17 March 2010

(Not) The Origin of Fandom

Mungkin masih segar di ingatan anda, ketika Aa Gym ketahuan media menikah lagi. Tak pelak, Aa Gym yang dulunya digandrungi bu-ibu dan didaulat menjadi sosok suami idaman, mendadak dijauhi, ‘dicibir’, dan dianggap tidak setia. Pesantren Aa Gym sontak menjadi sepi oleh ibu-ibu yang rutin megadiri acara pengajian di sana.

Salahkah jika Aa Gym menikah lagi? Jika tidak, mengapa penggemarnya tiba-tiba jadi tidak setia dan pada lari? Saya teringat dengan ucapan salah seorang teman, waktu ia masih tinggal di dekat kamar kontrakanku di di Jalan Sahabat. Katanya, ibu-ibu itu tidaklah benar-benar menggemari Aa Gym, sebaliknya mereka melihat diri yang diidealkan pada diri Aa Gym itu. Diri yang ideal yang dimaksud adalah, seorang suami saleh, cinta istri dan keluarga. Ketika Aa Gym keluar dari konsep itu, maka berubah pula kekaguman orang-orang padanya. Fansnya ibarat dibuat sakit hati karena ‘dikhianati’ oleh sang idola.

Dua hari yang lalu, teman itu bercerita pada ka harwan. Katanya ia kecewa dengan salah satu penulis favoritnya yang kerap muncul di halaman terakhir sebuah majalah mingguan nasional. Teman ini kecewa dengan sikap sang penulis yang memberikan dukungan kepada salah seorang pentinggi Negara. Disappointment ini tidak akan terjadi jika saja, sang penulis tidak begitu melekat karakternya di benak teman saya itu. Faktanya adalah, teman ini sangat tergila-gila pada sang penulis.

Teman saya ini harus menerima kenyataan bahwa sang penulis sudah ‘melenceng’ dari karakteristik yang ia elu-elukan selama ini. Sang idola lari dari kebanggaan yang telah dijaga bertahun-tahun. Saya juga masih ingat ia memasang salah satu tulisan di dinding kamarnya. Betapa menyedihkan rasanya dikhianati.

Saya melihat diri saya, lalu mengingat poster ukuran A4 yang tergantung terpaksa tak beraturan di dinding kamar. Saya senang dengan Muse, entah karena paras mereka yang rupawan ataukah musikalitas mereka. Tapi buat saya, menggemari muse lebih pada kenangan yang menyertainya (halah,,,berlebihan!!!). Saya mendengarkan mereka hampir di semua fase-fase sulit dan bahagia, saat saya memasuki dunia kuliah yang jauh dari suasana sebelumnya.

Di situ, idola dimaknai sebagai sosok yang paling dekat dengan diri kita. Kita lalu mencari tahu hal-hal yang mereka lakukan, apa yang mereka pikirkan, pakaian, sikap politik, orang-orang terdekat, pesta-pesta, atau bahkan yang paling sensitif: kepercayaan. Yang terakhir ini sangat menarik, kecenderungan menyukai atau membenci seorang public figure dilihat dari ‘agama’ mereka (Saya lalu ingat seorang senior berkata ia menyukai Zidane karena sama-sama muslim). (LOL)

Memang sulit mencari akar fandom seseorang. Salah satunya, ya itu tadi. Karya bukan satu-satu yang saya banggakan dari musisi favorit saya. Ada yang menggemari Chris Martin karena ia seorang vegetarian dan sikap anti perangnya. Ataukah saya yang senang pada Matt (vokalis Muse) karena anti penyerangan terhadap Irak, tapi saya benci dia karena dia atheis. Saya senang karena Chris (basis Muse) menato namanya dalam huruf hijaiyah. Dan saya senang pada dom karena ia ramah pada fansnya. Saya senang pada Miralem Pjanic karena dia seorang muslim. (LOL lagi, hehe)

Intinya adalah kita selalu berusaha mendekatkan diri atau malah memaksakan mereka seperti diri kita. Kita menyenangi mereka yang kita citrakan di kepala, segala hal yang kita idealkan. Oleh karena itu, cara saya memandang Matt pasti beda dengan cara pandang penggemar Matt lainnya di luar sana. Masing-masing menyesuaikan dengan wadah pemikiran mereka.

Ternyata fans juga bisa kejam terhadap idolanya. Kita perlahan bisa menjauh jika mereka bersikap atau bertindak tidak lagi sesuai dengan visi misi kita, seperti yang menimpa teman saya dan ibu-ibu penggemar Aa Gy. Jika Dee memisahkan antara wilayah “karya” yang boleh dijamah oleh penggemar dan wilayah “privat” yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun, maka saya melihat, fans memproduksi ekspresi yang menurut public figure mungkin melangkahi batas wilayah jamahan itu. Fans boleh menggugat, mencela, memaki, menguntit, meneror, bahkan membunuh sang idola.

But fandom adalah loyalitas yang viral, kita menyukainya karena kita ingin menyukainya. Idola adalah milik fans. Seperti pada dialog: Coba lihat idola saya, tidak seperti idolamu. Saya juga sudah menyiapkan diri meninggalkan idola saya jika kapan-kapan menemui fakta yang mengecewakan saya. Maafkan saya, Muse.

Makassar, 17 Maret 10

7 comments:

MASTER INFO said...

Memang tidak mudah menemukan makna yang kita mau pada diri orang lain. Apalagi untuk mengejawantahkan ma'na yang kita mau pada perilaku orang lain. nah celakanya orang lain itu yang kita idolakan. padahal pengidola yang baik adalah mengikuti sang idola, bukan sebaliknya. Kalau kita mengidolakan seseorang, namun kita menginginkan sang idola itu mengikuti yang kita inginkan, kita salah konsep kali ya. anyway, thanks atas renungannya. http://asiabersama.com/id=masturi

Emma said...

ya ya, bisa jadi demikian...
thanks atas kunjungannya

cheers

Arsal Amiruddin said...

Saya menyukai Dream Theater. Apakah saya mengidolakannya? Entahlah!!

Apakah dia lebih baik dari Muse? Saya berharap begitu.

Bagaimana kalau personel Dream Theater dikabarkan kawin lagi? Tidak campur, karena saya tetap menyukai musiknya.

Ha...ha....ha....!!

Emma said...

hehehhe...roemahjiwa likes your comment... saya kan stalker alias pengintai, ka ben. wakakakkak

non inge said...

mengidolakan..
mungkin yg lbh diidolakan adalah karyanya
untuk personalnya, ya dipilah2 saja...
dicontoh kelakuan yg baik, dihindari kelakuan yg buruk
dan mungkin juga dapat belajar dr pengalaman yg dijalani oleh sang idola ^^

blog na aku follow :)

Emma said...

@inge: iya nih, aku kena penyakit tidak bisa membedakan karya dan privasi, heheh...thanks for your comment, cyber dreamer ku follow ya

selamat menulis (^_^)

Victor Sosang said...

Saya menngemari radiohead, saya percaya betul meraka adalah band terbaik dunia dalam sejarah manusia mulai mengenal musik, menggarapnya dan mengedarkannya dan eksplorasi soal musik. irama, birama dan segala tetek bengeknya kini berhenti di tantgan mereka...sama halnya dengan teori ilmu sosial yang berhenti di post (apa lagi itukah namanya)
hahahahha
tulisan yang mantap em, Rolling Stones mestinya mengambil ini tulisanmu sebagai headline bukan malah bahas album terus.