Kalau bukan karena menetap di kamar kos Fera, tentu saya tidak akan begitu tertarik dengan Taylor Swift. Teori bahwa audience bisa tertarik jika dicekoki hal yang sama setiap hari, tampaknya bekerja pada diri saya. Semakin sering dilihat, semakin saya dibuat peduli (hahaha, ini teori siapa ya?)
Sebelumnya apa yang saya ketahui soal Taylor kecuali pernah 'dilecehkan' oleh Kanye West di pergelaran MTV VMA tahun lalu? Mmm...tidak begitu banyak. Melihat Taylor yang masih muda sudah merilis dua album dan di-follow oleh 2,5 juta user twitter, mengingatkan saya pada sosok populer Avril Lavigne saat pertama-pertama muncul di MTV, ketika itu saya masih SMA, saat kehebohan anti-Britney (begitulah media mencap Avril) melanda dan mengiang-ngiang hingga di tembok sekolah saya juga. Omong-omong, saya adalah penggemar lagu-lagu Av hingga hari ini (harap dicatat, lagunya, bukan tampilannya).
Kembali ke Taylor, hampir tiap hari di hadapan TV, tepatnya di Channel V saya disuguhkan tampilan si ikal pirang Taylor menyandang gitar akustik mengiringi lagu ciptaannya sendiri, semisal "You Belong With Me", "Fifteen", atau "Tim McGraw". Secara vokal, tidak ada yang istimewa, tipikal penyanyi dataran benua Amerika kebanyakan. Lalu apa yang membuat saya terpaku, menunda pekerjaan, tiap kali mendengar lagu Taylor?
Mungkin karena liriknya yang sangat jujur. Mendengar lagu Taylor seperti membaca diari seseorang. Ya, diari yang dilagukan. Diari seorang remaja belasan tahun menuju dewasa. Saya suka dengan kepolosan dan...kejujuran itu tadi. Taylor seperti seorang teman yang menyenangkan untuk diajak berbagi cerita. Ia bisa merefleksikan pengalaman dan renungan pribadinya pribadinya (dan teman-temannya) ke dalam lagu sederhana yang indah dan tidak membosankan.
Mendengarnya, anda bisa saja langsung mengidentikkan liriknya dengan diri anda. Inilah kekuatan Taylor, ia punya cara untuk mendekatkan diri dengan fansnya, atau menghipnotis penonton-bukan-fans seperti saya menjadi suka padanya. Oh, Taylor, belajar ilmu sihir di mana?
Saya ingin mengambil sedikit ilmu 'jujur' dari dirinya, ilmu menulis, ilmu membuat diari, seandainya bisa. Karena sekarang saya sedang dilanda malas, malas untuk jujur pada diri sendiri, malas mencatatkan sejarah hidup saya sendiri ke dalam lembaran bergaris. Karena dia berkata pada lagunya, today was a fairytale...
Kembali ke Taylor, hampir tiap hari di hadapan TV, tepatnya di Channel V saya disuguhkan tampilan si ikal pirang Taylor menyandang gitar akustik mengiringi lagu ciptaannya sendiri, semisal "You Belong With Me", "Fifteen", atau "Tim McGraw". Secara vokal, tidak ada yang istimewa, tipikal penyanyi dataran benua Amerika kebanyakan. Lalu apa yang membuat saya terpaku, menunda pekerjaan, tiap kali mendengar lagu Taylor?
Mungkin karena liriknya yang sangat jujur. Mendengar lagu Taylor seperti membaca diari seseorang. Ya, diari yang dilagukan. Diari seorang remaja belasan tahun menuju dewasa. Saya suka dengan kepolosan dan...kejujuran itu tadi. Taylor seperti seorang teman yang menyenangkan untuk diajak berbagi cerita. Ia bisa merefleksikan pengalaman dan renungan pribadinya pribadinya (dan teman-temannya) ke dalam lagu sederhana yang indah dan tidak membosankan.
Mendengarnya, anda bisa saja langsung mengidentikkan liriknya dengan diri anda. Inilah kekuatan Taylor, ia punya cara untuk mendekatkan diri dengan fansnya, atau menghipnotis penonton-bukan-fans seperti saya menjadi suka padanya. Oh, Taylor, belajar ilmu sihir di mana?
Saya ingin mengambil sedikit ilmu 'jujur' dari dirinya, ilmu menulis, ilmu membuat diari, seandainya bisa. Karena sekarang saya sedang dilanda malas, malas untuk jujur pada diri sendiri, malas mencatatkan sejarah hidup saya sendiri ke dalam lembaran bergaris. Karena dia berkata pada lagunya, today was a fairytale...
2 comments:
love story bgus tuh lgux ka
yup, kisah romeo and juliet dalam love story never die...
Post a Comment