4 June 2010

Mental Block

Tadi saya dapat tugas wawancara dengan Harwan Jaya, HRD bosowa investama. Awalnya saya agak canggung bertemu apalagi bertanya banyak mengenai program beasiswa prestasi Bosowa yang kini tengah memasuki tahap akhir. Sebelumnya saya mencari tahu dulu pada kak najab, ka wawan, ka odha, dan ka ome. Dari mereka saya adi tahu, Pak Harwan sangat low profile dan down to earth, serta mudah diajak berdiskusi.

Bermodal field of experience itulah, ditambah usaha mencairkan es keadaan dengan membuatkannya kopi, saya menghadap Pak Harwan. Awalnya kupikir ia akan pelit informasi. Sebisa mungkin saya mengendalikan wawancara agar lebih santai dan saya tidak mati kutu mencari pertanyaan yang berbobot dan tidak monoton. Beberapa kali saya berhasil membuatnya tertawa hingga terbahak-bahak, sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya. Saya juga heran dengan respon itu, atau mungkin karena ia paham maksud celetukan-celetukan saya. Pak Harwan sangat cermat dan bisa menerjemahkan bahasa verbal atau non-verbal yang saya sampaikan.

Saya memang dikenal sulit tertawa dengan orang yang baru saya temui. Namun ternyata dari pengalaman tadi saya jadi tahu kalau saya bisa membuat orang 'asing' tertawa. Saya jadi ingat waktu saya diwawancara oleh perusahaan asing di kawasan Kima. Dua orang WNA asal amerika di depanku senyum-senyum bahkan tertawa dengan jawaban yang kuberikan, saya rasa itu bukan tawa yang meremehkan, karena memang saya berusaha untuk mencairkan hati saya yang tegang menghadapi wawancara bahasa inggris pertama saya. Saya senang bisa melewati wawancara, saya memang tidak lolos, tapi saya senang berhasil membuatnya tersenyum apalagi waktu salah satu di antara mereka bertanya kenapa saya bisa aksen amerika, wkwkwkwkwk, rasanya tidak percaya, itu lebih dari sekedar lulus kali ya?

Dari pak harwan, saya juga jadi familiar dengan beberapa istilah psikologi kejiwaan, misalnya mental block. Mental block semacam kondisi di mana superego telah begitu lama menahan id agar tidak tersalurkan. Kondisi ini kemudian menjadi penghalang bagi seseorang dalam melihat sesuatu yang bertentangan dengan superego dan pemendaman hasrat lainnya. Akhirnya orang tersebut cenderung berkata ‘tidak’ dan menunjukkan sikap ‘ragu-ragu’.

Saya lalu menghubungkan kondisi itu dengan keadaan saya sekarang. Kesempatan ini saya gunakan untuk konsultasi colongan, menanyakan apakah saya berpotensi menjadi orang gila, hehehehe. Saya mengaku kalo saya mengalami mental disorder yakni kecemasan berlebihan. Ia tertawa lalu berkata, mungkin saja. Ia lalu berkata ‘jangan mendahului takdir’, tidak perlu cemas terhadap apa yang akan terjadi. Tanpa ditanya saya berkata kalau saya ingin sekali menginjakkan kaki ke new Zealand. Alasan saya karena ingin melihat wellington, tempat pengambilan sebagian besar scene di The Lord of The Rings. Saat itulah ia tertawa terbahak, apalagi waktu saya bilang, siapa tahu saya bertemu bangsa elf dan hobbit di sana, hehe… Masalahnya ternyata apakah saya percaya bisa atau tidak?

Akhirnya saya mempertimbangkan untuk menempel poster film kolosal itu saja dulu di dinding kamar baruku.

May 6th

No comments: