5 August 2012

Saat si Adik Pulang Kampung

Satu panggilan tidak terjawab tertera di hapeku, saat aku melangkah keluar dari salah satu mart di Panakkukang. Dari si adik, dia juga mengirim pesan menanyakan keberadaanku. Aku baru membalas panggilannya saat angkot yang kutumpangi masih nge-tem menunggu penumpang lainnya.

"Mau titip barang di kamarmu... Besok saya mau ke Bone, supirnya lupa jemput barangnya tadi malam, saya sudah hubungi besok malam baru diangkut lagi..." katanya di ujung telpon.

Aku sudah tahu kabar kalau ia akan pulang ke kampung halaman kami sejak dua hari lalu. Yang bikin kaget, ternyata secepat itu. Adikku, Ilham baru saja wisuda tiga bulan lalu. Setelah perjuangan panjang kuliah selama 5 tahun (di luar masa kuliah setahun di Dipanegara), akhirnya ia selesai juga. Awalnya ia ingin bertahan di Makassar, mencari kehidupan di sini bersama-sama denganku. Namun tiga bulan berlalu, banyak yang berubah, termasuk niatnya untuk memilih bekerja di Bone, tempat kami menghabiskan masa kecil kami.

Entah dari mana datangnya, melankoli menyerangku... Empat tahun lalu, kawan seperjuangan yang juga kakakku Accang memilih jalannya meninggalkan Makassar. How time flies so fast... Aku menginjakkan kaki di ibukota Sulsel sejak delapan tahun lalu, kota yang perlahan mencengkram kedua kakiku bertahan, kota yang berhasil menancapkan rasa campur aduk. 


Tiga tahun pertama, aku menjalaninya bersama si kakak, dan sisanya dengan adikku. Kini, kamarnya yang selalu ramai oleh kawan-kawannya sudah terkunci. Barang-barang yang bikin ruangan terasa sumpek sudah dikarduskan di depan pintu. Dua malam lalu pula, aku mengambil beberapa buku yang pernah ia pinjam semasa kuliah.

"Kemarin dia tanya, kalau-kalau ada guru yang butuh asisten. Ya, siapa tau dia mau seperti mama..." kata ibu saat aku berkunjung ke Bone, Sabtu lalu.

Ada sedikit cekat di tenggorokanku, bukan karena pilihannya... Aku melihat adikku, yang sering bikin aku menangis sewaktu kecil, yang pernah makan semangkuk es teler berdua di teras rumah tetangga, yang suka menangis sedih ditinggal berdua denganku oleh ibu yang berangkat mengajar... Kami memang tidak terlalu akrab, aku terlalu irit kata padanya..

He is a big boy now, dan yang bikin lebih haru lagi, ia sudah sangat siap dengan pilihan-pilihan hidup, apapun itu. Dia si bungsu tapi tidak semanja diriku...

Aku melepas plastik perekat foto perlahan, takut kedengaran ibu lalu ia akan melarang, meski akan kukembalikan lagi. Sebuah foto lama, di rumah nenek di Arasoe, aku lupa kapan foto itu di-take, tapi yang aku ingat aku yang memotretnya :) pengalaman pertamaku dengan kamera, kamera yang masih kena efek paralaks. Ini adikku, dia baru bangun dan aku memaksanya duduk dan bergaya, dan inilah gaya terbaiknya, quite camera face, wasn't he? 

kiyuuut
 Good Luck ma lil bro, kapan-kapan datanglah menjengukku, kita makan pizza atau nonton film lagi...

No comments: