30 November 2009

November Reign

Beberapa saat lagi November ke 23 dalam hidupku akan berlalu. Ini tentang musim semi. Tahukah engkau, hujan paling indah adalah di bulan november, dan matahari terindah ada di akhir juli. Lihatlah, sedikit saja hujan membelai bumi, tanah raya menjadi hidup.

Kemarin kita masih berbicara tentang asa yang tidak pernah padam dan kerinduan akan kehidupan yang tidak berbatas. Hari ini, aku adalah pecundang dan engkau masih seorang petarung. Hidup sepertinya takluk di kakimu dan waktu mengiringi gerak semestamu.

Seperti yang engkau tahu, aku tidak berani bermimpi, dengan demikian alam raya tidak pernah melirikku, dan Tuhan tidak punya apa-apa untuk Ia peluk*. Aku masih bermimpi tentang telur-telur harapan yang akan menetas menjadi bahagia, entah kapan..

Happy Spring!!!
*) 'bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu' (Arai Sang Pemimpi)

28 November 2009

Mencoba Kue Keberuntungan


Random fortunes, do you believe?








Mari kita menengok seorang filsuf kontemporer asal Prancis, Alain du Botton. Dalam novelnya Tentang Cinta (On Love), ia menerapkan teori probabilitas dalam percintaan tokoh utama (yang tidak disebutkan namanya) dengan Chloe. Keduanya tidak sengaja bertemu di sebuah pesawat terbang. Apakah mereka benar-benar berjodoh ditakdirkan untuk bersama? Inilah yang dihitung matang-matang oleh sang pria ke dalam rumus-rumus statistik rumit. Hasil perhitungan menunjukkan kecilnya kemungkinan pertemuan itu, tapi mereka memang benar-benar bertemu dan menjalin cerita.

Seperti itulah kira-kira jika saya ingin menganggap semua bentuk kebetulan. Pada akhirnya, kata 'kebetulan' ini diganti dengan kata 'kejutan' mengingat nilai 'tidak ada yang namanya kebetulan', hehehe... Termasuk ketika saya mengenal sebuah aplikasi bernama fortune cookies (kue keberuntungan) yang dapat dilihat di facebook. Syahdan, dengan mengklik aplikasi ini kita akan mendapatkan sebuah kalimat bijak, petuah, keberuntungan, atau apa yang akan kita alami hari ini.

Melihat fortune cookie, saya jadi teringat film-film Asia Timur di mana terdapat adegan-adegan ritus keagamaan, di mana salah seorang jamaah mengocok semacam gelas bambu berisi stik-stik bertuliskan keberuntungan atau kesialan yang akan dihadapi dalam waktu dekat. Layaknya arisan, stik yang jatuh dari wadah tadi akan menjadi 'milik' orang tersebut. Ada yang percaya, ada pula yang tertawa setelah membacanya.

Anyway, saya menyempatkan diri mencoba kue keberuntungan maya. Sudah ada beberapa wisdom di tiap kuenya, kadang saya tertawa, senyum-senyum, atau mengerutkan kening. "Take a trip with a friend.""Merge your spirit life and your work", "You will touch the hearts of many", "Money is the root of all evil", "You are vigorous in words and action", "You will step on the soil of many countries." Tapi dari kesemua itu saya paling senang dengan wisdom ini: "You can't stop the waves but you can learn to surf."

Haruskah kita juga menerapkan teori probabilitas dan kelayakan untuk ini? Hahaha...saya nyaris tidak punya waktu untuk menghitung, meski dalam sehari rutinitas saya hanya tidur, makan, dan berangan-angan. Namun tidak ada salahnya yakin, apalagi terhadap persangkaan-persangkaan baik mengenai diri kita yang terdapat dalam fortune cookie itu, hehehe..

Bon Appetite!!!

Kenapa saya di-remove?

Saya pernah meng-add seorang public figure idola saya waktu usia sekolah menengah. Hingga terakhir kali saya melihat daftar teman, pada ikon fotonya masih ada tulisan ‘waiting for approval’, masih menunggu konfirmasi dari pihak bersangkutan. Kening saya berkerut menelusuri kemungkinan-kemungkinan permintaan saya belum diterima.


Saya malah jadi tertawa-tawa sendiri dengan pikiran-pikiran sinis ini: “wah, saya kan penggemar anda, kok tidak di-approve?


Apa saja kualifikasi yang harus saya miliki supaya saya bisa berteman dengan anda, tuan yang saya idolakan? Jawabannya sederhana saja, tuan idola ini tidak mengenal saya, modal ‘saya fans setia anda sejak SMP’ saja tidak cukup untuk membuat jarinya menekan ikon approve pada layar di hadapannya.


Akan halnya remove, saya pernah punya pengalaman aneh. Aneh dalam artian saya heran karena tiba-tiba di-remove oleh beberapa orang yang telah berstatus teman di Facebook. Kejadian ini bermula saat saya dengan sadar mengganti username dan foto profil saya. Tidak dalam waktu dua minggu, beberapa orang itu menghilang dari daftar teman saya.


Mungkin dengan ‘diri’ yang baru itu, saya menjelma menjadi sosok asing, tidak dikenal, berpotensi menjadi penguntit aktivitasnya di facebook, parasit info, the other yang tidak diharapkan kehadirannya di dunia Facebook, hingga akhirnya saya di-remove bahkan oleh teman yang telah mengenal saya dengan baik dalam keseharian.


Baik fasilitas approve maupun remove adalah dua kata yang sarat pertimbangan nilai dan kepentingan. Ikon budaya digital ini adalah wadah perwujudan keengganan seseorang berteman atau tetap menjadi teman orang-orang. Karena saya tidak tahu dia, dia asing, dia tidak boleh dapat informasi diri lewat profil facebook saya, saya hanya ingin bercengkrama dengan teman-teman saya, karena dia menjengkelkan, dia bukan bagian dari geng, dia bikin malu, dia membahayakan karir saya, bisa jadi alasan tersumbatnya kelangsungan hubungan.


Kita telah mengenal Facebook sebagai ruang terbuka dan menghubungkan orang-orang di seluruh dunia. Siapa yang tidak pernah mendengar jargon ini Give people the power to share and make the world more open and connected. Keterhubungan, siapa yang meragukan mesin deteksi Facebook? Keterbukaan, semua user bisa publikasi diri hingga terkenal lewat Facebook dan saya bisa jadi tukang gosip hanya dengan melihat dan mengamati profil atau info terbaru mereka lewat News Feed.


Namun, sadarkah Mark Zuckerberg (founder Facebook)bahwa keterbukaan yang diusungnya itu akan menjadi boomerang. Sebuah nilai jual yang menghancurkan pemahaman orang-orang mengenai konsep privat-publik dengan merubah norma-norma sosial yang dipahami sebelumnya.


Hal yang tak diperhatikan oleh jargon tersebut adalah bahwa setiap individu, kelompok atau masyarakat aneka warna memiliki cara pandang yang berbeda memaknai keterbukaan dan koneksi itu. Jauh dari keterbukaan versi pendiri Facebook. Jadi ketika jargon tersebut dihadirkan, pada saat itu juga Mark memaksakan suatu diskursus tunggal tentang keterbukaan.


Jika dunia yang lebih terbuka dan saling terhubung yang dimaksud oleh Mark adalah keterhubungan antar jaringan dan alat, maka ia sudah berhasil sejak pertama kali ia meluncurkan produk ini. Akan tetapi manusia bukanlah alat yang tidak berpikir dan tidak punya pilihan.


Hubungan antara privat dan penilaian orang-orang ‘luar’ yang melihatnya tidak dapat dipisahkan. Seseorang akan risih dan tidak nyaman dengan penilaian-penilaian budaya dan sosial hingga mempertimbangkan kembali informasi yang akan ia masukkan ke dalam akunnya.


Mark dkk memang pada akhirnya sadar. Maka yang kita lihat selama dua tahun ini adalah modifikasi tiada henti dalam hal filterisasi informasi meski akan mengikis konsep keterbukaan ala facebook itu dengan sendirinya. Siapa saja yang bisa mengakses profil, status, foto-foto, pembicaraan-pembicaraan saya, siapa saja yang bisa melihat saya sedang online, jumlah notifikasi yang masuk, bisa disaring sedemikian rupa demi kenyamanan pengguna. Jika semua filter ini belum dirasa cukup, Facebook punya fasilitas ‘remove’, daripada repot-repot men-setting privasi akun saya, mending langsung remove saja, no big deal…


Dari usaha-usaha yang terus diperbarui ini, Facebook makin menunjukkan dirinya sebagai negosiator ulung. Pernah suatu kali saya mau men-deactive kan akun saya. Tiap kali saya ingin menekan ikon deactivate, Facebook ini seperti salesman, yang tidak berhenti mempersuasi saya agar tetap menggunakan facebook dengan iming-iming privasi yang lebih tertutup, bahkan ‘mengancam’saya akan kehilangan teman-teman saya. (memang di dunia ini hanya ada Facebook saja?)


Kembali ke kedua tindakan sosial tadi, saya juga menimbang-nimbang kemungkinan alasan seseorang me-remove atau tidak meng-approve saya. Tidak ada masalah dengan hal ini. Setiap orang berhak memilih orang yang ingin dijadikan teman.


Di lain pihak Facebook telah berhasil memangkas jarak dan waktu yang selama ini jadi pagar pembatas fisik, namun apakah ia berhasil loncat pagar budaya yang lebih sering jadi ‘pengungkung’ sebuah hubungan atau interaksi. Well, Ini adalah cerita lain.


Seperti kata Mcluhan, media adalah perpanjangan tubuh manusia, tapi apakah terjadi perpanjangan budaya, apakah terjadi peleburan budaya lewat media itu, apakah sekat-sekat yang terbangun dengan sendirinya di ruang-ruang sosial ikut luruh bersama leburnya batas-batas fisik dalam dunia keseharian, adalah pertanyaan yang jawabannya ada di diri masing-masing orang yang mengalami sendiri sensasi media baru ini.


Oleh karena itu pertanyaan “kenapa saya di-remove? saya kan hanya mau berteman, ini kan situs pertemanan”, tidak akan menemukan jawaban, sama halnya jawaban yang ada tidak akan cukup memuaskan sang penanya jika tidak paham dengan pemikiran manusia yang terus bergejolak.

Untung saja sampai hari ini, News Feed tidak mengabarkan info bahwa orang ini me-remove ini, orang ini cabut dari ini ini? Wah bakal kacau jadinya…bisa-bisa terjadi keretakan-keretakan sosial yang diamati lalu digosipkan bersama-sama. Ah, ada-ada saja…

Midas

Suatu saat aku mendengar malaikat berbisik, "kesempatanmu lebih banyak darinya, lihat, tulang-tulangnya mulai rapuh, kulitnya bergelantungan seperti ditarik magnet bumi, tumitnya retak-retak, rambutnya berguguran... Lihat dirimu, rambut dan wajahmu berminyak oleh sel-sel tubuhmu bekerja penuh semangat dan tidak kenal putus asa, kakimu kokoh mencengkram tanah yang kau pijak, matamu melampaui masa dan semesta, dan kulitmu..., kulit yang kuambilkan untukmu dari kutub utara waktu engkau diciptakan, melekat erat di dagingmu, gravitasi tidak kuasa mengendalikannya..."

Ah, monolog apa ini? Aku tersadar saat melihat api sedang asik menjilati sebuah periuk besar berisi air.

Sepertinya malaikat numpang sesaat itu salah orang. Lebih tepat kalimat itu untuk seorang wanita di hadapanku yang berpeluk peluh. Tiap kali ia berlalu, tubuhnya meninggalkan aroma asap dari kayu lembab yang terbakar. Matanya tidak pernah lelap dan kakinya menjangkau seperti sanggup menapaki jalan puluhan kilometer.

Aku curiga sebenarnya ia adalah raja midas. Apapun yang disentuhnya akan memberi hidup dan mengundang decak kagum. Aku heran ia selalu mengeluh dengan tenaganya yang makin aus, tapi yang kulihat adalah wanita yang sama sejak aku menyadari kehadiranku di dunia. Yang berbeda kini hanya rasa masakannya yang makin kurang asin.

Selebihnya, ia masih jadi perempuan yang selalu membuatku cemburu. Orang-orang memuji ketekunan dan keuletannya, sementara aku tidak mewarisi sifat ini darinya. Dia sang raja yang perfeksionis, waktu adalah musuh yang harus ditaklukkan...Tidak seperti aku yang dengan mudahnya berdamai, bahkan walau tanpa iming-iming dari sang waktu yang sombong...

Yang Sunyi, Yang Kembali

Idul Adha ini aku pulang tiga hari lebih cepat ke Bone. Meski sebenarnya deadline tidak lelah mengejar-ngejarku dan tim, aku memutuskan untuk menikmati masa 'pengejaran' ini.

Aku tiba dini hari, dan mendapati kota kecil ini gelap karena mati lampu. Aku membatin, membayangkan kesulitan beberapa hari ke depan tanpa energi satu ini. Sunyi,,, sensasi yang kurasakan ketika aku turun dan mengetuk pintu rumahku yang tidak luput dari gelap. Ibuku menjawab dari dalam, samar-samar karena deru mesin panther sang supir yang menunggu upah.Pintu terbuka, aku lihat dari keremangan lampu mobil, rambut ibu terurai, tubuhnya hanya dibalut sarung kotak-kotak cokelat, mengulurkan tangan berisi uang dari balik pintu. Seperti kebiasaanku, aku bayar di tempat, uang di saku tidak cukup.

Mobil berlalu, lalu kesunyian kembali mengambil alih. Di rumah hanya tinggal ibu dan bapak yang terlelap lebih dahulu. Begitu aku masuk ke kamar kosong rumah bagian dalam, ibu langsung menutup sekat pembatas ruang depan dan dalam. Sedikit aneh, karena biasanya, ibu akan banyak bercerita sebelum ia melanjutkan tidur.

Aku juga menutup pintu kamar. Sambil rebahan, aku mengambil handphone serta earseat-nya yang masih terpasang. Gelap tidak cukup mampu membatasi pikiranku untuk jauh mengawang, dan lagu yang kuputar tidak sanggup memaku ingatanku. Dalam jantung, aku merasa ada keibaan sedang menusuk, dan rasa ngilunya bercampur dengan lelah perjalanan empat jam.

***


Kadang aku benci untuk pulang. Aku tidak tahan melihat kesunyian di mata ibu, bapak dengan rutinitas yang telah ia jalani setengah abad, dan kakakku yang mengumpat-umpat karena fenomena mati lampu. Kata ibu, entah ini didrama atau tidak, sedikit lagi kakakku bisa gila. Aku menggigit bibir mendengar ceritanya, dalam sehari lampu bisa padam sampai dua belas jam. Sementara, sumber pendapatan kakak sangat bergantung pada listrik.

Aku benci pulang, aku lelah mengingat, dan aku sedih setiap kali ibu mengingat pengalaman-pengalaman yang kami lalui bersama. Sayangnya, bukan hanya ibu yang terus mengingat, Imma, salah seorang teman SMA, aku takut jika ia mulai mengaku kesepian tanpa aku dan teman lainnya.

Pada setiap pandangan yang kulayangkan, yang kulihat tidak hanya dinding rumah, foto, kulkas, lemari, botol minum. Aku melihat coretan pertamaku, pengasuhku, ulang tahun idolaku (???), Jepang, susu panas dan pipet...

Sunyi...sunyi..sunyi...kesunyian mereka hanya akan menemukan obatnya di hari raya, tahun baru, libur semester. Mereka tidak pernah mengeluh dengan pola-polaku.

Aku bergidik, apakah oleh waktu yang melambat, atau waktu yang bergelinding seperti bola salju. Lima tahun lalu, aku dan teman-teman seangkatan berpencar ke tanah lain. Kupikir selamanya. Saat itu, aku selalu rindu pulang, tak tahan rasanya jauh dari rumah. Kini, tiap kali ibu menelpon karena kesendiriannya, aku hanya bisa berjanji, tanpa pasti bisa pulang.

Aku kaget saat seorang teman bercerita tentang reuni dengan teman-teman kelasnya. Ternyata lima tahun sudah berlalu, cukup waktu bagi mereka yang pernah merantau untuk kembali. Ada pertanyaan bodoh yang terlintas, apa yang akan mereka lakukan di sini. Kota ini sepi, apakah hanya aku yang syok?

Apakah hanya aku yang mengamati kesepian bekerja di hati orang-orang yang kusayangi. Pernahkah ibu, bapak, Imma, kakakku memikirkan kesunyianku? Mungkin mereka tidak sesepi yang kubayangkan, justru aku yang patut dikasihani...

24 November 2009

Home

Apa yang paling membahagiakan dari sebuah hari raya? Bagi kalangan mahasiswa rantau, tidak ada yang lebih nikmat jika bisa pulang berkumpul dengan keluarga. Demikian juga diriku yang masih merangkak di kota ini. Aku selalu rindu pulang, meski gravitasi Makassar terasa begitu kuat menancapkan kakiku.
Oh hari yang terberkati, betapa jauhnya aku darimu. Lepaskanlah penat dan gelisah ini. Legakanlah napas keseharianku yang terasa makin berat. Izinkan aku pulang dan terjaga dari keburukan. Bersihkanlah hati yang setia dipeluk karat-karat hitam nan kasar.

23 November 2009

Pineapple Juice Should've Made My Day

Hari ini terasa sangat panjang...
Tiba-tiba saya teringat dengan ucapan salah seorang guru kimia di SMA yang sangat kami takuti. katanya, orang yang paling panjang hidupnya adalah yang paling sedikit tidurnya. Entah ingatan inikah yang menggerakan alam bawah sadar saya untuk meniatkan bangun pagi hari ini.

Telah banyak waktu dan momen ajaib pagi hari yang saya lewatkan begitu saja. Ya, momen sederhana mungkin, menunggu matahari terbit, melihat sisa-sisa embun di pagar kayu depan playgroup salsabila yang bersebelahan dengan kamarku, menggigil karena mandi kepagian, merasakan udara pagi yang segar dan menusuk-nusuk hidung sampai harus baik-naik mengontrol napas.

dan pagi ini, aku memanjakan diri menikmati semua itu.

lalu apa yang membuat hari ini terasa begitu panjang?


Pertama, deadline berita untuk majalah internal Bosowa makin dekat, sementara Idul Adha juga di depan mata.
Mau tidak mau, hari ini aku harus menyelesaikan hutang wawancara dan berita untuk segera disetor ke Kak Ome (pimred kami).

Kedua, keinginan menyampaikan uneg-unegku pada Adrie Soebono perihal kans Muse mampir di Indonesia makin menggebu-gebu (wihhh...semangat 45 nih). So, setelah mencari-cari alamat mayanya, akhirnya aku menemukannya juga. Sekali lagi terima kasih kepada teknologi perpanjangan tubuh bernama internet. Pesanku sudah sampai di blognya, saking semangatnya, komentarku itu terposting dua kali!!! (nah, kali ini namanya tidak sabaran...). Harapanku, semoga saja ada respon dari laki-laki yang kerap disapa Om Adrie ini..


Ketiga, sebagai perempuan yang kadang sangat peduli dengan tanggal-tanggal khusus, aku menunggu kejutan apa yang akan mampir hari ini.
Kejutan penanda bagi usia yang makin bertambah. betul kata seorang teman lagi, ada suatu fase di mana engkau merasa sendirian di lingkaranmu. Mungkin kata ini tepat untuk gambaran hari ini. Namun sebuah kesalahan besar jika itu kemudian menjadi tolak ukur kepedulian mereka yang selama ini setia mendukung langkahku. I'm not gonna be so damn sad...

Jadi, sebenarnya saat ini aku hanya butuh segelas jus nenas -yang dingin, pekat sekaligus asam- untuk hari panjang melelahkan ini. Jus nenas ini kuanggap tepat untuk menenangkan penat, obat deg-degan, dan penghibur sepi.

Bisa bangun pagi adalah prestasi dan perlukah hadiah untuk pencapaian ini? Hahaha... untuk menyenangkan diri sendiri, mengapa tidak? Dan semoga saja mempertahankan pencapaian kecil ini menjadi target keseharianku selanjutnya. Feliz Compleanos, Signora!!!

Chilling Out

Saya percaya, terkadang foto bisa lebih banyak berbicara (atau lebih tepatnya, lebih cepat berbicara) dibanding kata-kata. Entah karena mungkin malas atau kelelahan untuk menulis, maka kali ini saya hanya mengunggah foto-foto jepretan kongkow-kongkow kemarin. Icha Usman, seorang teman yang kami cintai baru saja datang dengan membawa cerita dan ole-ole. Semoga keterbatasan skil foto saya tidak mengurangi makna kebersamaan ini.












18 November 2009

Citizen Erased

Pas lagi melou melou nya, saya sedang senang mendengarkan lagu ini. Diambil dari album Origin of Symmetry, peband ini selalu sukses membuat saya mau menghilang dari bumi.... Satu lagi, saya paling senang bait terakhir :)

break me in, teach us to cheat
and to lie, cover up
what shouldn't be shared?
all the truth's unwinding
scraping away at my mind
please stop asking me to describe

for one moment
i wish you'd hold your stage
with no feelings at all
open minded
i'm sure i used to be so free

self-expressed, exhausting for all
to see and to be
what you want and what you need
the truth's unwinding
scraping away at my mind
please stop asking me to describe

wash me away
clean your body of me
erase all the memories
they will only bring us pain
and i've seen, all i'll ever need

14 November 2009

Ressurection

Sebuah obrolan pendek tengah malam:

"Kenapa orang harus berbahagia?", tanyaku

"Apa yang membuatmu tidak bahagia?, tanyanya

"Aku takut dengan misteri yang disimpan oleh hari esok. Hatiku tidak tenang, seperti masa depan ingin membunuhku," akuku

"Bahagia selalu diperhadapkan dengan penderitaan, jika kita mengundang derita, pada saat itu juga jiwa akan selalu merasakan kegelisahan dan takut," jawabnya

"Apa yang harus aku lakukan agar semua deritaku berakhir, mengundang bahagia?" tanyaku lagi

"Manusia gelisah oleh ketidakpastian. Manusia butuh kepastian..."

"Dan apakah kepastian itu?" tanyaku

"Filsuf menamakannya eksistensi, agamawan menyebutnya Tuhan. Datangnya sebuah rencana sangat tidak pasti, tapi cinta Nya yang menyembuhkan kesedihan adalah sebuah kepastian... Ia mencintai dengan cara yang kadang tidak kita pahami..."

Tiap malam aku mati, tiap malam pula aku terbangun. Aku telah mati berkali-kali...

Every night I die, every night I awake...Ressurection...*

*petikan narasi dalam Fight Club

12 November 2009

Mampirlah, aku menunggu

...Then on 3rd February 2010, Muse will be playing in Singapore at the Singapore Indoor Stadium....

Informasi ini agak-agak membuat perasaan saya berbunga-bunga. Asia, here they go again!!! Seperti tiga tahun sebelumnya, Muse tampil di Singapura. Atas kejelian seorang Adrie Soebono, mereka bisa tampil di Jakarta, meski saat itu Jakarta masih tahap pemulihan peristiwa banjir. Dan saya tidak datang waktu itu, how pity I am.... :(

Mudah-mudahan mereka mau mampir lagi, dan saya harap saya bisa datang kali
ini...Saya tahu Matt bangga dan senang berkunjung ke Indonesia (maksudnya??? bukan berarti dia suka saya kan? hahahahah...). Walau ini terdengar sangat lucu, tapi saya senyum-senyum waktu dalam sebuah wawancara sebuah radio di US, ketika ia ditanya negara kunjungan favoritnya adalah Indonesia,,,Wow...sekali lagi saya bukan favoritnya, tapi Indonesia yang ia lihat di Gelora Bung Karno....

Sudilah kiranya mampir, tuan-tuan Muse, karena saya akan menunggu...Mudah-mudahan Adrie Soebono membaca kabar ini.

10 November 2009

Diskotek Berjalan

Empat jam perjalanan pulang ke Makassar terasa sangat menyiksa. Semua berawal dari salah perhitungan oleh sang supir Panther yang terus menerima pesanan nomor kursi. Sebenarnya tidak masalah jika angkutan yang tersedia cukup. Lah ini, gara-gara sesuatu dan lain hal yang tidak diantisipasi sebelumnya, salah satu mobil divonis 'dalam proses perbaikan'. Akibatnya saya dan penumpang lain harus jadi korban, diperlakukan bak barang-barang yang bisa diatur tempatnya dan dimuat-muatkan ke dalam satu mobil.

Sesak minta ampun. Seperti yang sering saya alami jika ke Makassar atau ke Bone, tempat duduk saya lebih sering di kursi paling belakang. Barang-barang di bagasi bertumpuk hingga posisi sandaran kursi hampir tegak lurus. Karena di belakang kami duduk berempat, saya tidak dapat bagian untuk bersandar. Ya Allah, kapan saya bisa menikmati perjalanan dengan santai. Apalagi, seorang ibu paruh baya di depanku tidak berhenti mengomel dengan situasi ini.

Sepanjang jalan, saya menahan posisi tubuh agar tidak ke mana-mana. Kalau seperti begini keadaannya, saya tidak bisa tidur sama sekali selama perjalanan. Penderitaan saya bertambah, ketika Pak Supir menyetel keras sound-sound menghentak sampai ke jantung ala ala tripping diskotek kampung. Hiks...hiks...sempurnalah perjalanan empat jamku.

Saya tidak tahan lagi, tapi apa bisa dikata, Si Supir jadinya ngantuk kalau tidak ada musik pengusik jantung. Keselamatan kami bagaimana pun berada di tangannya...Daripada dia menyuruh kami turun di lokasi antah berantah di tengah malam, lebih baik merecap pengalaman sekali-sekali ini, meski dengan suasana hati yang tidak enak. Sejak mobil meninggalkan kantor agen hingga ke halte perhentian saya, sound-sound itu terus berkumandang, mengejek-ejek saya yang berani mencoba pengalaman baru dalam lembaran sejarah saya bab bolak balik Makassar-Bone.

Jangan Marah, Tidak Ada Ucapan Buatmu

November 9 always stuck in my head...

Itu hari ulang tahunmu, tapi apa peduliku kali ini. Kau mungkin sudah tidak ingat padaku. Aku tahu pesan singkat berisi ucapan selamat akan hilang begitu engkau menekan 'delete' di hape mu. Tidak, aku tidak akan mengirimkan apa pun. Kau tidak pernah ada...

Sometimes I Want the Old One Back

Jika saja Einstein mewariskan mesin waktu, maka saya dengan senang hati kembali ke masa 10 tahun yang lalu, baru kemudian menjalani lima tahun setelahnya. Pada rentang ribuan detik itu, sebuah band Inggris bakal calon idola saya terlahir dan menjalani masa-masa merangkak menjadi salah satu band Live Act terbaik di dekade ini. Apa yang salah dengan 10 tahun berikutnya? Mungkin petunjuk berikut bisa menjawab. Saya merindukan sebuah kesederhanaan dan pendakian menuju puncak kehidupan.

Tapi bukankah kita punya teknologi? Sebuah teknologi mesin waktu bernama internet yang mampu menggali benda 'purba' tanpa harus berada di sana pada saat itu. Saya bisa saja mengumpulkan ratusan video dan foto-foto idola saya dari belasan tahun yang lalu. Tapi mengapa saya masih menyesal terlambat menyadari mereka hingga tidak deg-degan menanti mereka (bersama Blur dan Coldplay) di Glastonbury 2004? Mengapa saya masih merasa tidak cukup meski telah menyaksikan video festival konser itu berulang-ulang?

Sejauh apa pun sebuah internet membawa saya ke dimensi waktu lainnya, tetap saja ada bagian yang tidak penuh. Sayang sekali saya tidak bisa menyaksikan (lebih tepatnya 'berada di sana') Muse muda hingga sampai ke titik tertinggi di Juni itu. Yang saya saksikan secara sadar hanya rangkain fase kulminasi mereka yang konstan dan terjaga. Sehebat apapun tampilan live mereka saat ini dan di masa mendatang, Glastonbury tetap yang terbaik, yang lebih sederhana dan hanya bermodalkan tiga album (tapi ketiganya sangat klasik bagi saya).

Live act Muse di Antwerp-Belgia, Oktober 2009
Salah satu dekor panggung terbaru mereka untuk The Resistance Tour
'extravagant' aye?

9 November 2009

Saya dan Kerja

Lima bulan sudah saya menyandang gelar sarjana. "Kerja di mana sekarang?" adalah sebuah pertanyaan alam bawah sadar setiap teman-teman yang pernah terpisah jarak. Dalam periode lima bulan itu pun, terhitung hanya satu kali saya memasukkan pernik-pernik lamaran kerja ke sebuah perusahaan industri di Kawasan Industri Makassar. HasilnyaI screwed it, gagal total.

Sempat pula saya meniatkan diri memasukkan lamaran ke sebuah majalah computer-thing dan sebuah koran nasional, keduanya berbasis di ibukota. Berkas dan kualifikasinya sudah saya genapi, tinggal kirim via pos. Namun, entah mengapa malam berikutnya, semangat saya jadi surut. Mengapa? Padahal saya paham benar pekerjaan semacam ini adalah dunia saya.

Mungkin benar kata salah seorang teman, saya sering memberi jeda/ruang di antara kedua belahan otak saya. Sebuah keputusan mendadak kadang-kadang mengapung ke permukaan, dan itu di luar tebakan orang-orang, bahkan dari perencanaan saya yang matang. Apa yang menggerakkannya, adalah sebuah keentahan lain yang belum bisa saya jawab.

Kata Ka Harwan, segala bentuk pekerjaan itu baik, selama halal, dan dengan bekerja orang akan menjadi sehat. Kalimat ini menjadi air bagi semangat saya yang sering layu. Saya tidak membenci pekerjaan, saya hanya kadang cemburu dengan mereka yang telah bekerja sendiri, hidup dengan biaya sendiri, bahkan sanggup menghidupi orang lain. Maka celakalah orang yang mencemooh orang-orang yang bekerja.

Hidup memang terlalu kuat untuk dikendalikan dalam bentuk rencana-rencana. Ada yang menaklukkan dan ada yang takluk oleh hidup. Kedua pilihan ini bukan untuk dipikirkan, tapi untuk dijalani.

The Wedding

suasana kumpul keluarga di nikahan Kiky

Saya terkaget-kaget melihat harga barang-barang di City One, masya Allah mahalnya (beginilah manusia dunia ketiga, kaget melihat barang mahal, heheheh). Bersama Were, saya sedang hunting kado pernikahan buat teman yang telah hidup bersamaku selama sebulan di dunia KKN desa Matajang, pertengahan 2007 silam.

Lelah berputar-putar di ruang itu-itu saja, dan setelah menelusuri harga barang satu per satu, akhirnya kami memutuskan membeli jam dinding model korek api yang menurutku harganya masih di luar nalar, ckckckck. Saya memutuskan untuk membungkusnya saat itu juga supaya tidak repot lagi menjelang acara resepsi. Lokasinya sendiri sebenarnya bisa ditempuh 30 menit, namun karena malam itu, pemuda pemudi malam minggu tumpah ruah di jalanan, saya dan Keda mesti berada di jalan selama satu jam!!!

"Buat koki tercantik di dunia: Time Flies, but Love is Another Story", begitulah kalimat yang kusematkan buat Kiky, sang pengantin. Dan begitu kado itu menemui tuannya, saya harus memastikan bahwa dia sendiri yang harus membukanya.

***
Entah ini pernikahan ke berapa yang saya hadiri tahun ini. Desy, Rani, Nita, Faika, Andi Bio, Kiki, belum lagi attending mewakili ibu kalau sedang sakit. Saya senang jika diundang dan lebih bersemangat lagi menghadirinya. Saya rela pulang balik Makassar-Bone, berdesak-desakan di mobil panther, demi melihat cahaya kebahagiaan di mata mereka. Mungkin buat beberapa orang apalah arti sebuah kunjungan, tapi menurut saya itulah bentuk pengejawantahan perhatian dan penghargaan bagi teman atau sahabat.

