1 July 2009

Penanda Rasa Itu Bernama "Glastonbury"

Semalam, saya iseng membuka dua file video klip konser sebuah band di Glastonbury tahun 2004 lalu. Tiba-tiba saya teringat berita yang saya baca di koran sore tadi mengenai kematian Michael Jackson. “Saya berada di Glasto saat Jacko meninggal”; itulah salah satu tagline di kaos-kaos yang dikenakan para penonton di Glastonbury untuk mengenang sang legenda. Kematian jacko dan tagline itu seakan menjadi alarm sunyi bagi saya: Glastonbury tahun ini sudah sedang berlangsung.

Tapi saya tidak akan membahas soal Jacko. Sekedar hanya ingin mengenang cerita lima tahun lalu. Ya ini sudah bulan juni 2009, lima tahun lalu apa yang dapat saya kenang dan maknai salah satunya adalah ujian SPMB yang tahu-tahunya sempat membuat saya sakit dan stress, tapi untunglah itu sudah dilalui, semuanya, karena juni tahun ini saya sudah menamatkan diri dari jenjang S1 di universitas.

Lima tahun yang lalu, di Glastonbury tentunya, ada seorang pemuda, 24 tahun, pirang cepak, tirus juga kurus, mengenakan celana selutut, duduk di balik deretan peranti pukul, sambil tersenyum mengentakkan kedua tangannya pada dua simbal di sisi kiri dan kanan tubuh, mengiringi nada-nada dua teman lainnya di panggung. berulang-ulang dan cepat. Digdaya, mungkin itulah yang ia rasakan pada malam itu. Lima detik ia tenggelam dalam gemerincing simbal, tanpa dentuman pedal dan hentakan drum. Senyumnya penuh arti. Dia bahagia, sang ayah tercinta untuk pertama kali sejak ia mengenal alat tak bernada itu, ada di sana menyaksikan konser termegah dirinya.

Gastonbury, salah satu festival musik terbesar di dataran Inggris, sekaligus paling dinanti oleh pemuja pertunjukkan musik panggung. Saya baru sadar akan keberadaan festival ini ketika menyaksikan video konser Coldplay membawakan lagu Clocks, suatu hari di MTV. Tampil di sana adalah sebuh prestise, kebanggaan telah menginjakkan kaki di tanah suci anak-anak band di seluruh dunia.

Perasaan itulah yang mungkin menghinggapi pria yang saya ceritakan di atas. Namun itu bukan pertama kalinya ia tampil di sana. Yang membuat ekspresi itu begitu mengganggu saya untuk segera menerjemahkannya ke dalam tulisan ini adalah, seperti saya katakan tadi, kehadiran sang ayah -jika saya bisa menggelarinya- Tuan Howard.

Ya, ya, … saya sedang bertutur tentang drummer kesayangan saya, Dominic Howard (akrab disapa Dom). Namun saya bukanlah seorang penggemar berat. Sebelum dua minggu lalu, jika saja ada seseorang bertanya pekerjaan sambilan Dom selain bermain drum dengan band, tentu saya akan tinggal melongo dan sah-sah saja jika gelar saya sebagai penggemar lelaki asal Devon, Teighnmouth, Inggris ini, dicabut secara tidak terhormat.

Untunglah dua minggu lalu, seorang adik di kampus berdiskusi soal Dom. Dari diskusi itu akhirnya ketahuan kalau ternyata Dom adalah seorang pengajar alat musik drum di salah satu kota di kepulauan Inggris --maaf saya tidak lincah bertanya tepatnya tempat ia mengajar. Entah berapa lama juga profesi itu dijalaninya, di mana ia bermukim, mengapa ia begitu terobsesi pada tokoh heroik Spiderman, bagaimana rasa menjadi second man di dalam band saya tidak akan memikirkannya.

Saya hanya peduli pada musik bertenaga yang ia lakonkan, semangat dan ketekunannya, kelincahannya, keramahannya pada teman-teman fansnya di MySpace, dan yang paling penting bagi saya, Dom adalah salah seorang di antara manusia-manusia di planet ini yang pernah mengalami kebahagian pada titik tertinggi sekaligus terpuruk hingga titik terendah pada waktu yang hampir bersamaan. Glastonbury adalah elemen penanda bagi pengalaman itu.

Dom bahagia bisa tampil di salah satu konser terbesar dalam hidupnya, namun itu adalah panggung pertama dan terakhir yang bisa disaksikan oleh sang ayah. Tuan Howard akhirnya menutup mata beberapa saat setelah sang anak melambaikan tangan yang berisi dua batang stik drum ke arah penonton pertanda pertunjukkan telah selesai. Saya tidak tahu berapa hasil aggregate kebahagiaan dan kesedihan Dom kala itu. Biarlah rasa menjadi miliknya dan orang-orang dengan pengalaman serupa (saya juga tidak bisa membandingkannya dengan perasaan Guus Hiddink pelatih Chelsea yang sontak bersedih setelah beberapa saat sebelumnya ia dengan bahagia menjabat tangan Guardiola, pelatih Barcelona di akhir pertandingan, di ajang Champions musim kemarin).

Tidak akan ada Coldplay dan Muse –nama band Dom- di Glastonbury tahun ini. Setidaknya itu menurut Emily Eavis, ketua panitia festival. Namun saya masih berharap apa yang pernah hangat dibicarakan di salah satu situs fans Muse, benar-benar terwujud, bahwa akan ada kejutan berupa penampilan tidak terduga dari band berawalan M. Apakah Dom akan bernostalgia, ataukah band awalan huruf M lainnya, Metallica, yang kudengar juga menggemari Dom dkk akan tampil di sana. We shall see…

No comments: