29 August 2012

Sewindu


12 Agustus 2012
Hari ini, tepat 8 tahun lalu, saya resmi menjadi penduduk Makassar. Dengan niat menuntut ilmu, merantau ke ibu kota yang mendengar namanya saja langsung terbayang jauhnya perjalanan dan medan berliku yang mengaduk-aduk isi perut. Perjalanan ini adalah cobaan yang mau tidak mau harus dijalani, demi menginjakkan kaki di universitas idaman lulusan-lulusan SMA di Sulawesi Selatan.

Malam sebelum berangkat, aku melipat tumpukan pakaian yang masih hangat habis dijemur saat kakakku Ahsan yang 3 tahun sebelumnya telah meniti hidup di Makassar, muncul dari balik pintu.

“Lipat memang mi, mungkin ini terakhir kalinya lipat baju di sini,” ucapnya disambut tawa ringan ibu.

Aku terharu mendengarnya. Hari itu belum semenye-menye sekarang jadi perasaan untuk pergi lebih ringan. Pakaian kusiapkan banyak-banyak dibanding keberangkatan sebelumnya waktu ikut SPMB 2004.

Kabar kelulusan itu kudengar dari teman SMP ku,  Awis, yang menghubungi lewat hape bapak. Aku memang meminta tolong padanya untuk melihat pengumuman via internet. Kebetulan Awis sedang di Makassar. Malam itu saya dan ibu duduk di depan tv dekat ruang tamu tak jauh dari kamarnya.  Aku duduk di kursi, ibu melantai. Sementara hape kami biarkan menganggur, menunggu kabar dari jarak 150 km. Kabar itu datang juga, aku sudah siap dengan hasil apapun. Mata ibu tidak lepas dariku.

“Em, 812841 itu kode jurusan apa? Selamat ya kamu lulus di situ!” sahut Awis

“Iya? Huaaaa… Itu Ilmu Komunikasi… Alhamdulillah lulus ya…

Mendengar kata ‘lulus’ itu, Ibu sontak berdiri dan menghambur memelukku. Belum pernah kulihat ibu sebahagia itu.. Hingga hari ini, aku menganggap itulah kebahagiaan terbesar yang bisa kuberikan. Matanya merah sementara aku masih terhubung dengan Awis. Mata merah yang sama kulihat lagi saat ia pamit pulang ke Bone setelah mengantarku ke Makassar. Sempat terpancing ikut menangis tapi khawatir ibu makin berat melangkah, jadi aku menggodanya dengan tersenyum seolah semuanya akan baik-baik saja.

"Eh, kamu bagaimana, Wis?"

Sayang sekali temanku tidak lulus tahun itu, namun dicobanya lagi hingga 2005 ia bisa lanjut kuliah juga, setahun di bawahku hehehe.

FIS III tercinta :") (6 Januari 2005)
Kehidupan kampus, mulai dari Pra-Ospek hingga Wisuda kujalani selama lima tahun. Kampus adalah tempat teraman, terkadang malah jadi semacam escapism. Tata letak almamaterku ini didesain seperti sebuah kampung sendiri, seperti perumahan yang menepi dari riuhnya jalan raya yang tidak pernah padam oleh lampu kendaraan di malam hari. Agaknya itu menjadi alasan hingga hari ini aku masih belum beranjak dari kawasan kosan belakang Ramsis Putri, dengan resiko lokasi kantor harus ditempuh hingga satu jam. Seorang teman kantor pernah mengajak tinggal di rumahnya yang lebih dekat dari kantor. Tapi tidak ada yang sepadan dengan tambak di samping rumah kosan, puncak Gunung Bawakaraeng yang terlihat dari jendela kamar, dan aroma jemuran nan wangi setiap melintas di depan kosan yang berjejer hampir di sepanjang jalan masuk.

Delapan tahun berlalu, menjadi saksi pelebaran jalan, pohon-pohon rindang tepi jalan sudah ditebang.  rawa-rawa yang ditimbun untuk ditanami ruko-ruko baru yang berdampak jalanan tergenang jika musim hujan tiba , aksi-aksi mahasiswa yang lebih sering menjadi bulan-bulanan media dan bahan olok-olok mereka yang hidup mapan, bikin hati jadi perih, tempat-tempat nongkrong makin banyak yang kerap menggodaku turun dari angkot. 

Pintu Satu Univ Hasanuddin sebelum renovasi (2 Maret 2005)
Tahun ajaran baru tidak lama lagi dimulai. Kosan tempat tinggalku kedatangan tiga penghuni baru, semuanya mahasiswa baru dengan koper besar-besar dan dispenser yang tidak pernah off. Beban listrik bertambah, jadinya pompa air bermasalah, air tidak mengalir ke lantai dua tempatku berada. Fiuh, serasa de javu, tujuh tahun hidup di kosan, tidak lengkap gelar sebagai anak kos jika tidak angkat-angkat air hehehe…

Review: Madness


Akhirnya Madness, single pertama dari album terbaru Muse diperdengarkan ke public 20 agustus kemarin. Happy yes! Bermodal sinyal wifi pas-pasan di computer kak accang, pencarian dimulai. Resminya di putar di Radio BBC pukul 04.00 WITA. Layaknya virus, filenya tersebar cepat, file mp3 nya juga berhasil saya dapatkan. Fiuh..


Kesan pertama mendengar lagu ini: Linkin Park kolaborasi dengan U2. Paruh pertama lagu seperti mendengar In the End versi Reanimation (dulu punya kasetnya ntah di mana sekarang), sound drumnya tunggal tanpa variasi, berbarengan dengan distorsi bas Chris yang sangat kental, tidak ada gitar sama sekali. Barulah, pertengahan lagu, melodi Matt masuk yang langsung mengingatkan saya pada sound Bryan May dari Queen. Melodi ini jadi pengantar ke paruh kedua lagu, sound U2 sangat terasa, seperti mendengar suara gitar The Edge, apalagi pas suara Matt makin mendaki dan mencapai puncaknya lalu falsetto,  saya seperti mendengar Bono di lagu Sometimes you can’t make it on your own! Epic! Makin didengar makin enak. I kinda enjoy it more than The Resistance. 

“I have finally see the light…” Buat penggemar yang memantau perjalanan ---- Matthew, pasti potongan lirik ini punya makna tersendiri. Dalam sebuah wawancara, Matt sebagai one man show pernah berkata “There is no light but brighter shadow”. Yeah, people change! Secara keseluruhan, liriknya adalah kelanjutan dari perjalanan sang vokalis mencari cahaya. mengingatkan saya pada lagu “Endlessly” “Guiding Light”  yang juga adalah pergolakan batin sang vokalis yang kini sudah punya penerus, the baby boy Bingham Bellamy.

14 August 2012

Hearing Muse is Hearing Memories

This life could be the last, and I'm too old to dream...

Petikan lirik ini tiba-tiba melintas saat aku berada dalam angkot yang tengah membelah kerumunan jemaah tarwih depan sebuah mesjid besar di Makassar, beberapa hari lalu. Judulnya Blackout. Not long ago, kala kuliah masih jadi rutinitas sehari-hari, aku sering mendengar lagu ini tengah malam. Lagu tengah malamku, saat kelopak mata masih segara bertahan sampai dini hari, sesuatu yang sudah tidak bisa kulakukan setahun terakhir.

Meski sering kudengar, liriknya belum kuhapal benar, masih sering tertukar bait-baitnya. Lagu ini cuma berani kudengarkan di malam hari. Istilah temanku:  a transcendental song. Bawaannya merinding kalau sudah dengar intronya. Matt Bellamy is mental! "Pada tahap tertentu could bring you closer to divine", seloroh temanku. Ah, semoga nda lebay ya.

Aku termasuk pendengar baru lagu-lagu Muse, 2004, saat memeriksa koleksi pirigan cakra padat kak Pian (yes, dia lagi dia lagi) hasil perburuan di Saitama. Ada tiga keping berlabel MUSE: Showbiz (1999), Origin of Symmetry (2001) dan Absolution (2003). Pengalamanku mungkin sama seperti kebanyakan penggemar yang baru ngeh waktu mereka merilis "Hysteria" dari album Absolution dan itu menjadi jalan untuk menyelami lagu-lagu mereka yang sudah ada sebelumnya, and it was fun, CD nya bahkan kubawa lari ke Makassar dan kak Pian tidak tahu :D 

Demi artwork ini, saya akan beli CD nya!
Bagian menyenangkan lainnya adalah menunggu album baru mereka. Waktu Black Holes and Revelation (2006) dan The Resistance (2009) menunggu rilis, tiada hari tanpa kata "muse" di serach engine heheh. Setiap hari ke warnet buat cari kabar terbaru, via majalah online, twitter belum ramai waktu itu, dsb dsb. Bahkan sampai nginap kalau perlu demi nunggu donlotan! :D

