) penawar masuk angin yang menimpaku. Aku masih di bawah pengaruh mabuk naik lift di gedung kuliah umum tadi. Pijakanku rasanya lembek seperti spring bed. Sementara jantungku berdebar-debar menanti angkot yang tak kunjung menampakkan diri. Sepertinya, inilah rencana 'besar' itu. Harus kuakui, ia benar-benar perempuan tangguh.
Gerak tubuhku sedari tadi mengisyaratkan gelisah tak berkesudahan. Namun, ibu yang satu ini malah tertawa melihat penderitaanku. Rasanya seperti adu nyali di tivi-tivi, di mana penonton disuguhi ekspresi ketakutan si peserta. Akulah pesertanya, Darma-lah penontonnya. Akhirnya, pete-pete IKIP mengakhiri adu nyali ini, dengan resiko kami harus nyambung angkot lagi.
Tapi tahukah anda, malam ini duit kami seperti habis hanya untuk ongkos angkot. Kami salah jurusan, saudara-saudara!!! Padahal malam sudah dalam taraf larut. Kami hanya bisa saling menertawai lalu menyalahkan sang big boss yang menolak diwawancara. Ya, tidak ada yang perlu disesalkan, rasanya. Ia membawa kami ke pengalaman baru yang bisa ditertawakan Toh, besok tidak ada ospek yang mengharuskan kami bangun subuh, lalu berdandan ala The Crow dengan perasaan terpaksa.
Gerak tubuhku sedari tadi mengisyaratkan gelisah tak berkesudahan. Namun, ibu yang satu ini malah tertawa melihat penderitaanku. Rasanya seperti adu nyali di tivi-tivi, di mana penonton disuguhi ekspresi ketakutan si peserta. Akulah pesertanya, Darma-lah penontonnya. Akhirnya, pete-pete IKIP mengakhiri adu nyali ini, dengan resiko kami harus nyambung angkot lagi.
Tapi tahukah anda, malam ini duit kami seperti habis hanya untuk ongkos angkot. Kami salah jurusan, saudara-saudara!!! Padahal malam sudah dalam taraf larut. Kami hanya bisa saling menertawai lalu menyalahkan sang big boss yang menolak diwawancara. Ya, tidak ada yang perlu disesalkan, rasanya. Ia membawa kami ke pengalaman baru yang bisa ditertawakan Toh, besok tidak ada ospek yang mengharuskan kami bangun subuh, lalu berdandan ala The Crow dengan perasaan terpaksa.
No comments:
Post a Comment