11 January 2009

My 'Deasy' Flower Menikah Januari ini

Namanya indah dan cantik. Begitu mendengar nama ini, aku akan langsung teringat pada kekasih donald duck, Daisy Duck. Mendengar namanya hatiku akan segera diliputi kerinduan yang sangat dalam. Aku mendengar kabar ia akan menikah Januari ini ketika dalam perjalanan pulang ke makassar. Seorang teman mengabariku lewat sms. senang, terharu, dan sedih bercampur aduk dan tidak bisa kuterjemahkan dalam wujud sikap tenang. Dengan siapa ia akan menikah, masih jadi pertanyaan belum terjawab sampai hari ini.

Deasy seorang gadis keturunan Tiong-Hoa, darah itu ia dapatkan dari sang ibu. Sementara ayahnya seorang bugis pribumi yang berdiam di kota kelahiranku. Pertama kali aku bertemu Deasy yaitu pada hari kedua aku masuk sekolah dasar. Dengan malu-malu ia melangkah masuk kelas ditemani ibunya yang ramah. Aku menatapnya cemburu, ia begitu cantik dan memikat. Aku sudah lupa ia duduk di kursi mana. Namun yang kuingat setelah itu aku sering bermain dengannya.

Aku masih ingat cara ia menarik garis ketika belajar menulis menggunakan pensil. Bentuk huruf 'm' nya sangat khas dengan garis tegas, bertolak belakang dengan pribadinya yang pemalu dan gesturenya yang lembut.


Mengapa mesti aku cemburu pada Deasy? Apakah karena ia selalu dipilih oleh ibu guru mengikuti arak-arakan menyambut hari kemerdekaan, sementara aku hanya menjadi penonton. Apakah ia melihat dan menyadari kehadiranku kala ia melambaikan tangan dalam busana adat Bali, dengan bunga kemboja putih di sanggulnya. Atau setiap kali sekolah kami butuh orang untuk kontes menari antar SD, maka Deasy selalu berada dalam daftar siswa yang terpilih. aku hanya bisa menyaksikan dirinya tiap kali berlatih bersama Ibu Titin, ibu guru yang sangat menyayanginya.


Mengapa Deasy tidak pernah memperlihatkan kemarahan atau ketidaksukaannya padaku, meski sesekali aku berbuat demikian pada dirinya. Sungguh tidak adil. Penyesalan itu baru datang sejak aku mendengar bahwa keluarganya akan pindah ke bagian lain di kotaku. Mau tidak mau Deasy juga harus pergi meninggalkanku. Hanya tiga tahun kebersamaanku dengannya. Aku merasa kehilangan dan sangat kesepian, menyesal dengan perbuatan buruk yang pernah kulakukan padanya. Hingga pada momen-momen penuh rindu itu, aku menjadi itu sangat terobsesi pada pesawat telpon, telpon umum, bahkan telpon koin yang tersedia di warung salah seorang teman. Ingin sekali aku menghubunginya.


Pernah pula sekali aku memberanikan diri bersama seorang teman kelas lainnya mengunjungi rumah Deasy dengan bersepeda. Tindakan yang sangat berani untuk ukuran anak perempuan seusiaku saat itu. usaha ini tidak berhasil, kami tidak menemukan rumahnya, lalu pulang melewati jalur kendaraan dengan arah berlawanan.


Deasy tidak pernah tahu 'kegilaan-kegilaan' yang telah kulakukan demi bertemu dirinya dan betapa rindunya aku pada masa-masa yang telah kami lalui bersama. Berangkat ke sekolah bersama-sama (dia tidak marah meski aku sering meninggalkannya dengan menumpang kendaraan ayahku). Ingatkah dia waktu kami meminta izin pulang pada jam sekolah dengan alasan sakit, padahal saat itu kami hanya bosan mengikuti pelajaran. Ingatkah dia waktu kami pertama kali menonton film horor di rumahnya. Masihkah ada ruang di kepala Deasy bagi memori ketika aku menyanyikan lagu Dewa 19 yang berjudul sama dengan namanya di depan kelas? Atau ketika kami berdua belajar shalat dan mengaji di tengah keluarga besarnya yang berbeda keyakinan?


Aku masih mengingat semuanya. Namun itu tidak bisa mengembalikan keakraban kami ketika bertemu lagi di SMA. Dia seperti bukan Deasy yang dulu kukenal. Meski terpisah dalam waktu yang tidak sebentar, aku yakin guratan-guratan dirinya yang dulu seharusnya masih ada. Kami menjadi canggung satu sama lain. For what it's worth, selalu ada tempat untuk Deasy di hatiku. Dia adalah hal penting dalam semesta kecilku. Bagaimana mungkin aku dapat menghapus dirinya, orang pertama yang memberiku rasa kehilangan dan kerinduan?

No comments: