Echy...berhentilah menyiksa saya...Tidak, saya tidak sedang marah pada Echy. Ungkapan tadi hanya seruan batin saya ketika berkali-kali harus mencoba beberapa high heels yang kami lihat di salah satu pusat belanja di Makassar. "Pakai flat shoes itu tidak sopan kalo wawancara kerja", katanya. Saya tertegun sejenak karena baru mendengarkan salah satu kode etik melamar kerja itu.
Mungkin ini hanya persoalan pembiasaan saja. Prosesi wisuda kemarin saja yang hanya memakan waktu kurang dari lima jam, saya sudah merasa sangat tersiksa mengenakan hak tinggi, betis saya keram menahan keseimbangan tubuh ketika berjalan. Bagaimana nanti kalau sudah diterima bekerja? Proses pembiasaan, itu sudah cukup menenangkan hati saya.
Mestiya saya tidak menolak penawaran echy yang ingin menghadiahkan saya benda kaki itu. Malam sebelumnya saya mengganti bentuk penawaran dengan cuci cetak foto wisuda saya, 10R, lengkap dengan bingkai. Jadilah saya hanya menelan ludah ketika melihat jejeran sepatu di display. Baru kali ini saya benar-benar meneliti sepatu-sepatu itu dengan seksama. Sebelum-sebelumnya saya hanya melihat sekilas tanpa niat membeli.
Pemandangan di ritel pakaian yang kami kunjungi amat sangat elegan, dilengkapi dengan replika tanaman penghadir nuansa sejuk. Ada juga kumpulan bola-bola warna cerah disusun dalam sebuah kotak langsing transparan sedikit buram. Nuansa nikmat yang dihasilkannya pun begitu terasa lewat mataku. Bentuk kenikmatan inilah sebenarnya yang memanggil-manggil hasrat pengunjung mal untuk singgah dan memanjakan mata. Saya kemudian teringat dengan pengalaman pagi tadi sebelum berada di tempat ini.
Flashdisk lokasi file foto yang rencananya akan saya cetak ketinggalan di rumah teman tempat saya menginap, sia-sialah gratis nebeng motor Kak Riza pulang ke rumah. Akhirnya saya naik ojek kembali ke tempat teman tersebut lalu mencari-cari di mana kira-kira saya meletakkan flashdisk itu malamnya. Pagi-pagi, bukannya segar habis mandi, saya malah gerah karena emosi. Emosi karena keteledoran saya. Untunglah ada Ilham yang mau mengantar saya ke tempat menunggu angkot, jadinya duit saya yang sudah menipis tidak kian kering.
Saya sudah berada di atas angkot jurusan sentral. Di depan Wesabbe, perasaan saya tiba-tiba berguncang oleh dua penumpang yang akan naik ke angkot yang saya tumpangi. "Sentral, Pak? sorot matanya kosong, tapi tidak dengan seyumnya, Tatapan matanya tidak terfokus hingga saya mengetahui bahwa calon penumpang itu tidak bisa melihat alias tuna netra, apalagi setelah saya melihat tongkat lipat di genggamannya mirip milik dosen saya yg juga tuna netra. Ia ditemani seorang perempuan, kurus, dan berkulit agak kecokelatan dibanding lelaki tadi. Awalnya kukira ia sang penuntun, namun ternyata perempuan tersebut juga tidak bisa melihat, mereka berdua naik ke angkot, saya meraih tangan sang perempuan duduk di dekat saya.
Oh Tuhan, bagaimana bayangan dunia di dalam hidup mereka. Bagaimana mereka bisa sampai di tempat tadi hanya berdua diri. Bagaimana mereka menginderai padatnya kendaraan yang lalu lalang pagi itu?
Si perempuan bertanya tujuan saya. Saya pun bertanya balik setelah menjawab. Keduanya ingin pergi ke sebuah panti pijat di jalan Pampang, depan kantor Jamsostek. Tidak terbayang oleh saya bagaimana mereka menyeberang di tengah derasnya arus lalu lintas di daerah sana. Sebenarnya saya penasaran banyak hal pada mereka berdua, namun saya takut menyinggung perasaan. Saya hanya mendengarkan pertanyaan-pertanyaan penumpang lain yang berada satu angkot dengan kami, cukup mewakili, dan saya tidak mungkin menanyakan "bagaimana anda memaknai hidup anda?", bukan? terlalu abstrak dan mungkin bermuatan traumatis, itu yang aku khawatirkan.
Pertanyaanku untuk orang-orang dengan indera sempurna, Bagaimana cinta bisa tumbuh ke pada orang yang anda kasihi? Apakah 'dari mata turun ke hati' berlaku pada diri anda? Bisakah kita membayangkan bagaimana dua orang tunanetra bisa jatuh cinta dan akhirnya menikah? Anyway, ini adalah pengalaman pertama saya. Kedua penumpang tadi adalah pasangan suami isteri, sudah tiga bulan yang lalu mereka menikah. Kata sang isteri, mereka hanya saling mengenal lewat suara di telpon. Sang suami pun tersenyum mendengar kebahagiaan dalam suara sang istri.
Bagaimana mereka membahasakan cinta mereka. Tidak ada kode budaya visual. Namun mereka memiliki indera pendengaran. yang kuat dalam membedakan intonasi, nada bicara. Sedih dan bahagia harus lebih banyak diungkapkan. Dwi pernah berkata bahwa orang tuna netra lebih peka dalam mengenal suara dibanding orang yang bermata. Dari situ saya berasumsi, mereka mungkin mempunyai kode budaya sendiri yang tidak akan pernah dipahami oleh pemilik indera lengkap. Mungkin emosi mereka sangat singkat, tidak perlu dipusingkan oleh kode-kode visual rumit yang mesti dipikirkan matang-matang,
Ingin sekali saya bertanya banyak hal pada mereka. Mereka tidak akan kehilangan karena mereka tidak pernah berpikir memiliki apa-apa. saya yang selalu ingin melihat banyak hal, menjelajah, memuaskan hasrat mataku tidak bisa membayangkan kehilangan satu kenikmatan ini. Kadang saya berpikir, kaum empiris sangat arogan dan pilih-pilih, hanya mewakili mereka yang memiliki lima pintu indera. Apakah yang nyata bagi kedua pasutri tadi?
Hati saya hendak merasa iba, apakah saya harus bersyukur dengan keadaan saya. Namun rasa itu akan membuat saya tidak mengargai makhluk-Nya, rasa iba yang justru bisa membuat saya jadi congkak karena merasa lebih dibanding mereka. Saya sering mendengar curahan hati orang-orang dengan kemampuan khusus. Mereka justru merasa tersinggung jika diistimewakan. Mestinya saya mengutuki diri saja dan memuji kesyukuran dan kebahagiaan mereka.
Merekalah yang melihat dengan sentuhan, Jari-jari menjelma menjadi mata. Tiga jam setelah pengalaman singkat itu dan juga melihat warna-warni sepatu dan mal, saya kembali berada dalam angkot menuju rumah. Kelelahan dan kepanasan. Tanah tempat mobil berpijak seperti direbus oleh panas matahari. Baru saja habis hujan, tidak terduga kedatangannya, namun mampu membahagiakan hati saya yang sangat mencintai hujan.
No comments:
Post a Comment