Sejak si bungsu, Ilham, hijrah ke Makassar, otomatis ibu dan bapakku tinggal berdua di rumah. Tiba-tiba semuanya terasa sunyi, jauh dari bayangan ketika kami bersaudara masih menjalani wajib 9 tahun. Kala itu, hampir tidak ada pagi tanpa kerutan di wajah ibu, kerepotan mengurus keperluan anak-anaknya.
Tiga tahun ini berusaha ia bunuh dengan hobinya, merajut dan menyulam. Pernah sekali, saat aku pulang berkunjung, ia minta diajarkan memainkan salah satu game di handphone pemberian bapak. Ternyata itu kemudian menjadi hobi utamanya belakangan ini. Saat ia dengan bahagia menceritakan skornya-lah yang paling tinggi, saat itu pula hatiku merasa ngilu. Saat aku mendapati ia sedang berada di depan tivi sambil memegang handphone, saat itu juga aku meringis dalam hati, betapa kesepiannya Ibu selama ini.
Kesepian yang tidak pernah ia bagi padaku. Tidak pernah ia mau merepotkan, meski ia sedang sakit. Aku pernah 'marah' saat ia masuk rumah sakit tanpa sepengetahuanku. Ia hanya tersenyum kala mendengarku tersedu-sedu di telpon.
Laju darahku seakan berhenti saat ibu berkata tidak ingin jauh-jauh dariku, sebulan kemarin. Sebuah syarat keridhaan ibu dari calon mata pencarianku kelak. Aku dilanda kebingungan, benarkah ibu meniatkan perkataannya? Benarkah setiap perkataan seorang ibu adalah doa? Telah dua kali ia ucapkan, dan makin teriris saja hatiku. Entah sedih karena kesunyian ibu ataukah pada cita-cita yang terus-menerus memanggilku ke arahnya. Masih kudengar ia terbatuk-batuk dalam tidurnya kala aku sedang asyik menyusun mimpi-mimpiku..
3 comments:
tulisan yang sangat bagus. ada begitu banyak bakat besar di komunikasi unhas...
menyentuh...tak bisa lagi berkomentar banyak...I'm your best fan...
Terima kasih atas kunjungannya, Ka Yusran dan Ka Harwan adalah guru-guru menulis saya... ;-)
Post a Comment