Tahun ini, tepat tiga tahun setelah album terakhir rilis, Muse akan kembali meluncurkan album terbaru "The 2nd Law". Namun tidak segencar tahun-tahun sebelumnya, kali ini aku lebih banyak duduk di depan laptop, menunggu info itu datang sendiri di timeline twitterku. No more warnet, or nginap di himpunan berburu lagu. Sudah bisa lebih bersabar kayaknya ya, hehehe. Tapi suara Matt masih sering kudengarkan, baik langsung dari winamp, atau menghadirkannya saja di kepalaku, seperti waktu berada di angkot pulang kantor itu.

thanks for 'ruining' my life
A song is a good friend. I believe it, saat sendiri lagu menjadi penawar sepi terbaik, teman yang membantu kita melawan lupa, meski terkadang hal-hal yang ingin kita lupakan justru lebih banyak hadir di dalamnya... 

Lantai 22, 140812
Waiting for The 2nd Law

11 August 2012

Hitam Putih

"When you photograph people in color, you photograph their clothes. But when you photograph people in Black and white, you photograph their souls!"  (Ted Grant)
Iseng buka file-file foto yang saya capture beberapa bulan lalu. Tiba-tiba melintas ide mengolahnya menjadi hitam putih.  Saya sangat senang foto hitam putih, seperti kata Ted di atas, foto hitam putih selalu punya magis sendiri. Warnanya memang hanya ada dua, hitam dan putih, namun kesan yang ditampilkan sangat beragam dan dalam. dalam foto hitam putih, waktu yang berlalu dapat dirasakan, isi hati yang terbaca lebih dalam dan bahkan terkadang kelam, seperti harapan yang terbenam dalam selembar foto (duh, mulai ngawur :p). Berikut beberapa foto yang saya transfer ke hitam putih via Photoshop. 


 Searah jarum jam:
  • Ronald Fristianto, masih di acara Konser Reuni GIGI di Pantai Akkarena. Banyak yang bilang flare dari cymbal mengganggu tapi saya justru suka efeknya (muji foto sendiri)
  • Sang Penari, foto ini saya take di Fort Rotterdam dalam acara yang disponsori kantor, maksimalnya cuma bisa dapat ini.
  • Daffodil, si ponakan Daffa, jadi bahan eksperiman waktu dia datang ke rumah, hehehe, maapin tantemu nak
  • The Bride, my friend Echy waktu resepsi nikah April 2012
  • Kursi-kursi di rumah perahu di Pantai Bira, Bulukumba, end of January 2012
  • The Couple, Kak Asri and Dewi, di Gowa 18 September 2011
  • The Ufip Man, Ronald di balik cymbal kesayangan
  • Yudisium, teman-teman angkatan plus senior cowok sebelum yudisium, Desember 2008
  • Separation, nemu kerang kering di pinggir pantai sekitar Akkarena waktu acara outing kantor, Oktober 2011
  • Foto paling keren yang pernah saya take, modelnya Dwi and baby Ara, Fort Rotterdam, Mei 2012

6 August 2012

Chasing Ronald

3 Juni  2012
Sometimes in June 2011 I wrote this :))

Seminggu lalu (27 Mei), setelah melewati berbagai titian pertanda dan memusatkan energi, akhirnya saya berhasil mewujudkan mimpi bertemu dengan drummer idolaku Ronald Fristianto. Alhamdulillah, terkadang saya geleng-geleng kepala sendiri setiap mengingat rangkaian peristiwa yang harus dilalui untuk sampai ke sana, semua terasa cepat dan possible. Awalnya saya menyangka hanya bisa melihatnya dari kerumunan penonton, tapi kurasakan lagi hadirnya tangan-tangan tak terlihat yang menuntunku pada salah satu momen paling penting dalam hidup.
 
“Pertama kali liat Ronald, saya masih kelas dua SD lho,” kataku waktu menemuinya di belakang panggung.
 
Ronald dengan ekspresi terkejut merespon, “waaaah kamu kecil banget!!”

Formasi 1996, baju kaosnya kebesaraaaaan :p
“Iya, pas lagi jaman-jamannya kita masih nonton Ksatria Baja Hitam. Trus kakak bawain kasetnya GIGI yang sampulnya…mmm..mmm...” banyak kata berputar di kepala, aku tidak bisa menyelesaikan kalimat ini

“Yang gambar kloset itu ya? ia menimpali kemudian

Tanpa komando, kami tertawa bersamaan. Oh sweetness...

***

instant that makes eternity #eaa
“Makasih ya udah sering reply tweet-ku. Saya ermus..” jelasku 

GIGI sedang membawakan lagu beat cepat, hingga pertanyaan tadi tidak jelas ia dengar… Lalu ia mendekatkan telinganya… dooooohhh…. Siapa yang tidak tersanjung wkwkwk,,,

“ermus..” kataku lagi

“Ooooohh,.. kamu yang namanya ermus,”

“iya,,, hehe”

“Mmmm… tadi kamu DM ya, Sori tadi mau balas, tapi pending terus” jawabnya sambil memainkan stik drum di kedua tangannya.

"They say when you meet the love of your life, time stops, and that's TRUE. What they don't tell you is that when it starts again, it moves extra fast to catch up" (Big Fish)

Fans dan idola akhirnya bertemu... hihihi. Rasanya seperti naik rollercoaster pas turun menukik, melambung lalu terhempas, jantung rasanya lepas. Kalau istilah saya ke dwi, seperti bulir-bulir kembang api yang menunggu padam, hening setelah meledak...

The Show

Konser Reuni Persahabatan GIGI, Akkarena, 270512
09 Juli 2012,
Tubuh saya masih terbalut seragam sekolah, belum sempat menggantinya karena baru saja tiba dari sekolah, saat kami mendapat kabar gembira itu. Bapak membawa tape baru, setelah sebelumnya kami terpuaskan oleh radio transistor tua miliknya. Kakak saya yang sudah menginjak usia SMP dan pergaulannya sudah luas, beberapa hari setelah itu datang membawa beberapa kaset, salah satu di antaranya sampulnya dominan broken white dan bagian depannya bergambar pispot, aneh… 

Itulah persentuhan pertama saya dengan GIGI, adalah ketika saya masih umur 8 tahun, kurang lebih masih duduk di kelas 2 SD. Orang yang berjasa memperkenalkan, siapa lagi kalau bukan kak Pian, dialah yang membawa beragam aliran musik masuk ke dalam rumah kami. Tiada malam ia lalui tanpa lagu-lagu dari album Angan, hingga saya dan adik-adiknya yang lain sampai hapal lirik-liriknya.

Behind the scene 'Janji' (1994)
Rekaman ingatan inilah yang membuat saya gemas, ketika menyaksikan siaran konser Reuni Gigi di Indosiar, Mei 2011 lalu. Lebih gemas lagi saat mereka melakukan tur di beberapa kota di Pulau Jawa. “Makassar kapan mas?” tanyaku pada Ronald dan Baron melalui twitter. “Doakan saja ya J”, reply-nya. Apakah ini doaku yang terjawab, semoga saja, karena tepat setahun setelahnya, Makassar akhirnya dapat jatah.. Yeay!!

Nada petikan okulele mengalun dan sampai di telingaku yang masih asik berada di belakang panggung, bercengkrama sejenak dengan salah satu eks personel Gigi. Memasuk paruh lagu, sang eks pun bersiap-siap naik ke panggung. Aku juga kembali mengutak-atik D7000 yang tergantung di leherku, juga bersiap mengabadikan momen paling ditunggu-tunggu dari konser malam itu.

Dewa dan Baron, terlalu cepat pisah euy!
Lagu yang dimainkan Dewa Budjana malam itu, berjudul Sahabat. Sungguh tepat dengan tema yang diusung sponsor malam itu, Persahabatan. Gigi resmi terbentuk pada tanggal 22 Maret 1994 dengan personel yang terdiri dari Armand Maulana, Thomas Ramdhan, Dewa Budjana, Ronald Fristianto, dan Baron Arafat. Seiring berjalannya waktu, laiknya hukum chaos, formasi terbaik ini retak dengan keluarnya satu per satu personel. Banyak yang beranggapan bahwa formasi ini adalah formasi terbaik yang pernah dimiliki GIGI. Anggapan tersebut tetap terawat dengan sendirinya hingga hari ini, termasuk saya yang punya rekaman memori tentang mereka saat pertama kali dan awal-awal mereka beredar di layar kaca maupun di ruang-ruang pendengaran.

