17 January 2009

I Wish I Could Stay Longer

Ada cerita menarik di balik pernikahan Deasy yang terkesan mendadak. Tanggal 13 januari kemarin aku berkunjung ke rumahnya di Bone. Jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. aku tidak bisa tidak membayangkan kembali perasaanku saat melangkahkan kakiku pada tanah yang sering kulalui dahulu.

Aku mendapatinya tidak sedang berada di rumah ketika aku dan Annie -teman Deasy di SMP tiba. Dari ibunya, kami lalu tahu kalo dia sekarang memanjakan dirinya di Fidel, semacam heritage spa. Sebuah persiapan untuk mengawali rangkaian panjang prosesi pernikahan adat Bugis.

Seisi rumah sangat sibuk. Ibu dan dua orang tante Deasy yang tidak pernah kulupakan, Henny dan Linda juga berlalu lalang di depan kami yang duduk melantai. Sadar akan keberadaanku, mereka tidak ragu-ragu berjabat tangan dan memelukku. Keduanya kini telah menjadi ibu yang cantik dan agak cerewet.

Annie tidak bisa menyembunyikan dan menghentikan sinyal kegelisahan yang tidak hentin-hentinya ia pancarkan secara tidak sengaja sejak ia menjemputku di rumah. Jam dinding di rumah Deasy mungkin merasa risih dipandangi berkali-kali. Sesekali aku memandangnya sambil tersenyum atau malah menggoda untuk membatalkan keberangkatannya ke Makassar jam 5 sore harinya. Ia hanya tersenyum kecut sambil menekan tuts handphonenya entah sedang mengetik apa.


Tiga jam kemudian, sebuah Avanza merah memasuki pekarangan rumah yang berlapis semen. Tak sabar aku melihatnya, jadi tidak kualihkan sedikitpun pandanganku dari pintu mobil, menunggu bidadari itu turun dan melihat kami. Oh, itu dia dengan baju berwarna merah di badannya. Ia agak kurusan. Kami menjabat tangannya bergantian, ia tidak melepaskan tanganku sampai kami berada di ruang tamu kembali. Aroma rempah-rempah segar dari tubuhnya seperti bernyanyi untukku.

Sebelumnya ia memohon maaf telah membuat kami menunggu. Deasy juga tidak menyangka pernikahannya bisa semendadak ini. Sebenarnya akad nikah telah dilakukan 27 desember lalu. Aku sempat memprotes ia tidak mengabariku yang saat itu sedang berada di Bone menemani ibuku. Untuk kedua kalinya ia memohon maaf.

Sejak akad nikah hingga saat kami bertemu itu, Deasy tidak diperkenankan untuk bertemu Reza, sang pangeran sebelum acara "Mappanre Temme" dan "Mappaci" dilalui kedua belah pihak. Baru kali ini aku mendengar 'aturan' seperti itu. Nama Reza kemudian memancingku untuk tahu lebih banyak tentang. Namun aku tidak berani bertanya. Jadi aku membiarkan cerita itu mengalir dengan sendirinya.

Raut wajahku dan Annie tiba-tiba memperlihatkan keiba-an setelah tahu bahwa ibu Reza tidak bisa menyiksakan pernikahan mereka. Sang ibu mengidap kanker parah. Mengetahui bahwa kedua anak lelakinya belum menikah, ibunda Reza diam-diam ingin agar ia segera menikahi Deasy. Aku kagum pada Deasy, dari ceritanya aku tahu ia selalu berada di sisi ibu yang sedang berjuang melawan sakit. Sakit yang makin parah membuat keduanya tidak bisa menunda lagi. Akhirnya, Deasy resmi dilamar pada 14 Desember. Sang ibu lega dan bisa pergi dengan tenang keesokan harinya.

Sinyal kelelahan terpasung di wajah Deasy. Entah apakah ia lelah karena banyak bergerak atau karena sesuatu yang lebih abstrak dari itu. Senyumnya begitu tanggung namun masih bisa kudengar suara nyaring yang ia tahan di sela-sela percakapan kami. Ia lebih sering menatap ke arah Annie di banding ke mataku. Hal itu tidak mampu mengurangi kadar kebahagiaan yang sedang mekar-mekarnya. Bertemu dengannya saja sudah sangat cukup bagiku.

Perias pengantin yang dinanti-nanti sejak tadi, tiba dengan barang-barang perlengkapannya. Seperti orang yang mau pindahan saja. Deasy harus melakukan ritual "Mabbeddak". Beberapa bagian tubuhnya akan dilumuri bedak oleh perempuan-perempuan terdekat Deasy, memberikan berkat dan restu. Dalam doaku, ketika membasuh wajahnya, aku berharap sumber kegelisahan Deasy sekian tahun bisa hilang. Dia tersenyum sambil tertunduk. Ia tahu yang kumaksud adalah jerawat-jerawat bandel yang telah 'menghabiskan' uangnya selama ini. Tentu saja ia bercanda ketika mengatakan itu.

