Kamarku sudah memenuhi syarat untuk ditinggalkan. Tikus-tikus yang berseliweran makin nakal, pipis sembarangan, bahkan sudah berani membawa lari perkakas dapurku, dari dua buah sendok makan stainless steel, hingga sendok nasi besar. Belum lagi aroma lembab yang membuatku tidak pede jika ada tamu yang datang berkunjung.
Jadi, destinasi berikutnya adalah kamar sebelah yang baru saja ditinggalkan oleh penghuninya yang melanjutkan sekolah di tempat lain. Keadaannya sedikit jauh lebih baik dibanding kamarku, setidaknya tikus-tikusnya tidak segahar dan senorak yang di kamarku. Aku memperhatikan barang-barang yang mesti kupindahkan. Banyak sekali ternyata, sampai harus menelpon adikku agar membantu.
Jadi, destinasi berikutnya adalah kamar sebelah yang baru saja ditinggalkan oleh penghuninya yang melanjutkan sekolah di tempat lain. Keadaannya sedikit jauh lebih baik dibanding kamarku, setidaknya tikus-tikusnya tidak segahar dan senorak yang di kamarku. Aku memperhatikan barang-barang yang mesti kupindahkan. Banyak sekali ternyata, sampai harus menelpon adikku agar membantu.
Baru setengah jalan, badanku sudah menangis-nangis. Aku kecapaian bukan main. Mana barang-barang urgent belum terangkut semua. Tiba-tiba aku mengalami encok berat. Buru-buru aku minta soft drink Ilham sisa semalam, ternyata sudah habis. Aduh... Aku hanya bisa rebahan sambil sekali sekali mengecek surat masuk di hape.
"Em, saya sudah mau berangkat ke Makassar, nanti saya kabari lagi kalo sudah di pintu satu." Ah, janji wawancara dengan bos besar perusahaan di Makassar, aku tidak lupa. Aku meringis, mataku sudah terlanjur berat, badan rasanya sudah tidak utuh lagi. Tapi aku harus memaksakan diri. Persoalan hijrah ditinggalkan dulu, toh besok bisa lanjut lagi.
Seperti biasa, keluar dari area pondokan sensasinya seperti naik gunung, mendaki terus. Aku senyum-senyum saja menikmati 'penderitaan' ini, sebelum saya ditimpa keteledoran lain, naik angkot 02, padahal arah tujuanku bersama Darma adalah jalan Alauddin. Ckckckck... Biarlah, aku masih selalu bisa fleksibel dengan hal-hal ini, termasuk encok yang menyiksaku...
"Em, saya sudah mau berangkat ke Makassar, nanti saya kabari lagi kalo sudah di pintu satu." Ah, janji wawancara dengan bos besar perusahaan di Makassar, aku tidak lupa. Aku meringis, mataku sudah terlanjur berat, badan rasanya sudah tidak utuh lagi. Tapi aku harus memaksakan diri. Persoalan hijrah ditinggalkan dulu, toh besok bisa lanjut lagi.
Seperti biasa, keluar dari area pondokan sensasinya seperti naik gunung, mendaki terus. Aku senyum-senyum saja menikmati 'penderitaan' ini, sebelum saya ditimpa keteledoran lain, naik angkot 02, padahal arah tujuanku bersama Darma adalah jalan Alauddin. Ckckckck... Biarlah, aku masih selalu bisa fleksibel dengan hal-hal ini, termasuk encok yang menyiksaku...
No comments:
Post a Comment