Teori bahwa chaos akan melahirkan order baru memang benar adanya. Keretakan tidak akan abadi. Mereka akhirnya bertemu lagi, mengobati kerinduan akan momen-momen bersama yang terasa begitu cepat berlalu saat itu. Saat Gigi hampir bubar justru saat sedang jaya-jayanya. Keakraban itu sangat terlihat saat konferensi pers dan juga saat di panggung. Permintaan agar mereka kembali ke formasi awal, saya yakin sudah sering mereka dengarkan. Setiap kali mendengar permintaan ini, Baron sebagai peletak tonggak sejarah Gigi hanya bisa menjawab diplomatis: semua formasi punya kekuatannya masing-masing. Meski demikian, manajemen GIGI memberi angin segar, bahwa mereka berdelapan akan mengerjakan proyek album bersama-sama… Hmmm… Sounds convenient…

Thomas and Opet, cool dua-duanya
Di tengah lagu Sahabat, Armand menceritakan pengalaman GIGI dari 18 tahun lalu hingga hari ini. Dari bagian penonton kemudian terdengar koor yang makin lama makin riuh saat satu persatu eks personel masuk ke panggung. Seperti inilah cara GIGI membagi momen kebersamaan dengan para penggemarnya, yang malam itu didominasi angkatan 90, masa di mana Gigi menancapkan kaki di dunia musik Indonesia dan terbang menebarkan pengaruhnya ke penjuru Nusantara, tidak ketinggalan Makassar.

Sebelum “Sahabat” dimainkan, terlebih dahulu GIGI formasi terakhir membuka konser dengan “Sang Pemimpin”, “Bye-bye”, lalu diademkan dengan lagu “11 Januari”. Tidak banyak yang berubah dari terakhir show mereka di Makassar, 25 Juni tahun lalu.


Armand, pas lagi adem
Sosok Armand tidak berubah, loncat ke sana kemari, sungguh fit dan berisi, komunikatif, jahil. Armand adalah frontman terbaik di negeri ini. Delapan belas tahun malang melintang dari satu panggung ke panggung lainnya bersama Gigi adalah modal besar menghadapi medan pertunjukan apapun. Kemampuannya mengendalikan emosi penonton sudah tidak diragujan lagi. Satu poin berkesan mengenai Armand adalah vokalnya yang tidak berubah, stabil, tidak pecah dari album pertama hingga album terakhir. 

Mengenai Dewa Budjana, saya angkat tangan deh, sulit mendeskripsikan musikalitasnya, dia tidak tergantikan. Budjana adalah Gigi, Gigi adalah Budjana. Tidak ada sosok gitar hero dalam dirinya namun ia adalah ruh band. Tetap kalem dan cool .Thomas a.k.a Pak Haji makin berisi dan Hendy, si bungsu yang sempat bikin saya merinding kala gebukan beringasnya seolah ingin merubuhkan panggung.  

yang di tengah tidak tergantikan :')
 Momen inti yang dinantikan pun tiba. Baron, Ronald, Opet, dan Budhy diam-diam masuk panggung dan langsung menuju instrumen masing-masing. Selanjutnya, reaksi penonton bisa ditebak, saat berturut-turut formasi borongan ini memainkan lagu-lagu yang sudah bisa masuk kategori nostalgi: Terbang, Damainya Cinta, dan Kuingin. Sing-along tidak terhindarkan. Pada lagu Melayang, kedelapannya masing-masing unjuk "gigi". Thomas duet dengan Opet, Budjana adu finger dengan Baron, sementara ketiga drummer menggetarkan panggung dengan pukulan maut yang menyatu dalam satu set drum. 

Kelar lagu yang diangkat dari album "3/4" (tiga perempat) ini, para personel berkumpul di tengah panggung. Budhy meninggalkan drum bergabung dengan duo gitaris memainkan gitar. Ronald didapuk jadi drummer tunggal. Intro janji mengalun, tidak hanya meniupkan gemuruh dari penonton tapi juga kabar buruk, ini adalah pertanda nostalgi ini akan berakhir tidak lama lagi. BErsama lagu Angan dan Nirwana, ketiga lagu yang di-medley ini adalah saksi masa kecil yang menyenangkan.  
Armand dan Ronald, pemandangan langka
 Konser pun berakhir, semua personel menghilang dari panggung. Lighting satu per satu padam. Dua jam rasanya kurang, banyak lagu lama yang masih kuhapal tidak dibawakan. Namun, malam itu sangat membekaskan bahagia. Kebahagiaan yang membuat saya tidak henti-hentinya senyum, bahkan saat berada dalam taksi yang melaju kencang tanpa hambatan, membelah jalan-jalan lengang kota Makassar yang tengah lelap menyiapka energi menyambut pagi beberapa jam lagi...
  