Tak terbayang kebahagiaan yang akan melanda saya jika teman-teman yang saya undang menyempatkan diri menghadiri pernikahan saya kelak (amin :). Bagi saya pernikahan tidak hanya menyatukan dua keluarga yang baru saling mengenal, namun juga wahana menyambung silaturahmi yang telah terputus selama bertahun-tahun (ini di luar kenikmatan sajian gratis makanan aneka rasa). Dan saya bahagia jika bertemu dengan orang-orang yang sadar ataupun tidak sadar telah bersama-sama saling merajut makna dan memberi arti...

Asa yang Berlari

Mataku terlelap, tubuhku tersandar, setiap kali ban mobil menggilas permukaan kasar, tubuh dan mata itu akan tersentak. Aku berada di antara tiga penumpang mobil lainnya. Semuanya perempuan, dua di antaranya dengan ukuran agak jumbo, membuat jok paling belakang panther ini terasa sangat sempit. Badanku rasanya terjepit hingga aku lebih sering memilih posisi tidak sandar.

16 lagu di kepalaku terus berotasi melalui pemutar musik hape di pangkuanku. Dan di kepalaku hanya ada tiga pikiran yang terus saling beradu. Besok berkas lamaran harus dimasukkan, bayar hutang, dan bertemu keponakanku. Namun, pada poin ketiga inilah tujuan utamaku pulang ke Bone. Aku rindu sekali padanya.

Suaraku membahana memanggilnya. Ia tidak mau melepaskan diri dari buaian sang ibu ketika aku datang. Betapa aku ingin sekali melihat dia berjalan. Beberapa minggu lalu ibu mengabarkan berita gembira itu. Kerinduanku akhirnya mencair juga melihat ia tersenyum, walau masih ragu menghampiriku.

Agak khawatir juga dengan posisi berjalannya yang belum seimbang benar. Kalau dia berjalan, kakinya tidak menghadap ke depan, tapi terbuka ke arah luar tubuhnya yang masih rapuh. Sesekali ia memegang sesuatu sebagai penyeimbang, entah mainan, tas kantor ibunya, atau sapu lidi.

Sebentar sekali aku bisa mencairkan gunung es rindu, malam ini aku harus pulang lagi ke Makassar. Tapi tidak apa-apa, kusimpan saja lelehan-lelehan itu agar membeku kembali, agar aku bisa pulang dan membawakannya mainan dan sepatu-sepatu lucu yang sering kulihat di pusat-pusat belanja.

So, Run Asa!!!! Run!!!

6 November 2009

Dua Puluh Satu Ilham

Tidak ada yang mengingatkan saya kecuali tanggal di layar handphone. Seperti pagi-pagi biasanya, saya bangun kesiangan dalam keadaan kaget. Pusing sendiri, tidak ada yang bisa disalahkan dengan pola hidup saya yang makin tidak teratur ini.

Oh, ternyata sudah tanggal 6, tidak ada yang berarti pertama kali aku melihat layar. Namun angka ini tiba-tiba membawa ingatan dari dua kamar sebelah, adik saya Ilham hari ini tepat berusia 21 tahun. Rencananya, saya mau menaruh kemalasan pada momen ini. Tidak perlu repot-repot bilang selamat.

Hufh...saya teringat tahun lalu di 22-ku. Ia membawakan kue berlilin dengan sebungkus kado. Ingatan yang menuntun jari-jari malas saya menekan tuts huruf yang akhirnya terangkai menjadi kalimat "HEPI BDAY", singkat, padat, dan malas....Malas juga rasanya, waktu ia mengirim pesan balasan "makasih, ih senangku"....

Asaku, cepat-cepatlah selesai kuliah, itu TV kalau malam tolong volumenya dikurangi, soalnya saya jadi insomniac mendengar tayangan-tayangan berita. Terakhir, jangan pernah mengeluh kalau dimintai tolong, ya!!!

5 November 2009

Eksperimentasi










Ide ancur ini berawal dari matahari yang tiba-tiba bersinar dengan cerahnya. Mumpung cahaya sedang bagus-bagusnya layak
soft box, saya meminta ka harwan mengabadikan beberapa saat. Harap diingat tidak ada satupun pose di atas yang natural, semuanya terorientasi dengan sangat disengaja, mafhum wajah ini tidak mirip kamera a.k.a. tidak camera face. Tapi bolehlah, buat katalog produk distro darimanaaaa gitu?!! Hehehe, saya tidak keberatan jika anda tersenyum, ngakak, atau kening anda jadi berkerut.

Model: Erato Kleio
Fotografer: Harwan Sang Alang
Penata Gaya: Harwan Sang Alang
Lighting: Victor Lingka
Lokasi: Pondok Rahmat
Jilbab: Paris MTC
Baju: Airwalk Cap Karung
Jeans: WR
Sepatu: Cafu
Tas: Export
Kamera: Sony Ericsson K530i 2 MP