"Ya, saya persilakan teman-teman yang ingin memberikan testimoni..."
"Mmm...apa yang paling berkesan tentang Alba, mmm..."
Matahari sedang kalem-kalemnya memamerkan perona jingga di wajahnya, saat saya dan teman-teman ngabuburit di salah satu titik di jalan Pengayoman. Butuh perjuangan dan kesabaran ekstra untuk bisa tiba di sana. Saya juga sih yang tidak mempertimbangkan jam macet di sepanjang jalan protokol di kota ini.
Dua hari yang lalu, sebuah pesan masuk ke inbox email saya, seorang teman berniat pamit pulang ke Ternate. Wah, refleks jempol saya memencet nomor Iqko buat merencanakan sebuah farewell party kecil-kecilan. Lokasi dan waktu deal, bikin templet lalu saya kirim massal ke 28 nomor teman angkatan 04, yang diduga masih beromisili di Makassar.
Kaki saya tidak henti bergoyang tatkala angkot IKIP yang saya tumpangi tidak kunjung melaju. Sementara tangan saya bergetar oleh sms Ka Ilo mengirim kabar teman-teman sudah pada ngumpul di TKP. "Em, teman-temanmu sudah datang, terambat kowww..!" Ah, kota Makassar ini makin padat dan makin gerah saja, saat supir beberapa kali harus menginjak rem saking macetnya.
"Dua tahun ke depan, kira-kira tampilan kita seperti apa ya?"
(Untuk direnungkan..)
Langit sore tersapu malam, penantian saya dan Iqko berakhir. Dari 28 orang calon undangan, tercatat hanya 10 orang yang bisa hadir. Fahri, Keda, Yusran, Iqko, Wuri, Icha, Patrick, dan Alba sendiri. Wiwie (yang selalu ingin kami boikot) dan Foe hadir belakangan, saat kami sedang dalam sesi foto terakhir menjelang bubaran. Namun karena Wiwie memelas dan yang utama karena dia adalah makhluk paling manis di angkatan, kami memutuskan untuk tinggal sejenak barang 60 menit.
"Yang paling saya ingat dari Alba,... saat dia kedapatan nda ikut pra-ospek, padahal dia yang jadi ketua kelas waktu itu, kedapatan lagi di mal, hahahaha...," ungkap Patrick tidak kuasa menahan tawa, menyegarkan ingatan kami lima tahun lalu saat pertama kali bertemu dengan Alba.
"Saya tidak bisa bilang banyak, yang paling kukenang, adalah ketika kami hampir membuat Alba terusir dari kosannya, muahahahah...,"testi Iqko sambil meninjukan tangan ke udara diikuti derai tawa yang lain. Kali ini kami kembali berada di awal tahun 2007, di mana saat itu teman-teman membuat "heboh" suatu hari di rumah kost Alba. Mengingat vokal teman-teman angkatan berdesibel tinggi alias bising dan gaduh, sang pemilik kost keesokan harinya menempel pengumuman daftar larangan, dan semuanya ternyata merujuk pada ulah teman-teman saat itu.
"Alba, saya masih simpan pemberianmu...," sebenarnya kalimat ini sangat standar, namun karena berasal dari Wiwie dan diungkapkan penuh perasaan, kegaduhan tak terhindarkan, bahkan Alba sampai berpikir ulang untuk tinggal di Makassar saja, haaaa...haaa....haaa...
Satu persatu melontarkan perpisahan buat Alba. Tak dapat kubaca tanda di wajahnya. Namun yang pasti ia hanya bisa menjadi pendengar setia saat kami ribut merencakan sahur bareng di rumah Wuri, satu minggu setelah keberangkatannya ke Ternate.
Tidak henti-henti blitz kamera menghantam wajah kami. Beberapa potong kenangan buat Alba, hanya itu yang bisa kami berikan untuknya. Asa kami hanyalah agar ada saat dalam kehidupanmu kelak untuk menginjakkan kaki sejenak pada tanah yang pernah kita pijaki bersama dan pada rumah kosmik yang pernah kita singgahi bersama.
Finger crossed...
No comments:
Post a Comment