Road to Backstage (part 2)

Pemilik suara itu ternyata itu adalah Sigit, Armas, Lucky, dan Opi, junior saya di kampus, mereka bertugas merobek tiket. Yang lebih bikin semangat lagi, dari Sigit saya jadi tahu kalau di dalam venue sudah ada senior-senior saya kak Uchu dan kak Yudi. Yes, ada kesempatan untuk masuk lebih dekat dengan backstage. 

Tiba di dalam aku mengedarkan pandangan. Para penonton yang lebih dahulu masuk duduk berkelompok-kelompok. Suasana remang-remang tidak memungkinkan saya mengenali wajah itu satu persatu. Aku meraih handphone dan menghubungi kak Uchu. Awalnya kupikir karena kesibukannya, ia mungkin tidak akan menjawab. Tapi tidak ada salahnya mencoba. Sambil menunggu panggilanku terjawab, perhatianku lalu tertuju pada stage, wow! 

Sekilas tampak seperti panggung 360 milik U2, namun dalam bentuk yang lebih sederhana. Lantai panggungnya berbentuk bintang (sesuai dengan logo Bir Bintang), lalu pada masing-masing 4 sudut bintang itu tertancap rangka melengkung, sementara ujung lainnya bertemu tepat di atas panggung. Lalu titik pertemuan itu ditopang tiang besar yang dipasangi layar tivi bersusun-susun mengelilingi tabung itu. Tarik napas… Aku sangat suka dengan konser outdoor. Barikade yang selama ini jadi tempat paling pewe untuk liat performer lebih dekat masih kosong. 

Di ujung telpon, suara ka Uchu akhirnya terdengar, Alhamdulillah dijawab. Kak Uchu lalu menemani saya melewati barikade samping panggung menuju tenda besar yang kukira tempat bagi wartawan untuk bersiap-siap. Ternyata tenda itu adalah booth tempat GIGI dan eks personel akan melakukan konferensi pers. Gedebuk!! Saya seperti tertimpa batu di kepala, tidak percaya. Di dalam saya bertemu dengan kak Yudi dan Tito yang sudah siap dengan alat tempur masing-masing (kamera,red).

Kurang lebih sejam, rombongan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, lengkap 8 orang (Armand, Gusti, Dewa, Thomas, Ronald, Opet, Budhi, dan Baron). Saya duduk di kursi paling depan, sungguh tidak mau kehilangan momen pemirsah, hehe. Sesi tanya jawab dimulai, saya dapat kesempatan untuk bertanya tentang siapa yang ingin mereka ajak berkolaborasi/jamming. Karena keterbatasan waktu, tidak semua personel bisa jawab. However, my excitement is not over yet. 

ready to rumble!!
Kelar prescon, aku melangkah keluar bertanya pada panitia area barikade mana saja yang boleh diakses. Jawaban yang kudapat sedikit membuatku kehilangan harapan, barikade depan panggung dijaga ketat, bahkan yang punya all access pun tidak bisa melewatinya, kecuali wartawan. Aku mengambil barang bawaan yang kutitip di depan tenda, keluar pagar pembatas menuju depan panggung sebelah kanan di mana Irna sudah menunggu. Pagar pembatasnya tidak kusangka bahkan lebih tinggi dariku, membuatku kesulitan mengambil gambar nantinya. Depan panggung yang tadi masih kosong saat pertama datang sudah dipenuhi penonton yang masih duduk-duduk menanti.


Musik dimatikan, sepasang MC masuk ke panggung , seketika semua penonton dari berbagai arah berdiri dan merangsek ke barisan paling depan. Dari dandanan dan teriakan mereka saya akhirnya jadi tahu pasti mereka fans JRock yang menjadi band pembuka konser reuni. Jadi, malam itu penonton terbagi dua, yang ingin menonton Jrock di sisi depan dan sisi kiri panggung dan yang ingin melihat GIGI di sebelah kanan. 
JRocks as the opening act
Arus penonton makin padat, sesak, dan panas. Asap rokok membumbung bercampur dengan aroma bir dari mulut-mulut yang berteriak menyanyi dan juga keringat. Aku mulai gelisah, bukan karena berdesak-desakan tapi karena view pengambilan gambar yang sangat tidak suitable. Salut saya berikan kepada teman-teman Gigikita yang baru kutemui malam itu, mereka memberi kami ruang khususnya perempuan agar tidak terlalu berdesakan dan lebih nyaman. Setiap ada celah, kami akan dibawa ke sana. Setelah berangsek sedikit demi sedikit, akhirnya view maksimal di panggung depan agak kanan kami dapatkan.

padat pemirsah!
Namun, aku masih gelisah. Apalagi melihat Tito berhasil melewati barikade panggung. Aku berniat menuju tempat pengambilan badge all access meski jauh di depan pintu masuk Akkarena. Namun rapatnya barisan penonton, menguburkan niatku. Aku masih memutar otak bagaimana bisa melewati pagar itu. Sementara J Rocks sudah sampai di lagu ke enam, sebentar lagi berakhir dan akan diganti dengan GIGI. Huaaaa… kepalaku mau pecah.

