Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka mengubah sendiri keadaan mereka.
31 oktober malam, seharian saya hanya bergelut di kasur pemberian Dwi, di depan monitor komputer tabung yang sudah beralih fungsi menjadi tivi. Betapa malangnya aku masih merasa diriku begitu: orang yang tidak tahu akan ia apakan hidupnya. Mataku tidak bisa fokus melihat gantungan baju di belakang pintu yang sudah jadi sarang nyamuk. Aku tertidur seperti ayam, lelap tidak, terjaga tidak.
Tulang belakang rasanya tebal sekian jam beradu dengan kasur ketika aku berusaha memaknai hari mingguku yang sepi. Seperti kemarin-kemarin, jika berada di level low point, aku berusaha membangkitkan diri meski lebih sering tidak berhasil. Diari mini yang selalu jadi teman tidurku kuacak-acak halamannya, membaca tulisan lalu, hingga aku sampai pada kesimpulan: kadang tidak ada gunanya menulis diari, diari hanya membuat penyesalan demi penyesalan.
Aku ingin melempar diari itu seperti Cinta melempar buku 'Aku' keras-keras. Tapi aku urung, dinding kamar berbahan triplek, tetangga kamar bisa heboh. Yang lebih penting, aku sering menyelipkan doa di tiap halaman, aku masih takut dosa jika melemparnya.
Dan masih dengan mata yang belum bisa fokus, posisi tiarap, aku mengingat kalimat pembuka di atas. Ingin menafikan, tapi bukankah kita harus yakin pada apa yang kita percayai? Seketika itu juga, duniaku terbalik. Aku terbangun dari tidur, bangkit, tidak lupa mengutuk diri untuk kesekian kalinya. Mengapa aku begitu bodoh selama ini? Obat ragu yang kucari selama ini ternyata begitu dekat.
Aku hanya butuh meyakinkan diri, itu saja, tidak begitu sulit. Bukankah perjuangan dalam hidup adalah mempertahankan keyakinan dalam diri? Bukankah musuh terbesar dalam hidup manusia adalah diri mereka sendiri. Sudah berapa kali hati menjadi pengecut dan mudah dibodohi.
1 November, malam. Aku menemukan diriku di antara riuhnya salah satu titik di jalan raya Makassar, tepat di bawah lampu jalan paling terang yang bisa kulihat. Aku menatap lampu itu, cahayanya menerobos ruang kosong di sekitarnya hingga bisa kulihat isi udara. apakah itu kabut ataukah debu jalan, atau uap ragu-ragu dari hatiku, aku tidak yakin. Aku hanya yakin jika Tuhan masih tidak akan campur tangan dengan nasibku.
Aku menunduk melihat sneaker biruku yang mulai usang. Entahlah, sejak dari tadi pagi aku meyakinkan diri aku terlihat lebih muda dengan sneaker ini. Aku hanya ingin pulang ke kamar, bertemu lagi dengan kasurku...
2 comments:
yah... tidak bisa hanya seperti menunggu durian jatuh dari langit tapi harus berusaha untuk merubah apa yang dilakukan... usaha untuk kehidupan kita ^^
sepertinya dirimu kehilangan "tujuan"???
Post a Comment