Satu panggilan tidak terjawab
tertera di hapeku, saat aku melangkah keluar dari salah satu mart di
Panakkukang. Dari si adik, dia juga mengirim pesan menanyakan keberadaanku. Aku
baru membalas panggilannya saat angkot yang kutumpangi masih nge-tem menunggu
penumpang lainnya.
"Mau titip barang di kamarmu...
Besok saya mau ke Bone, supirnya lupa jemput barangnya tadi malam, saya sudah
hubungi besok malam baru diangkut lagi..." katanya di ujung telpon.
Aku
sudah tahu kabar kalau ia akan pulang ke kampung halaman kami sejak dua hari
lalu. Yang bikin kaget, ternyata secepat itu. Adikku, Ilham baru saja wisuda
tiga bulan lalu. Setelah perjuangan panjang kuliah selama 5 tahun (di luar masa
kuliah setahun di Dipanegara), akhirnya ia selesai juga. Awalnya ia ingin
bertahan di Makassar, mencari kehidupan di sini bersama-sama denganku. Namun
tiga bulan berlalu, banyak yang berubah, termasuk niatnya untuk memilih bekerja
di Bone, tempat kami menghabiskan masa kecil kami.
Entah dari mana datangnya, melankoli
menyerangku... Empat tahun lalu, kawan seperjuangan yang juga kakakku Accang
memilih jalannya meninggalkan Makassar. How time flies so fast... Aku
menginjakkan kaki di ibukota Sulsel sejak delapan tahun lalu, kota yang
perlahan mencengkram kedua kakiku bertahan, kota yang berhasil menancapkan rasa
campur aduk.
Tiga tahun pertama, aku menjalaninya bersama si kakak, dan sisanya dengan adikku. Kini, kamarnya yang selalu ramai oleh kawan-kawannya sudah terkunci. Barang-barang yang bikin ruangan terasa sumpek sudah dikarduskan di depan pintu. Dua malam lalu pula, aku mengambil beberapa buku yang pernah ia pinjam semasa kuliah.
Tiga tahun pertama, aku menjalaninya bersama si kakak, dan sisanya dengan adikku. Kini, kamarnya yang selalu ramai oleh kawan-kawannya sudah terkunci. Barang-barang yang bikin ruangan terasa sumpek sudah dikarduskan di depan pintu. Dua malam lalu pula, aku mengambil beberapa buku yang pernah ia pinjam semasa kuliah.
"Kemarin dia tanya, kalau-kalau
ada guru yang butuh asisten. Ya, siapa tau dia mau seperti mama..." kata
ibu saat aku berkunjung ke Bone, Sabtu lalu.
Ada sedikit cekat di tenggorokanku,
bukan karena pilihannya... Aku melihat adikku, yang sering bikin
aku menangis sewaktu kecil, yang pernah makan semangkuk es teler berdua di
teras rumah tetangga, yang suka menangis sedih ditinggal berdua denganku
oleh ibu yang berangkat mengajar... Kami memang tidak terlalu akrab, aku
terlalu irit kata padanya..
He is a big boy now, dan yang bikin
lebih haru lagi, ia sudah sangat siap dengan pilihan-pilihan hidup, apapun itu.
Dia si bungsu tapi tidak semanja diriku...
Aku melepas plastik perekat foto
perlahan, takut kedengaran ibu lalu ia akan melarang, meski akan kukembalikan
lagi. Sebuah foto lama, di rumah nenek di Arasoe, aku lupa kapan foto itu
di-take, tapi yang aku ingat aku yang memotretnya :) pengalaman pertamaku
dengan kamera, kamera yang masih kena efek paralaks. Ini adikku, dia
baru bangun dan aku memaksanya duduk dan bergaya, dan inilah gaya terbaiknya,
quite camera face, wasn't he?
No comments:
Post a Comment