Harapanku tinggal kak Uchu, aku menghubungi nomornya dengan putus asa, di tengah suasana hingar bingar ini kecil kemungkinan telponku diangkat, jika pun diangkat pasti suaraku tidak akan terdengar ditelan sound system di berbagai penjuru. Namun, kekhawatiranku tidak terbukti, kesempatan itu akhirnya datang lagi, Berkat kebaikan hati seniorku ini, aku bisa leluasa masuk melewati barikade. Rasanya ingin sujud syukur Alhamdulillah… I’m the luckiest bitch in the world! backstage dan areal barikade bagiku adalah surga dan aku telah memasukinya, Subhanallah…

Road to Backstage (part 1)

Senin, 28 Mei 2012

Jika ada pekerjaan yang paling kubenci di dunia ini, itu pasti "backstager", karena saya begitu menginginkannya. Bayangkan dengan berbekal ‘all access’ tergantung di leher, mereka bisa berseliweran di depan dan belakang panggung, potret kiri kanan, ngobrol dengan performer, dsb. Backstager yang aku maksud ini adalah local organizer yang bertanggung jawab dengan jalannya acara, reporter dan fotografer yang mengabadikan acara, dan juga sekuriti tentunya yang menjaga keamanan.

Dan malam tadi menjadi salah satu malam paling membahagiakan buat saya, karena bisa menjadi bagian dari backstager tersebut, lebih membahagiakan lagi karena yang tampil adalah GIGI plus eks personil mereka yang sudah saya tunggu-tunggu sejak tahun lalu, sejak manajemen GIGI menggelar program reuni dalam rangka ulang tahun mereka yg dirayakan tiap tanggal 22 Maret. Tahun lalu,  GIGI sempat berkunjung ke Makassar namun tanpa eks personel.

Kabar GIGI akan reuni di Makassar sudah terdengar sejak awal April lalu, dan kabar tersebut saya dapatkan langsung dari Ronald, eks drummer yang justru paling ingin aku temui. Padatnya kegiatan di kantor bikin khawatir tidak akan kebagian tiket. Namun setelah menyisihkan waktu sejenak untuk berburu tiket, akhirnya bukti pembayaran tiket itu aku dapatkan juga pada hari Jumat. Tiket kelar,  satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah K.A.M.E.R.A. Bisa jadi momen one in a lifetime, sekali seumur hidup, tidak boleh berlalu begitu saja. 

Kak Adi, salah seorang teman kantor berbaik hati meminjamkan Nikon D7000 nya (sudah saya inden satu bulan sebelumnya, hehe). setelah latihan pake kamera keren ini, kosongkan beberapa giga memori, hari minggu akhirnya kaki ini melangkah juga menuju venue konser di Pantai Akkarena. Tidak lupa saya membawa kartu pers tempat saya bekerja, dengan harapan saya bisa melewati barikade penonton. 

Tiket sudah bisa ditukar di venue sejak jam 4 sore. Saya sendiri baru tiba di Akkarena kurang lebih pukul 19.30. Awalnya saya berencana datang lebih awal supaya bisa dapat sunset Akkarena. Namun karena sesuatu dan lain hal, akhirnya molor. Orang mulai ramai berdatangan, lagu-lagu tempo cepat dan keras nonstop terdengar dari main stage. Sekuriti yang saya lewati di tempat penukaran tiket sempat bertanya apakah saya datang sendiri, saya tersenyum menjawab iya. Lalu dengan sedikit berbisik ia meminta sekaleng bir hasil penukaran tiket saya berikan kepadanya di akhir acara. Saya tertawa tidak menjawab berbalik menuju loket.
Tiket asli sudah di tangan, calon penonton diarahkan ke gate konser yang letaknya sekitar 150 meter dari loket. Musik masih berdentum dari berbagai arah memacu adrenalin, memacu kaki-kaki yang berseliweran melangkah lebih cepat. Namun tidak pada kakiku, perjalanan seharian cukup melelahkan. Menggenggam tiket itu juga turut menenangkan perasaanku.  Di hadapanku orang-orang berjalan berpasangan, mungkin dengan pacar atau dengan sahabat. Mungkin cuma aku yang datang sendirian di bibir kota Makassar ini, hehe. 

