8 October 2009

Melancholia Paranoia

Yeah, we live in the age of fear, panic is in the air. Kita hidup dalam abad penuh ketakutan, di mana ketegangan sosial berada di ujung tanduk, sedikit lagi ia akan jatuh pecah menjadi perang. Sebuah abad, di mana bom bunuh diri tengah berdetak tanpa kita ketahui siapa yang memegang detonatornya. Kita menghirup udara dari sebuah masa di mana hidup tidak lebih dari sekedar menunggu hukuman dan kematian mengambil alih.

Tuhan telah meninggalkan kita dalam ketidakberdayaan, dalm bencana yang tak kunjung usai. Kita benci pada waktu yang menggulirkan kita ke jalan yang penuh amarah, dendam, dan sakit yang teramat perih.

I can't get it right since I met you. Semua menjadi gelap ketika engkau datang. Aku bisa melihat kematian diriku di hadapanku sendiri, and the end is all I can see, pada hentakan jarum jam yang tidak lelah berotasi. Aku menyaksikan dunia yang telah kubangun dengan rakusnya engkau lahap, bebintang yang kupasang dengan susah payah, kini jatuh berguguran. Engkau meniuppadamkan cahaya kecil dalam hatiku. Begitu lemahnya-kah aku hingga satu kata pun tentangmu membuatku histeris dan penuh amarah menggugat Tuhan yang telah melahirkanku ke masa ini. Mengapa aku ada di sini, mengapa mesti hari ini?

Kadang aku tidak paham dengan rencanamu, mungkin terlalu kalis bagi orang tolol sepertiku. Katamu aku adalah api yang membakar, namun aku terbakar oleh diriku sendiri. Lalu engkau meralat bahwa aku adalah kayu kering melepuh yang mudah terbakar habis dalam sekedipan denyut jantung. Aku tidak berguna kecuali hanya menambah panas, lalu baranya habis menjelma abu ringan beterbangan oleh udaramu yang dengki. Aku benci menjadi kayu yang rapuh...

071009

2 comments:

Bambang said...

waw, ini juga yang aku rasakan sekarang tapi aku gk bisa mengungkapkannya, tapi kakak bisa mengungkapkan dengan gambaran yang jelas... hahah
Like This :D

Yusran Darmawan said...

kenapa ki?