30 July 2009

-Knocked Up- Ketika Mars Bertemu Venus

Dua kali sudah saya menyaksikan Knocked Up, film komedi romantis, renyah, meski agak sedikit konyol. Namun kekonyolan itu tidak berhasil mengurangi nilai-nilai yang hadir dalam dialog-dialog sepanjang film. Cukup mengiyakan asumsi-asumsi saya terhadap pertanyaan, apa beda cara berpikir antara perempuan dan laki-laki?

Film berdurasi 2 jam 15 menit ini bercerita tentang kehidupan Alison, seorang asistan produser sebuah acara di E! channel, yang baru saja promosi jabatan. Bersama Debbie, Alison berpesta di sebuah klub malam sebagai bentuk perayaan. Delapan minggu setalah malam itu, Alison menemukan dirinya ternyata sedang hamil.

Setelah mengurut kembali kemungkinan kejadian selama delapan minggu terakhir, ia akhirnya menghubungi Ben Stone, pria temannya mabuk saat pesta saat itu. Ben di mata Alison hanyalah seorang pengangguran yang hidup dengan uang ganti rugi perusahaan mobil yang pernah menabrak kakinya semasa remaja. Hal ini membuatnya ragu mempertahankan sang jaban bayi.

Namun, dengan beberapa pertimbangan, Alison akhirnya meneruskan kehidupan bayi di perutnya, dengan bantuan Ben. Nah, di sinilah dialog-dialog tarik ulur bermula. Alison yang mandiri dan kaya, adalah tipikal perempuan pada umumnya, menaruh perhatian pada hal-hal kecil dan cenderung menarik kesimpulan secara deduktif. Sementara Ben yang saat itu sedang mengelola situs 'áneh' bersama temannya, adalah lelaki yang senang 'ngumpul' se geng, lugu, cuek, dan senang-senang saja dengan cara berpikirnya.

Berulang kali Alison kesal hingga menangis akibat sikap Ben yang dianggapnya tidak perhatian, egois, tidak punya perasaan, tidak paham keinginannya, dan pemalas. Sementara Ben melihat sosok Alison susah dipahami, sensitif, dan emosional. Dalam sebuah dialog, Ben justru mengharapkan Alison untuk selalu mengutarakan langsung keinginan-keinginannya. Bisa tertebak kan jawaban sang perempuan? ''Kamu mestinya harus sedikit lebih perhatian".

Adegan menarik lainnya ketika tiba-tiba terjadi gempa, pada saat Alison menginap di rumah Ben. Alison berlari ketakutan ke luar rumah menyelamatkan diri. Namun apa yang ia lihat di luar sana membuat hatinya teriris (dan lagi-lagi menangis). Ben sedang asik dengan ganjanya, ternyata. "Bukannya menyelamatkan saya, kamu malah menyelamatkan ganjamu, bagaimana kamu bisa jadi pelindung buat anak ini kelak?" "Kukira engkau sedang tidur, jadi aku tidak mau mengganggumu..." Aaaaargggghhhh.... Rasanya saya juga mau melempari wajahnya.

Tidak bisa tidak, saya langsung teringat dengan omelan teman-teman dengan pengalaman serupa, "ketidaknyambungan" antara laki-laki dan perempuan. Yang satu melihat masalah dengan rasio, yang lain menggunakan emosinya, ya kurang lebih seperti itu. Saya juga pernah tergelak dan terpingkal-pingkal dengan salah satu ucapan teman. Katanya, jika seorang lelaki bisa mengatakan bahwa otak perempuan itu lebih kecil, maka perempuan juga patut mempertanyakan kecilnya hati para lelaki. Hohohoho...

Mungkin permasalahannya adalah bagaimana memperlakukan sebuah 'sesuatu', 'a thing'. Maksud saya, cara pandang terhadap sebuah hal sering memacu pertengkaran dua jenis anak manusia. Bukan maksud men-generalkan, anggapan bahwa perempuan cenderung menaruh perhatian pada hal-hal kecil sementara lelaki tidak, ada benarnya. Bagi perempuan, tanggal jadian adalah sesuatu yang berarti dan perlu perlakuan khusus, bagi laki-laki, hari itu tidak ada bedanya dengan hari lainnya. Dengarlah pengalaman salah seorang teman, Ia mengganti warna kontak lens nya sejak enam bulan lalu, namun sang kekasih baru ngeh, anggaplah hari ini. Wah, ini kalo ini agak-agak keterlaluan.

Mungkin ada yang tidak habis pikir, banyak hubungan yang berakhir karena hal-hal seperti itu. Kembali ke film, setelah melalui berbagai pertengkaran, Ben yang memang tidak tahu keinginan Alison mulai khawatir hubungannya akan berakhir. Ben bertanya banyak hal pada ayahnya, membaca buku panduan kehamilan yang tidak pernah ia buka sejak kehamilan awal Alison. Hasilnya Alison bisa tersenyum dan melahirkan dengan selamat, dengan Ben tentu di sisinya.

Di dalam film ini Anda juga akan menemukan tokoh Debbie, seorang istri yang perfeksionis namun paranoid. Takut suaminya selingkuh, takut terlihat tidak cantik, dan takut tidak dianggap remaja lagi. Ada sebuah dialog yang menggelitik sekaligus paling berbekas di hati saya. Sang suami, Pete, ketahuan berbohong sedang berkumpul dengan teman-teman kerjanya. Padahal alasan awalnya ia sedang menonton konser sebuah band. Ternyata bukan kali pertama Pete berbohong. Meski Debbie senang suaminya tidak selingkuh, ia tidak terima alasan sang suami yang hanya ingin melepaskan kepenatan dalam rumah tangga, kepenatan terhadap isteri dan anak-anaknya.

"Kamu pikir kamu satu-satunya orang dengan masalah seperti itu, hah? Saya juga, saya juga penat dengan kondisi kita selama ini...," sembur Debbie.

Yeah, Debbie...Everybody cries...Seperti kata Ben, hidup terlalu berat untuk direncanakan dan terlalu hebat untuk dikendalikan dalam bentuk jadwal-jadwal dan langkah-langkah.

No comments: