6 August 2012

The Show

Konser Reuni Persahabatan GIGI, Akkarena, 270512
09 Juli 2012,
Tubuh saya masih terbalut seragam sekolah, belum sempat menggantinya karena baru saja tiba dari sekolah, saat kami mendapat kabar gembira itu. Bapak membawa tape baru, setelah sebelumnya kami terpuaskan oleh radio transistor tua miliknya. Kakak saya yang sudah menginjak usia SMP dan pergaulannya sudah luas, beberapa hari setelah itu datang membawa beberapa kaset, salah satu di antaranya sampulnya dominan broken white dan bagian depannya bergambar pispot, aneh… 

Itulah persentuhan pertama saya dengan GIGI, adalah ketika saya masih umur 8 tahun, kurang lebih masih duduk di kelas 2 SD. Orang yang berjasa memperkenalkan, siapa lagi kalau bukan kak Pian, dialah yang membawa beragam aliran musik masuk ke dalam rumah kami. Tiada malam ia lalui tanpa lagu-lagu dari album Angan, hingga saya dan adik-adiknya yang lain sampai hapal lirik-liriknya.

Behind the scene 'Janji' (1994)
Rekaman ingatan inilah yang membuat saya gemas, ketika menyaksikan siaran konser Reuni Gigi di Indosiar, Mei 2011 lalu. Lebih gemas lagi saat mereka melakukan tur di beberapa kota di Pulau Jawa. “Makassar kapan mas?” tanyaku pada Ronald dan Baron melalui twitter. “Doakan saja ya J”, reply-nya. Apakah ini doaku yang terjawab, semoga saja, karena tepat setahun setelahnya, Makassar akhirnya dapat jatah.. Yeay!!

Nada petikan okulele mengalun dan sampai di telingaku yang masih asik berada di belakang panggung, bercengkrama sejenak dengan salah satu eks personel Gigi. Memasuk paruh lagu, sang eks pun bersiap-siap naik ke panggung. Aku juga kembali mengutak-atik D7000 yang tergantung di leherku, juga bersiap mengabadikan momen paling ditunggu-tunggu dari konser malam itu.

Dewa dan Baron, terlalu cepat pisah euy!
Lagu yang dimainkan Dewa Budjana malam itu, berjudul Sahabat. Sungguh tepat dengan tema yang diusung sponsor malam itu, Persahabatan. Gigi resmi terbentuk pada tanggal 22 Maret 1994 dengan personel yang terdiri dari Armand Maulana, Thomas Ramdhan, Dewa Budjana, Ronald Fristianto, dan Baron Arafat. Seiring berjalannya waktu, laiknya hukum chaos, formasi terbaik ini retak dengan keluarnya satu per satu personel. Banyak yang beranggapan bahwa formasi ini adalah formasi terbaik yang pernah dimiliki GIGI. Anggapan tersebut tetap terawat dengan sendirinya hingga hari ini, termasuk saya yang punya rekaman memori tentang mereka saat pertama kali dan awal-awal mereka beredar di layar kaca maupun di ruang-ruang pendengaran.

Teori bahwa chaos akan melahirkan order baru memang benar adanya. Keretakan tidak akan abadi. Mereka akhirnya bertemu lagi, mengobati kerinduan akan momen-momen bersama yang terasa begitu cepat berlalu saat itu. Saat Gigi hampir bubar justru saat sedang jaya-jayanya. Keakraban itu sangat terlihat saat konferensi pers dan juga saat di panggung. Permintaan agar mereka kembali ke formasi awal, saya yakin sudah sering mereka dengarkan. Setiap kali mendengar permintaan ini, Baron sebagai peletak tonggak sejarah Gigi hanya bisa menjawab diplomatis: semua formasi punya kekuatannya masing-masing. Meski demikian, manajemen GIGI memberi angin segar, bahwa mereka berdelapan akan mengerjakan proyek album bersama-sama… Hmmm… Sounds convenient…

Thomas and Opet, cool dua-duanya
Di tengah lagu Sahabat, Armand menceritakan pengalaman GIGI dari 18 tahun lalu hingga hari ini. Dari bagian penonton kemudian terdengar koor yang makin lama makin riuh saat satu persatu eks personel masuk ke panggung. Seperti inilah cara GIGI membagi momen kebersamaan dengan para penggemarnya, yang malam itu didominasi angkatan 90, masa di mana Gigi menancapkan kaki di dunia musik Indonesia dan terbang menebarkan pengaruhnya ke penjuru Nusantara, tidak ketinggalan Makassar.

Sebelum “Sahabat” dimainkan, terlebih dahulu GIGI formasi terakhir membuka konser dengan “Sang Pemimpin”, “Bye-bye”, lalu diademkan dengan lagu “11 Januari”. Tidak banyak yang berubah dari terakhir show mereka di Makassar, 25 Juni tahun lalu.


Armand, pas lagi adem
Sosok Armand tidak berubah, loncat ke sana kemari, sungguh fit dan berisi, komunikatif, jahil. Armand adalah frontman terbaik di negeri ini. Delapan belas tahun malang melintang dari satu panggung ke panggung lainnya bersama Gigi adalah modal besar menghadapi medan pertunjukan apapun. Kemampuannya mengendalikan emosi penonton sudah tidak diragujan lagi. Satu poin berkesan mengenai Armand adalah vokalnya yang tidak berubah, stabil, tidak pecah dari album pertama hingga album terakhir. 

Mengenai Dewa Budjana, saya angkat tangan deh, sulit mendeskripsikan musikalitasnya, dia tidak tergantikan. Budjana adalah Gigi, Gigi adalah Budjana. Tidak ada sosok gitar hero dalam dirinya namun ia adalah ruh band. Tetap kalem dan cool .Thomas a.k.a Pak Haji makin berisi dan Hendy, si bungsu yang sempat bikin saya merinding kala gebukan beringasnya seolah ingin merubuhkan panggung.  

yang di tengah tidak tergantikan :')
 Momen inti yang dinantikan pun tiba. Baron, Ronald, Opet, dan Budhy diam-diam masuk panggung dan langsung menuju instrumen masing-masing. Selanjutnya, reaksi penonton bisa ditebak, saat berturut-turut formasi borongan ini memainkan lagu-lagu yang sudah bisa masuk kategori nostalgi: Terbang, Damainya Cinta, dan Kuingin. Sing-along tidak terhindarkan. Pada lagu Melayang, kedelapannya masing-masing unjuk "gigi". Thomas duet dengan Opet, Budjana adu finger dengan Baron, sementara ketiga drummer menggetarkan panggung dengan pukulan maut yang menyatu dalam satu set drum. 

Kelar lagu yang diangkat dari album "3/4" (tiga perempat) ini, para personel berkumpul di tengah panggung. Budhy meninggalkan drum bergabung dengan duo gitaris memainkan gitar. Ronald didapuk jadi drummer tunggal. Intro janji mengalun, tidak hanya meniupkan gemuruh dari penonton tapi juga kabar buruk, ini adalah pertanda nostalgi ini akan berakhir tidak lama lagi. BErsama lagu Angan dan Nirwana, ketiga lagu yang di-medley ini adalah saksi masa kecil yang menyenangkan.  
Armand dan Ronald, pemandangan langka
 Konser pun berakhir, semua personel menghilang dari panggung. Lighting satu per satu padam. Dua jam rasanya kurang, banyak lagu lama yang masih kuhapal tidak dibawakan. Namun, malam itu sangat membekaskan bahagia. Kebahagiaan yang membuat saya tidak henti-hentinya senyum, bahkan saat berada dalam taksi yang melaju kencang tanpa hambatan, membelah jalan-jalan lengang kota Makassar yang tengah lelap menyiapka energi menyambut pagi beberapa jam lagi...
  

No comments: