30 January 2011


Karena manusia hanya punya dua harta dalam hidupnya: syukur dan sabar
Waktu saya masih kecil ibu selalu berpesan: saat berjalan, melihatlah ke bawah maka kau tidak akan tersandung dan jatuh, janganlah melihat ke atas karena kau tidak akan tahu apa yang ada di hadapanmu, engkau bisa terjatuh atau tersesat. Berjalan yang dimaksud ibuku bukan semata berjalan dalam arti harfiah. Beliau sedang berusaha menjelaskan secara sederhana bagaimana seharusnya menjalani hidup ini.

Malam ini saya membuka-buka secara acak buku Negeri 5 Menara, buku pinjaman dari sahabat saya Darma, sengaja saya bawa pulang serta ke Bone, sebagai pengisi waktu luang (entah kenapa jika berada di Makassar saya selalu merasa sibuk hingga tidak punya waktu). Pilihan acak itu akhirnya jatuh pada episode ketika salah seorang tokoh Baso menceritakan keluh kesahnya selama menjalani pendidikan di pesantren madani itu (lebih popular dengan sebutan Pesantren Gontor Ponorogo).

Tiba-tiba mata saya berkaca-kaca dan hati saya seperti kena petir, hampir hangus saat membaca realita yang sebenarnya sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam cerita, Baso digambarkan sebagai anak sebatang kara yang yatim piatu sejak umur empat tahun. Ia selanjutnya di asuh oleh sang nenek serta dibantu oleh nelayan tetangga yang rela menyisihkan sebagian pendapatan hasil menangkap ikan untuk mereka. Baso dihadapkan pada dilemma menyelesaikan sekolah yang kurang dari setahun lagi atau pulang ke kampung halaman merawat sang nenek yang sedang sakit.

Ahmad Fuadi, sang penulis novel, mengontraskan kondisi ekonomi memilukan sang teman dengan dirinya yang masih lebih beruntung. Melihat orang lain serba kekurangan namun mereka tidak menyerah oleh nasib. Dan seketika itu juga, saya lalu melihat diri saya. Telahkah saya bersyukur selama ini? Saya lalu teringat dengan pesan ibu saya itu. Dalam hati saya diam-diam membenarkannya.

Terkadang saya iri dengan mereka yang dianugerahi Tuhan kekayaan yang melimpah, dan bercampur jengkel lagi ketika mereka berpikir bisa melakukan apa saja dengan harta itu hingga merendahkan orang lain. Tapi kemudian teman saya, Nida berpesan pada saya, bahwa kecemburuan saya ini tidak beralasan. Semua manusia sudah memiliki garis rezeki sendiri dan kita sebagai manusia tidak boleh mencampuri ketentuan itu. Ibu juga mengingatkan, kecemburuan seperti ini hanya akan membuat saya tidak bisa maju, terus silau hingga tidak bisa melihat jalan nyata yang ada di hadapan.

Pandangan saya kini telah berubah. Saya jadi lebih cemburu pada orang yang mau memanfaatkan setiap kesempatan yang datang meski dengan keterbatasan yang mereka miliki. Saya iri pada sosok Bapak Mansur Semma Alm, dengan keterbatasan penghilatan, beliau masih bisa mengerjakan tesis doktoratnya hingga selesai. Karena buta, ia melihat hanya dapat melihat dengan telinga dan tangannya. Beliau pernah berkata: karena saya kurang satu indera jadi saya harus berusaha dua kali lebih banyak dibanding orang lain yang punya mata. Saya selalu sedih setiap mengingat kata-katanya itu. Saya malu pada diri sendiri, punya ‘modal’ cukup tapi fighting spirit nol besar. Ternyata saya tidak benar-benar pernah bersyukur atas semua nikmat jasmaniah ini.

Saya tidak pernah membayangkan jika tiba-tiba Tuhan mengambil sesuatu dari diri saya. Saya juga tidak tahu perasaan Matthew Bellamy bagaimana jika ia kehilangan kedua tangannya, apakah ia pernah membayangkan itu. Begitulah manusia, ia baru akan menyadari berharganya sesuatu saat ia kehilangan. Tapi apakah kita mesti kehilangan terlebih dahulu demi sebuah rasa syukur yang terlambat?
Sabar itu pada dua hal: pada sesuatu yang sedang menimpa kita dan pada sesuatu yang sangat kita inginkan. Bersyukurlah, maka Tuhan akan menambahkan nikmat-Nya. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang akan kita dustakan?
Sabar dan syukur saling melengkapi. Mungkin ada yang menganggap sabar adalah dengan berpangku tangan menunggu semua berubah dengan sendirinya. Bagi saya lebih dari itu. Justru dengan sabar manusia bisa menjadi yakin dan memberi kekuatan untuk bergerak. Bukan dengan membenamkan diri dalam kedukaan yang lebih mirisnya lagi kadang dinikmati.

Bagi saya hidup seperti sebuah orchestra, kadang harus lambat sesuai keinginan konduktor dan tiba saat harus sampai ke nada yang menukik tajam. Apa arti semua ini? Saya belajar untuk bermimpi lagi. Mungkin mimpi-mimpi itu akan menuntun saya ke sebuah jalan yang akan mengajarkan rasa terima kasih itu. Manusia tidak mesti kehilangan terlebih dahulu untuk merasakan nikmatnya memiliki.

No comments: