Tiap pagi jelang siang, saat saya masih mengumpulkan nyawa yang beterbangan selepas tidur, ia akan mengeluarkan suara penanda bahwa ia telah datang. Suaranya nyaring, tidak berteriak tapi powerful. Ia adalah penjual sayur keliling langganan ibu-ibu dan mahasiswa di sepanjang jalan sahabat dan jalan sejati di mana saya tinggal hamper lima tahun lamanya.
Saya baru sekali membeli dagangannya, saya tidak begitu familiar dengan wajahnya. Yang sepat terekam, kedua lengan dan kakinya legam tersiram matahari. Tiap kali dia berlalu di depan kosan saya, dia pasti turun dari sepeda kumbangnya, sekedar jaga-jaga siapa tahu calon pembeli terlambat memanggil. Di kepalanya setia bertengger caping pelindung ganasnya panas matahari Makassar yang makin hari makin membara. Dia tidakmengenakan celana panjang, dia memakai celana selutut lalu dibungkus dengan sarung.
Ada juga penjual ikan, jadwal berjualannya hampir menjelang tengah hari. Saya pernah beli ikan padanya waktu saya masih semangat-semangatnya masak di kosan. Mungkin karena saya yang tidak jeli memilih ikan, atau karena ikannya terlalu lama terkena sinar matahari sepanjang perjalan sang penjual, ikan yang saya masak jadinya tidak sesuai harapan, mau dibuang juga takabbur. Sejak itu saya keukeuh tidak mau lagi membeli ikan-ikan jualannya lagi. Saya merasa egois sendiri, Daeng itu sudah jauh-jauh datang dari Pampang lalu ke pelelangan ikan hingga sampai ke Tamalanrea, sementara saya untuk mendapatkan makanan tinggal keluar rumah, pilih, lalu bayar. Rasanya sangat tidak adil.
Sebut saja mereka Pak Sayur dan Daeng Penjual Ikan. Mereka tidak pernah belajar motivasi hidup, tapi jam 4 pagi sudah bergegas mencari dagangan untuk kemudian dijual kembali. Mereka tidak perlu membaca untuk tahu kenapa orang mesti mensyukuri hidup, kenapa manusia tidak boleh menyerah. Saya kasihan tiap kali salah satu dari mereka berlalu, saya bisa melihat sayur dedaunan mulai layu atau ikan-ikan mulai tidak segar.
Satu hal yang sering membuat saya tertegun, tiap kali saya bertanya mengenai persaingan dengan sesama penjual. Mereka akan selalu menjawab: Semua orang punya rezekinya masing-masing. Tiada keluhan, tiada saling sikut. Sungguh sebuah keyakinan yang telah membuat mereka bertahan dengan mata pencarian itu, meski begitu melelahkan . Peluang itu selalu ada, tinggal bagaimana mencarinya. Sebuah keyakinan yang telah membuat kulit-kulit mereka gosong, kaki-kaki mereka seperti batu-batu retak, dan sepeda kumbang andalan yang peleknya mulai bengkok.
Saya lalu teringat ucapan salah seorang senior seperti ini: “kau lihat pedagang koran di perempatan? Biar sudah sore dia tetap tawarkan korannya, biar peluangnya orang mau beli itu sedikit sekali. Tapi mereka percaya pasti akan ada yang beli.” Sementara saya, kesempatan itu jelas di pelupuk mata, saya malah membiarkannya terbang. Siapakah sebenarnya yang lebih kuat?
Tuhan tidak bisa dijangkau dengan pikiran
“Tuhan hanya memberi apa yang kita usahakan,” kata Yuyu, adik juniorku di kampus. Kata-kata ini merasuk dengan cepat seperti kecepatan cahaya. Seperti baru disambar petir. Saya jadi teringat dengan sebuah kalimat “Jika engkau berjalan selangkah ke arah Tuhan, maka Dia akan berjalan 1000 langkah ke arahmu.”
Bagaimana mau mendekat, saya belum membuat langkah apapun.
Saya baru sekali membeli dagangannya, saya tidak begitu familiar dengan wajahnya. Yang sepat terekam, kedua lengan dan kakinya legam tersiram matahari. Tiap kali dia berlalu di depan kosan saya, dia pasti turun dari sepeda kumbangnya, sekedar jaga-jaga siapa tahu calon pembeli terlambat memanggil. Di kepalanya setia bertengger caping pelindung ganasnya panas matahari Makassar yang makin hari makin membara. Dia tidakmengenakan celana panjang, dia memakai celana selutut lalu dibungkus dengan sarung.
Ada juga penjual ikan, jadwal berjualannya hampir menjelang tengah hari. Saya pernah beli ikan padanya waktu saya masih semangat-semangatnya masak di kosan. Mungkin karena saya yang tidak jeli memilih ikan, atau karena ikannya terlalu lama terkena sinar matahari sepanjang perjalan sang penjual, ikan yang saya masak jadinya tidak sesuai harapan, mau dibuang juga takabbur. Sejak itu saya keukeuh tidak mau lagi membeli ikan-ikan jualannya lagi. Saya merasa egois sendiri, Daeng itu sudah jauh-jauh datang dari Pampang lalu ke pelelangan ikan hingga sampai ke Tamalanrea, sementara saya untuk mendapatkan makanan tinggal keluar rumah, pilih, lalu bayar. Rasanya sangat tidak adil.
Sebut saja mereka Pak Sayur dan Daeng Penjual Ikan. Mereka tidak pernah belajar motivasi hidup, tapi jam 4 pagi sudah bergegas mencari dagangan untuk kemudian dijual kembali. Mereka tidak perlu membaca untuk tahu kenapa orang mesti mensyukuri hidup, kenapa manusia tidak boleh menyerah. Saya kasihan tiap kali salah satu dari mereka berlalu, saya bisa melihat sayur dedaunan mulai layu atau ikan-ikan mulai tidak segar.
Satu hal yang sering membuat saya tertegun, tiap kali saya bertanya mengenai persaingan dengan sesama penjual. Mereka akan selalu menjawab: Semua orang punya rezekinya masing-masing. Tiada keluhan, tiada saling sikut. Sungguh sebuah keyakinan yang telah membuat mereka bertahan dengan mata pencarian itu, meski begitu melelahkan . Peluang itu selalu ada, tinggal bagaimana mencarinya. Sebuah keyakinan yang telah membuat kulit-kulit mereka gosong, kaki-kaki mereka seperti batu-batu retak, dan sepeda kumbang andalan yang peleknya mulai bengkok.
Saya lalu teringat ucapan salah seorang senior seperti ini: “kau lihat pedagang koran di perempatan? Biar sudah sore dia tetap tawarkan korannya, biar peluangnya orang mau beli itu sedikit sekali. Tapi mereka percaya pasti akan ada yang beli.” Sementara saya, kesempatan itu jelas di pelupuk mata, saya malah membiarkannya terbang. Siapakah sebenarnya yang lebih kuat?
Tuhan tidak bisa dijangkau dengan pikiran
“Tuhan hanya memberi apa yang kita usahakan,” kata Yuyu, adik juniorku di kampus. Kata-kata ini merasuk dengan cepat seperti kecepatan cahaya. Seperti baru disambar petir. Saya jadi teringat dengan sebuah kalimat “Jika engkau berjalan selangkah ke arah Tuhan, maka Dia akan berjalan 1000 langkah ke arahmu.”
Bagaimana mau mendekat, saya belum membuat langkah apapun.
No comments:
Post a Comment