6 March 2010

Upin Ipin dan Kerinduan Pada Kampung Halaman

Baru saja aku chatting dengan Fanny Jonathans Poyk, perempuan yang kerap kusapa Bunda. Kami bertemu pertama kali di pergelaran Olimpiade Sains Nasional di Makassar, Agustus dua tahun lalu. Waktu itu, aku dan Kak Jun mendapay kesempatan dari Kak Nara untuk jadi kontributor majalah Potensi, sebuah media internal Dirjen Pendidikan Nasional tingkat SMA. Bersama Bunda juga, kami rapat redaksi, mengumpul, mengolah berita, dan makan bersama-sama. Itu berlangsung seminggu, singkat sekali buatku yang belum puas mengorek cerita dan belajar menulis padanya.

Akhirnya silaturahmi itu bisa kami lanjutkan lewat facebook. Aku selalu menyempatkan diri berbincang-bincang jika kami kebetulan sedang online, meski hanya bisa sampai pada batas tanya jawab keadaan. Ia pasti sibuk. Seperti chatting barusan, aku menanyakan novel barunya yang sudah beredar di gramedia.

Tapi ada satu hal yang bikin sedih membacanya, setelah aku mengabarkan titik koordinatku, di kampung halaman. Tidak kusangka ia akan merespon seperti ini: asyik yang masih punya kampung, bd ga punya kampung, ga ada yang indah utk dilihat kecuali mal n mal, kapan-kapan kalo ada rejeki mau tuh ke kampungnya erma.

aku lalu menjelaskan singkat suasana beberapa tempat yang pernah kulalui selama penelitian lapangan kemarin. Ya, kemarin aku dapat kesempatan melihat dataran yang seperti dilapisi karpet hijau berbulu saking subur dan sejuknya. "iya bunda, nanti aku ajak keliling lintas kabupaten. pokoknya kiri kanan jalan itu kayak karpet hijau, belum pantainya, bukit2nya...".

aduh rindu banget ingin lihat sawah yg menghampar, apalagi ada pantainya, ingat masa kecil di Bali tahun 70-an, Bali sekarang udah berubah jg...

Curhatan bunda mengingatkan aku pada sebuah dialog sentimetal dengan kak Harwan saat sedang menonton serial kartun made in Malaysia, Upin Upin, yang kini sedang digandrungi penonton, bahkan oleh keponakanku yang masih satu tahun. Konteks pedesaan yang tergambar dalam animasi ini, secara tidak langsung menggambarkan kerinduan penduduk melayu ini akan kampung halaman yang telah dicukur habis oleh tajamnya pisau perkotaan. Negara ini bukan lagi milik pribumi tapi oleh penduduk dari seluruh dunia, seperti orang-orang betawi yang mulai tergusur lahannya.

Aku jadi teringat sawah di belakang rumahku, juga pada petak-petak hijau lainnya di sepanjang yang dulu selalu kulewati menemani ibu ke pasar naik becak. Tidak banyak yang berubah memang, kecuali sebuah papan pemberitahuan bahwa di lokasi itu akan dibangun sebuah perumahan. Hmmm... masikah akan kutemui petani di tengah kota ini?

Watampone, 06 Mar 10

3 comments:

Yusran Darmawan said...

itulah sebab mengapa saya pilih tinggal di kampung. biar selalu lihat laut bersih, selalu menghirup udara segar, dan selalu makan ikan segar yang baru ditangkap dari laut. hehehehe

btw, ini bukan apologi saya khan?

Arsal Amiruddin said...

betul, betul, betul....!!

kampung duriaaaaaaaaannnnnnnnn....!!

Emma said...

hehe,,,bukan kak,saya juga senang tinggal di bone, cuma mungkin kaki sudah terikat dengan keriuhan kota... :(

durian, durian, durian,,,