Sambil berjalan, aku membereskan bawaan yg lumayan banyak untuk dibawa sendiri. Tiba di gate, aku tidak langsung masuk. Irna, sahabat yang baru kukenal kurang lebih empat bulan terakhir, kami bekerja di kantor yang sama J, dan ternyata juga penggemar berat GIGI, sudah tiba lebih dahulu bersama GIGIkita lainnya (sebutan untuk fans berat GIGI). Rasa lelah perlahan berkurang bertemu Irna, aku tidak ‘sendirian’ lagi di tempat ini. Di bibir gate, sekuriti bertubuh kekar dibalut pakaian hitam-hitam sudah pasang badan. Aku memutuskan masuk sendiri setelah beberapa suara terdengar menyebut namaku. 

5 August 2012

Saat si Adik Pulang Kampung

Satu panggilan tidak terjawab tertera di hapeku, saat aku melangkah keluar dari salah satu mart di Panakkukang. Dari si adik, dia juga mengirim pesan menanyakan keberadaanku. Aku baru membalas panggilannya saat angkot yang kutumpangi masih nge-tem menunggu penumpang lainnya.

"Mau titip barang di kamarmu... Besok saya mau ke Bone, supirnya lupa jemput barangnya tadi malam, saya sudah hubungi besok malam baru diangkut lagi..." katanya di ujung telpon.

Aku sudah tahu kabar kalau ia akan pulang ke kampung halaman kami sejak dua hari lalu. Yang bikin kaget, ternyata secepat itu. Adikku, Ilham baru saja wisuda tiga bulan lalu. Setelah perjuangan panjang kuliah selama 5 tahun (di luar masa kuliah setahun di Dipanegara), akhirnya ia selesai juga. Awalnya ia ingin bertahan di Makassar, mencari kehidupan di sini bersama-sama denganku. Namun tiga bulan berlalu, banyak yang berubah, termasuk niatnya untuk memilih bekerja di Bone, tempat kami menghabiskan masa kecil kami.

Entah dari mana datangnya, melankoli menyerangku... Empat tahun lalu, kawan seperjuangan yang juga kakakku Accang memilih jalannya meninggalkan Makassar. How time flies so fast... Aku menginjakkan kaki di ibukota Sulsel sejak delapan tahun lalu, kota yang perlahan mencengkram kedua kakiku bertahan, kota yang berhasil menancapkan rasa campur aduk. 


Tiga tahun pertama, aku menjalaninya bersama si kakak, dan sisanya dengan adikku. Kini, kamarnya yang selalu ramai oleh kawan-kawannya sudah terkunci. Barang-barang yang bikin ruangan terasa sumpek sudah dikarduskan di depan pintu. Dua malam lalu pula, aku mengambil beberapa buku yang pernah ia pinjam semasa kuliah.

"Kemarin dia tanya, kalau-kalau ada guru yang butuh asisten. Ya, siapa tau dia mau seperti mama..." kata ibu saat aku berkunjung ke Bone, Sabtu lalu.

Ada sedikit cekat di tenggorokanku, bukan karena pilihannya... Aku melihat adikku, yang sering bikin aku menangis sewaktu kecil, yang pernah makan semangkuk es teler berdua di teras rumah tetangga, yang suka menangis sedih ditinggal berdua denganku oleh ibu yang berangkat mengajar... Kami memang tidak terlalu akrab, aku terlalu irit kata padanya..

He is a big boy now, dan yang bikin lebih haru lagi, ia sudah sangat siap dengan pilihan-pilihan hidup, apapun itu. Dia si bungsu tapi tidak semanja diriku...

Aku melepas plastik perekat foto perlahan, takut kedengaran ibu lalu ia akan melarang, meski akan kukembalikan lagi. Sebuah foto lama, di rumah nenek di Arasoe, aku lupa kapan foto itu di-take, tapi yang aku ingat aku yang memotretnya :) pengalaman pertamaku dengan kamera, kamera yang masih kena efek paralaks. Ini adikku, dia baru bangun dan aku memaksanya duduk dan bergaya, dan inilah gaya terbaiknya, quite camera face, wasn't he? 

kiyuuut
 Good Luck ma lil bro, kapan-kapan datanglah menjengukku, kita makan pizza atau nonton film lagi...