Tidak sejenak pun aku beranjak dari sisinya. Sejak tangan sang perias memoles wajahnya dengan make up murah, memakaikan baju adat berwarna keemasan, menamatkan kitab suci, sampai sang pengantin kembali ke kamar. Annie sudah berlalu, melewatkan keindahan yang kusaksikan.

Ibuku mengirim pesan teks menanyakan keberadaanku. Berat rasanya meninggalkan sahabatku ini. Aku memohon izin pamit dan maaf tidak bisa menghadiri resepsi pernikahannya. I wish I could stay longer. Aku berharap dalam benaknya Deasy juga membatinkan hal yang sama "I wish you could stay longer." Kutempelkan pipiku di wajahnya yang masih melekat bedak tebal sedikit berminyak. Konsentrasinya tertuju pada makhluk seberang yang tengah menelponnya. Namun ia ingat merespon lambaian tanganku, tanda perpisahan terakhirku untuknya di hari itu

11 January 2009

My 'Deasy' Flower Menikah Januari ini

Namanya indah dan cantik. Begitu mendengar nama ini, aku akan langsung teringat pada kekasih donald duck, Daisy Duck. Mendengar namanya hatiku akan segera diliputi kerinduan yang sangat dalam. Aku mendengar kabar ia akan menikah Januari ini ketika dalam perjalanan pulang ke makassar. Seorang teman mengabariku lewat sms. senang, terharu, dan sedih bercampur aduk dan tidak bisa kuterjemahkan dalam wujud sikap tenang. Dengan siapa ia akan menikah, masih jadi pertanyaan belum terjawab sampai hari ini.

Deasy seorang gadis keturunan Tiong-Hoa, darah itu ia dapatkan dari sang ibu. Sementara ayahnya seorang bugis pribumi yang berdiam di kota kelahiranku. Pertama kali aku bertemu Deasy yaitu pada hari kedua aku masuk sekolah dasar. Dengan malu-malu ia melangkah masuk kelas ditemani ibunya yang ramah. Aku menatapnya cemburu, ia begitu cantik dan memikat. Aku sudah lupa ia duduk di kursi mana. Namun yang kuingat setelah itu aku sering bermain dengannya.

Aku masih ingat cara ia menarik garis ketika belajar menulis menggunakan pensil. Bentuk huruf 'm' nya sangat khas dengan garis tegas, bertolak belakang dengan pribadinya yang pemalu dan gesturenya yang lembut.


Mengapa mesti aku cemburu pada Deasy? Apakah karena ia selalu dipilih oleh ibu guru mengikuti arak-arakan menyambut hari kemerdekaan, sementara aku hanya menjadi penonton. Apakah ia melihat dan menyadari kehadiranku kala ia melambaikan tangan dalam busana adat Bali, dengan bunga kemboja putih di sanggulnya. Atau setiap kali sekolah kami butuh orang untuk kontes menari antar SD, maka Deasy selalu berada dalam daftar siswa yang terpilih. aku hanya bisa menyaksikan dirinya tiap kali berlatih bersama Ibu Titin, ibu guru yang sangat menyayanginya.


Mengapa Deasy tidak pernah memperlihatkan kemarahan atau ketidaksukaannya padaku, meski sesekali aku berbuat demikian pada dirinya. Sungguh tidak adil. Penyesalan itu baru datang sejak aku mendengar bahwa keluarganya akan pindah ke bagian lain di kotaku. Mau tidak mau Deasy juga harus pergi meninggalkanku. Hanya tiga tahun kebersamaanku dengannya. Aku merasa kehilangan dan sangat kesepian, menyesal dengan perbuatan buruk yang pernah kulakukan padanya. Hingga pada momen-momen penuh rindu itu, aku menjadi itu sangat terobsesi pada pesawat telpon, telpon umum, bahkan telpon koin yang tersedia di warung salah seorang teman. Ingin sekali aku menghubunginya.


Pernah pula sekali aku memberanikan diri bersama seorang teman kelas lainnya mengunjungi rumah Deasy dengan bersepeda. Tindakan yang sangat berani untuk ukuran anak perempuan seusiaku saat itu. usaha ini tidak berhasil, kami tidak menemukan rumahnya, lalu pulang melewati jalur kendaraan dengan arah berlawanan.


Deasy tidak pernah tahu 'kegilaan-kegilaan' yang telah kulakukan demi bertemu dirinya dan betapa rindunya aku pada masa-masa yang telah kami lalui bersama. Berangkat ke sekolah bersama-sama (dia tidak marah meski aku sering meninggalkannya dengan menumpang kendaraan ayahku). Ingatkah dia waktu kami meminta izin pulang pada jam sekolah dengan alasan sakit, padahal saat itu kami hanya bosan mengikuti pelajaran. Ingatkah dia waktu kami pertama kali menonton film horor di rumahnya. Masihkah ada ruang di kepala Deasy bagi memori ketika aku menyanyikan lagu Dewa 19 yang berjudul sama dengan namanya di depan kelas? Atau ketika kami berdua belajar shalat dan mengaji di tengah keluarga besarnya yang berbeda keyakinan?


Aku masih mengingat semuanya. Namun itu tidak bisa mengembalikan keakraban kami ketika bertemu lagi di SMA. Dia seperti bukan Deasy yang dulu kukenal. Meski terpisah dalam waktu yang tidak sebentar, aku yakin guratan-guratan dirinya yang dulu seharusnya masih ada. Kami menjadi canggung satu sama lain. For what it's worth, selalu ada tempat untuk Deasy di hatiku. Dia adalah hal penting dalam semesta kecilku. Bagaimana mungkin aku dapat menghapus dirinya, orang pertama yang memberiku rasa kehilangan dan kerinduan?

Setelah Hari Ini Berlalu

A Story of An English Wizard


Semalam aku memimpikanmu lagi. Engkau bersama rekan- rekanmu akan memainkan lagu baru kalian, namun anehnya- di bangunan sekolah dasarku yang sudah tua. Ada yang kulihat berbeda kali ini, pria tambun dan ramah itu tidak ada di sana, yang ada posisinya digantikan oleh seorang perempuan berambut gelap dan bermaskara tebal bernama Elena. Pesonanya bak Shirley Manson, vokalis Garbage. Sejenak engkau rehat dan membiarkan suara klasikmu diambil alih oleh perempuan gotik itu, ternyata suara dan penghayatannya tidak kalah dalam ketika engkau yang bernyanyi Aku kemudian mengajaknya berbincang dalam bahasa inggris yang fasih dan coba tebak, saat itu, di alam sadar, aku dapat merasakan diriku berbisik dalam keadaan tidur, sambil tersenyum melihat diriku disitu begitu mengalirnya berbicara dengan orang asing. Tak sedetik pun engkau mau melihat ke arahku, aku memperhatikan gerak-gerikmu tapi untunglah tidak kutemui raut benci di wajahmu, hanya keengganan.

Ah, kukira awalnya kita akan bertemu di Vfest, Glastonbury, Reading atau festival besar lainnya di Inggris. Namun aku akhirnya sadar, engkau sendiri jauh lebih megah dan agung di banding ratusan kali penampilanmu. Tak perlulah aku berdesak-desakan, merangsek ke posisi paling depan agar dapat melihatmu memesona ribuan orang. Cukuplah aku menemukanmu sedang berjalan di downtown kota london atau cambridge atau como, atau di manapun itu di dunia, selama bukan di panggung. Cukuplah menyadari keberadaanmu di luar sana setelah selama ini engkau hanya hidup di dunia tak bermassa di kepalaku belaka.

Tahukah kau, engkau terlanjur hidup di sana dan aku tiada henti selalu menyiramimu dengan air harapan kelak suatu saat dapat bertemu denganmu. Engkau tumbuh di dunia sadar dan tidak sadarku. hadirmu bagai sihir yang memantra dan menggerakkanku mentah-mentah tanpa kusadari mengapa aku melakukannya. Tidak sadarkah engkau, para pengeruk uang itu menggunakan citramu menghasutku menghabiskan waktu dan uang atas nama kecintaan padamu. Relakah dan pedulikah engkau, melihatku 'menghancurkan' diri sementara di sana engkau bahkan tidak menyadari keberadaanku. Apa bedanya engkau dengan kekasih-kekasih platonisku di masa lalu. Setiap hari aku melihatmu, mencari kabar tentangmu, menyimpan imaji dirimu dan menulis lirik penyemangat darimu di halaman pertama buku catatanku. Aku telah memaksamu menjadi serpihan kepingan pembentuk diriku. Namun bagaimana aku bisa menolak saat engkau ada dan terekam oleh inderaku tanpa sengaja kala aku sedang berada di titik nadir perjalananku.

Namun janganlah khawatir, aku telah menyucikanmu dari segala 'kesalahan-kesalahan'mu pada diriku. Suaramu tidak akan lagi dengan sengaja kudengarkan, aku hanya akan berharap bertemu kondisi di mana aku dapat mendengar suaramu yang lembut namun kuat itu layaknya penari balet, tanpa kurencanakan. Nungkin ketika berada di dalam angkot, ketika tidak sengaja aku berjalan melewati distro yang memutar lagumu, ketika ada teman yang menyetel winamp dan ada engkau dalam daftar antrian, atau mahakaryamu menjadi backsound acara-acara gosip murahan di televisi. Biarlah tangan-tangan nasib merancang sendiri pertemuan-pertemuan kita kelak pada masa setelah hari ini berlalu.