29 June 2010

My best friend's getting married (Part II)

Mobil yang kutumpangi bersama Echy melaju kencang. Sesekali rem mendadak dan aku hampir terbentur di dasbor.. Lambung kiri, lambung kanan, rem mendadak semua terasa sah. Kami serasa berada dalam adengan sebuah iklan rokok yang berusaha sekuat tenaga mengejar jadwal rapat karena laptopnya ketinggalan. Juga mirip adegan-adegan awal 3 Idiots, di mana Farhan dan Raju terburu-buru ingin bertemu sahabat lama mereka. Kami tidak sedang dalam perjalanan menuju rapat dan kami tidak ketinggalan laptop, dan kami tidak akan bertemu Chatur.

Echy dan aku sedang menuju rumah seorang teman yang pada hari itu akan menjalani tradisi Mappettu Ada, sebuah prosesi penting dan wajib sebelum menuju acara akad nikah. Di tanganku ada sebuah benda yang sengaja dipesan oleh teman itu. Hmmm...tampaknya acara tidak bisa berlangsung jika benda itu belum sampai di tangannya.

Saat echy sibuk dengan kemudi di tangannya, aku sibuk dengan handphone mengutak-atik mencari nomor teman kami itu. Acara akan berlangsung 30 menit lagi, sementara kami masih menduga-duga alamat rumah kakaknya. Dan layaknya iklan-iklan di tivi, kami bisa sampai tepat waktu. Kami berjalan tergesa-gesa. Aku cukup kesusahan karena memakai hi heels. Seandainya tiba-tiba hak selop itu patah, lengkaplah hari penuh adegan iklan hari itu. tapi untungnya tidak.

Pertama kali masuk ke rumah itu, kami bingung akan lewat mana. Kami hanya diberi arahan kalau bakal calon mempelai perempuan ada di kamar bagian belakang. Kami masuk lewat pintu samping, celingak-celinguk, lalu mendengar suara khas yang sangat kami kenali dan sering kami rindukan. trebel nya agak tinggi dan kadang tiba-tiba 'menggelegar'. Pemilik suara itu adalah Dwiagustriani, sang calon pengantin.

Seperti sebuah SOP, begitu melihat kami ia setengah berteriak. Aku lalu mengulurkan barang pesanannya yang telah membuat kami ditabrak gerobak ketika memutar ke jalan Andi Tonro. Dia cantik sekali, mengenakan kebaya tangan pendek berwarna putih, lengkap dengan sanggul. Sesekali ia menggumam, "rambut smoothing-ku" sambil cemberut. Hahaha... aku terbahak-bahak mendengarnya.

Kami bertiga lalu masuk ke sebuah kamar. Dalam adat bugis, saat prosesi Mappettu Aada dan Akad Nikah berlangsung, pengantin perempuan harus berada di dalam kamar. Jadilah kami hari itu menemaninya, sementara acara di ruang tamu sedang berlangsung. Kasurnya dibalut kain seprai berwarna merah. Kontras sekali dengan warna kebaya Dwi. Beberapa bagian dinding terkelupas, dan jendelanya berhias gorden pure white, ditambah berkas cahaya dari luar. Tapi kondisi ini malah mendukung tampilan/tema hari itu. Dwi mirip sekali achi-achi yang sering kami lihat di keluarga-keluarga Tiong Hoa.

Sesekali Dwi tertawa sampai kedengaran dari luar. Ingin saya membekap saja mulutnya agar diam, hehehe (sory dwi, you know I'll never do that). Sesekali juga mataku melirik ke meja makan yang ada di depan kamar. Ada hidangan sate daging dan coto Makassar beserta lontong yang sudah dibelah-belah tertata di piring. hufh..untung tadi pagi belum makan, hihihi....

Prosesi acara menuju puncak, saat keluarga calon mempelai pria membenamkan cincin di jemari kiri Dwi. Bahagia sekali melihat senyum Dwi. Saat itu mata saya agak merah dan perih. Echy dan saya tahu Dwi pasti sangat rindu dengan Mamanya. Namun seperti biasa, dia tidak mau memperlihatkannya. Dwi sering menikmati sendiri potongan-potongan kue kesedihannya.

Dia berhasil menciptakan mixed feeling ketika pertama kali ia mengabarkan akan menikah. Saya sampai menagis dan beberapa kali berhenti saat berjalan pulang ke rumah dari arah PKP. Lututku lemas saking hebatnya rasa bahagiaku. Dia sering menyebut dirinya "gadis kecil berkepang dua". Bagiku kini ia lebih dari itu. Ia telah menjadi perempuan.

Selamat Dwi,,,, words can't describe how I feel for you.

Mks, 29 Juni 2010

1 comment:

dwia said...

WOW, Mata saya berkabut membaca tulisan ini. Kau adalah salah satu potongan paling berharga dalam hidupku Em. Mencintaimu